Susun Naskah Kebijakan, Apa dan Bagaimana Lembaga Pendidikan Agama?

22 Okt 2023
Susun Naskah Kebijakan, Apa dan Bagaimana Lembaga Pendidikan Agama?
Kaban Suyitno di Surabaya, Minggu (22/10/2023).

Surabaya (Balitbang Diklat)---Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan (Penda) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menyelenggarakan kegiatan Penyusunan Naskah Kebijakan, di Surabaya dari 22 sampai 24 Oktober 2023.

Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Prof. Suyitno dalam arahannya mengatakan saat ini terdapat 12 produk yang akan diselesaikan Puslitbang Penda. Beberapa produk tersebut dibagi dua, pertama, dalam bentuk policy brief dan rancangan naskah akademik.

“Terkait dengan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan mengamanatkan bahwa pendidikan agama merupakan tanggung jawab Kementerian Agama. Ini merupakan pekerjaan yang butuh energi dan kerja keras yang sungguh-sungguh,” ujar Kaban, di Surabaya, Minggu (22/10/2023).

Menurut Kaban, fokus pertama yang ingin diberikan insight adalah terkait PP Nomor 55 Tahun 2007 ini. Banyak hal yang harus dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Isu pertama yang menjadi fokus adalah seiring dengan lahirnya undang-undang pendidikan agama terutama pondok pesantren.

“Peraturan ini sudah out of date sejalan dengan undang-undang yang dibuat di atasnya dengan sendirinya termasuk konten-konten yang tidak relevan dengan undang-undang. Bagaimana kita harus melakukan penyesuaiannya?,” terang Kaban.

Pertama, kata Kaban, isu utama dan menjadi wacana publik hari ini adalah terkait pendanaan pesantren. Ini menjadi atensi publik yang belum dieksekusi. Misalnya, apakah lembaga pendidikan pondok pesantren dimungkinkan dengan skema APBN, yang sifatnya establish. Jadi bukan dana hibah atau yang sifatnya bantuan. 

“Untuk hal ini, kita juga harus membaca aturan-aturan lainnya. Jadi membaca setiap bagian regulasi lainnya untuk melihat peluang-peluang dan pengisian celah yang dimungkinkan,” ucap Kaban.

Kalau tidak dimungkinkan, lanjut Kaban, yang kedua yaitu tingkat pressure yang kuat untuk lembaga pendidikan keagamaan, sehingga apabila itu bisa dijadikan lembaga yang menerima sumber tetap APBN, misal adanya pesantren yang diselenggarakan oleh pemerintah. Walaupun, ini belum ada sejarahnya. 

“Dalam lembaga pendidikan itu, selalu ada yang namanya standar pelayanan minimal, akreditasi, dan rekognisi. Jadi kalau lembaga pendidikan tidak ada akreditasinya, tidak ada standar yang dituju benchmark-nya,” imbuh Kaban. (Barjah/bas/sri)

   

 

Penulis: barjah
Editor: Abas/Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI