Tanamkan Nilai Pancasila, Puslitbang Kemenag Bedah Buku ‘Revolusi Pancasila’

22 Mei 2017
Tanamkan Nilai Pancasila, Puslitbang Kemenag Bedah Buku ‘Revolusi Pancasila’

Jakarta (22 Mei 2017). Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan (Penda) menggelar bedah buku ‘Revolusi Pancasila’ karya Yudi Latif di Hotel A-One Jakarta, Senin (22/5) kemarin. Dalam kegiatan tersebut, Kepala Puslitbang Penda Amsal Bakhtiar mengatakan, hal itu dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945.

“Tidak sekedar memperingati, tetapi juga kita ingin menanamkan nilai-nilai Pancasila bagi seluruh anak bangsa,” ujar Amsal saat melaporkan kegiatan di hadapan Kepala Balitbang Diklat Kementerian Agama (Kemenag) Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud dan hadirin.

Pada saat ini, lanjut Amsal, pihaknya mengundang semua elemen bangsa di antaranya pejabat di lingkungan Kemenag, para guru di sekolah, para pengawas di madrasah, dan para Kepala Balai di seluruh Indonesia, baik Balai Litbang maupun Balai Diklat.

“Karena itu, pada kesempatan ini kami memiliki komitmen untuk mensosialisasikan Pancasila sebagai ruhnya bangsa, dan ideologi bangsa. Makanya, dalam kesempatan ini kami ingin membahas buku karya dari Yudi Latif ini. Tentu beliau nanti akan mempresentasikan isi bukunya dan akan kita diskusikan bersama,” papar Amsal.

Sementara itu, Kepala Badan dalam pidatonya mengaku gembira kegiatan tersebut sukses terselenggara. “Saya laporkan juga kepada Pak Kapus bahwa acara kita ini sudah saya sampaikan dua minggu lalu pada rapat kabinet di Istana Negara yang dihadiri enam menteri dan beberapa pejabat eselon I,” ujar Mas’ud.

Asesmen untuk Pemaknaan Ideologi

Salah satu narasumber, Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad, mengatakan bahwa Negara, termasuk Kementerian Agama, seharusnya melakukan asesmen bagi seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN)-nya terkait pemaknaan Ideologi Pancasila. Karena, selama ini hanya kalangan awam yang disurvei pemahamannya terhadap Pancasila sebagai ideologi negara.

“Ada nggak survei yang terkait khusus untuk aparatus negara. Lembaga negara semacam PPIM UIN punya nggak survei tentang itu,” ujar Rumadi melempar pertanyaan kepada Direktur PPIM UIN Ciputat Dr. Jamhari Ma’ruf, narasumber kedua.

Rumadi melempar pertanyaan kepada pembedah kedua, Jamhari Ma’ruf, lantaran pernah menerima informasi bahwa salah seorang pegawai Kementerian Keuangan diduga pro Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

“Bagi saya, pro HTI itu bukan Pancasila. Kalau dia pro negara khilafah berarti bukan Pancasila. Info ini jelas mengejutkan. Ada aparatus negara yang punya ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara. Dugaan saya, ini semakin meluas ke mana-mana,” tegasnya.

Tak hanya di Kemenkeu, lanjutnya, tapi juga telah masuk ke TNI dan Polri. Bahkan dikabarkan ada jenderal purnawirawan yang sepertinya sudah mulai ‘masuk angin’ soal ideologi seperti ini. “Termasuk Kemenag. Maka, menurut saya Kemenag perlu melakukan asesmen terhadap aparatusnya,” tegas Dosen STAINU Jakarta ini.

Ia menambahkan, jika dia warga negara biasa, bukan penyelenggara negara mungkin kita masih bisa agar longgar. “Tetapi kalau ideologi ini sudah merasuk ke dalam unsur negara yang mengelola birokrasi, maka jangan sampai dibiarkan,” tegasnya.

Menurut pria kelahiran Jepara ini, Pancasila lahir dari kompromi politik. Bahkan, negara ini juga lahir dari kompromi politik. “Kalau tidak ada kompromi politik mungkin nggak ada Indonesia. Jadi, negara dan ideologi negara lahir dari kompromi,” tandas Rumadi.

Kompromi politik, bagi dia, memiliki kekurangan sekaligus kelebihan. Pada satu sisi terlihat baik, namun juga lembek. Perdebatan apapun dalam politik, ujung-ujungnya akan kompromi. Misalnya, saat pembahasan UU APBN. Ketika pemerintah mengasumsikan nilai tukar rupiah sebesar 15 ribu per dolar, sementara DPR mengasumsikannya 12 ribu, pasti akan disepakati ketemu di tengah.

“Jadi, seluruh bangunan kenegeraan ini semuanya lahir dari kompromi. Baiknya melahirkan kesepakatan bersama. Tapi sisi negatifnya adalah menjadikan identitas negara ini cair. Jadi jika ada yang meledek Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler ya salah satunya karena adanya kompromi ini,” kata Rumadi.

Terhadap buku tersebut, Rumadi mengaku tertarik atas sub judul ‘musuh revolusi’. “Saya senang dengan istilah ini. Saya juga jadi penasaran siapa sebenarnya musuh Kang Yudi. Di sini, disebutkan unsur-unsur anti dan kontra revolusi Pancasila, lalu kekuatan kapitalisme hitam menjadi salah satu musuhnya,” ulasnya.

Musthofa Asrori/diad/diad

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI