Tarekat Sammaniyah dan Naqshabandiyah di Caringin, Bogor: Kasus Konflik Kepentingan
Abstract
The existence of Tarekat in the Islamic community is able
to bring about togetherness and harmony between Tarekat
followers, but in the other hand, it creates a border with
other groups. It is assumed that if friction occurred among
the bordering groups then it could initiate conflict between
the Islamic communities. That Assumption occurred to a
society in the subdistrict of Caringin Kabupaten Bogor
relating to the existence of Tarekat Sammaniyah and
Naqshabandiyah in that region. The conflict between two
senior followers of Buya H.Harun –as the Tarekat
transmitter- fight for inheriting the assets of Buya after
his death, and societal misguided judgment by assuming
that tarekat teachings violate Ahlussunnah wal Jamaah
teachings that is followed by most of the Islamic community
in Caringan and Bogor, cause an escalating conflict . This
study reveals the occurrence of the conflict,by a qualitative
research. Thanks to the local government’s initiative in
solving the case, an open conflict that could potentially
occur was prevented. One of the wise efforts from the local
government is stating that only MUI Kabupaten Bogor
could decide whether Tarekat Sammaniyah and
Naqshabandiyah are misguided teachings.
One of the recommendations produced by this review is
that the head of Kandepag (Religious Affairs Office)
Kabupaten Bogor and Local Government officers must be
involved in processing the inherited assets of Buya
H.Harun that consists of a mosque, house, and an area of
land which should be made wakaf (endowment) assets for
religious activities held by the local Islamic community.
Keyword: Tarekat, conflict, dzikir, baiat
PENELITIAN
Bashori A. Hakim
Peneliti Puslitbang
Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
Gd. Bayt Al-Qur’an Komplek
TMII Jakarta
82
HARMONI Januari - Maret 2010
BASHORI A. HAKIM
Pendahuluan
Pengkajian mengenai kasus konflik keagamaan akibat adanya perbedaan
aliran atau faham keagamaan merupakan kajian menarik yang perlu
dilakukan, termasuk kajian tentang perbedaan aktualisasi ajaran agama
berupa pengamalan keagamaan dari agama yang sama yang diakibatkan
oleh perbedaan persepsi dan penafsiran terhadap ajaran agama yang
bersangkutan. Akhir-akhir ini perbedaan pengamalan ajaran agama
tersebut cenderung semakin marak terjadi di kalangan umat beragama,
termasuk kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, keberadaan
berbagai macam tarekat seperti: Tarekat Naqshabandiyah, Tarekat
Qadiriyah, Tarekat Syatariyah dan Tarekat Sammaniyah di berbagai daerah
di Indonesia sekarang ini menunjukkan keragaman pengamalan ajaran
agama di kalangan umat Islam. Sekalipun pengamalan ibadah mereka
melalui tarekat berbeda-beda, namun pada dasarnya tujuan mereka sama,
yaitu berupaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ada berbagai faktor yang mengakibatkan timbulnya kelompokkelompok
tarekat di berbagai daerah, antara lain faktor pengalaman
keagamaaan, faktor sosial ekonomi, maupun reaksi positif keagamaan
berupa penyaluran rasa keimanan akibat tekanan keadaan ataupun
kekecewaan menghadapi situasi yang kurang menyenangkan.
Keberadaan tarekat-tarekat tersebut selama ini dapat dikatakan tidak
menimbulkan permasalahan di kalangan umat beragama yang
bersangkutan. Keberadaan mereka baru menimbulkan masalah bagi
kelompok tarekat yang lain apabila terjadi benturan kepentingan, perebutan
pengaruh, atau dianggap menyimpang dari ajaran pokok oleh kelompok
tarekat lainnya atau oleh masyarakat Islam pada umumnya, sehingga dapat
mengancam kerukunan hidup beragama secara internal di kalangan
mereka.
Terlepas dari itu semua, di Kabupaten Bogor –tepatnya di Kecamatan
Caringin- pada beberapa tahun yang lalu keharmonisan hubungan di
kalangan internal umat Islam sedikit terusik sehubungan keberadaan
sebuah tarekat di wilayah mereka, yang menurut masyarakat sekitar
bernama “Tarekat Sammaniyah dan Naqshabandiyah”. Keberadaannya
sempat membuat sibuk aparat pemerintah setempat, termasuk Majelis
Ulama Indonesia (MUI) di wilayah itu.
83
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33
KASUS KONFLIK PEREBUTAN KEPEMIMPINAN TAREKAT SAMMANIYAH DAN NAQSHABANDIYAH...
Itulah sebabnya maka Puslitbang Kehidupan Keagamaan melalui
kegiatan “Pengkajian Tentang Kasus-Kasus Keagamaan Aktual di
Indonesia” melakukan penelitian terkait dengan kasus konflik tentang
keberadaan Tarekat Sammaniyah dan Naqshabandiyah di Kabupaten
Bogor.
Kajian tentang Tarekat Sammaniyah sebenarnya pernah dilakukan
baik oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama -dalam hal ini
Puslitbang Kehidupan Keagamaan maupun oleh lembaga-lembaga
penelitian lain. Sebagai contoh, Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada
tahun 1980 an pernah melakukan kajian tentang tarekat di atas di beberapa
daerah dengan konsentrasi kajian tentang ajaran-ajarannya. Kajian serupa
akhir-akhir ini juga dilakukan oleh Ahmad Rahman mahasiswa Pasca
Sarjana –program doktor- Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2008. Penelitian yang dilakukan dalam rangka
penulisan disertasi itu mengkonsentrasikan kajian Tarekat Sammaniyah
tentang ajaran-ajaran dan persebarannya di wilayah Sulawesi Selatan.
Sedangkan penelitian yang dilakukan ini lebih menitikberatkan kajian
tentang konflik yang terjadi di kalangan internal umat Islam di Caringin,
Bogor. Dengan demikian tentang ajaran tarekat tidak menjadi bahasan
pokok.
Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian adalah: bagaimana konflik perebutan
kepemimpinan Tarekat Sammaniyah dan Naqshabandiyah pada pasca
meninggalnya Buya H. Harun di Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor
terjadi. Secara rinci, penelitian ini akan mengungkap: a). bagaimana awal
timbulnya terekat tersebut di Caringin; b). siapa tokoh pembawa dan
bagaimana ajarannya; c) mengapa timbul konflik dan siapa-siapa aktornya;
d). bagaimana penanganan konflik oleh Pemerintah Daerah dan para ulama
setempat.
Tujuan
Tujuan penelitian adalah untuk mengungkap kasus konflik
perebutan kepemimpinan Tarekat Sammaniyah dan Naqshabandiyah
pasca meninggalnya Buya H. Harun di Kecamatan Caringin, Bogor.
84
HARMONI Januari - Maret 2010
BASHORI A. HAKIM
Kegunaan
Kegunaan penelitian adalah sebagai masukan bagi pimpinan
Kementerian Agama untuk bahan penyusunan kebijakan yang realistis
terkait dengan penanganan konflik kepemimpinan tarekat, khususnya
Tarekat Sammaniyah dan Naqshabandiyah.
Metodologi
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif,
dengan bentuk studi kasus. Data dikumpulkan dengan menggunakan
teknik wawancara, pengamatan serta studi kepustakaan dan dokumentasi.
Wawancara diarahkan kepada individu-individu yang terkait, namun
secara holistik (Bogdan dan Taylor, 1992: 32-33), dilakukan kepada sejumlah
informan terdiri atas: para pimpinan/pengurus organisasi keagamaan, para
tokoh agama/ulama setempat, tokoh masyarakat, unsur masyarakat serta
pejabat Pemda dan MUI setempat. Pertanyaan-pertanyaan dalam
wawancara ditandai dengan jenis pertanyaan yang terkait dengan
permasalahan penelitian (Dedy Mulyana, 2002: 59-60). Pengamatan
dilakukan terhadap aktivitas keagamaan masyarakat sejauh dapat diamati
di lapangan. Sedangkan studi kepustakaan dilakukan dengan menelaah
buku-buku terkait dengan permasalahan yang dikaji.
Data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah secara deskriptif
analitik, melalui tahapan: coding, editing, klasifikasi, komparasi, kemudian
interpretasi untuk memperoleh pengertian baru. Dalam analisis, data
dimaknai secara mendalam berdasarkan perspektif emic, yaitu penafsiran
data secara alamiah sebagaimana adanya (Bogdan dan Taylor, 1975:13).
Hasil interpretasi ini selanjutnya dipergunakan sebagai bahan penyusunan
laporan penelitian. Karena penelitiannya berupa studi kasus (case study)
maka laporannya berupa deskripsi atas suatu kejadian atau situasi yang
dikaji (Paul B. Horton, Chester L. Hunt (alih Bhs.) Aminuddin Ram, Tita
Sobari, 1999: 38).
Kerangka Pemikiran
Mengingat pokok kajian dalam penelitian membahas tentang kasus
konflik, maka paradigma kajiannya mengacu kepada perspektif konflik.
Dalam perspektif konflik, masyarakat lokus kajian dipandang sebagai
85
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33
KASUS KONFLIK PEREBUTAN KEPEMIMPINAN TAREKAT SAMMANIYAH DAN NAQSHABANDIYAH...
“terikat bersama” karena kekuatan dari kelompok yang dominan. Mereka
mengklaim bahwa “nilai-nilai bersama” itu merupakan ikatan pemersatu,
sebagai konsensus yang mereka ciptakan untuk memaksakan orang atau
kelompok lain mengikuti nilai-nilai yang telah disepakati oleh kelompoknya
(Paul B. Horton, Chester L. Hunt /alih bahasa Aminuddin Ram, Tita Sobari,
1999:19). Dengan demikian masyarakat (dalam hal ini umat Islam) di lokasi
kajian diidentifikasi menurut kelompok-kelompok keagamaan atau
organisasi keagamaan. Melalui identifikasi kelompok organisasi
keagamaan, akan diketahui mana kelompok keagamaan yang dominan.
Kelompok keagamaan yang dominan ini diasumsikan sebagai kelompok
yang mengklaim bahwa “nilai-nilai bersama” adalah sebagai suatu ikatan
pemersatu, sebagai konsensus yang diciptakan untuk memaksakan nilainilai
yang mereka sepakati kepada semua orang atau kelompok lain.
Dalam kajian sosiologi terdapat dua perspektif teori utama dalam
memandang/mempersepsi suatu aspek dalam masyarakat, yakni teori
fungsional dan teori konflik. Masing-masing teori memandang suatu aspek
dalam masyarakat berangkat dari sudut pandang yang berbeda, sehingga
persepsi masing-masing teori tersebut terhadap suatu aspek dalam
masyarakat tidak sama, bahkan cenderung berlawanan. Terlepas dari
perbedaan cara pandang terhadap suatu aspek dalam masyarakat antara
kedua teori di atas, teori konflik memandang “masyarakat” sebagai suatu
sistem yang tidak stabil terdiri dari kelompok-kelompok yang saling
bertentangan. Sedangkan kelas atau “kelompok sosial” dipandang sebagai
sekelompok orang yang memiliki kepentingan ekonomi dan kebutuhan
kekuasaan yang serupa, berkembang dari keberhasilan sebagian orang
dalam mengeksploitasi orang lain. “Perubahan sosial” dalam persepsi teori
konflik dipandang sebagai sesuatu yang dipaksakan oleh suatu kelompok
terhadap kelompok lain demi untuk kepentingan kelompoknya semata.
“Ketertiban sosial” dipertahankan oleh kelompok yang dominan sebagai
pemaksa. “ Nilai-nilai” yang ada dalam masyarakat dipersepsi sebagai
kepentingan yang bertentangan yang akan memecah-belah masyarakat.
Konsensus nilai-nilai dipersepsi sebagai yang dipertahankan oleh kelompok
yang dominan. “Lembaga sosial” (termasuk lembaga agama) dipersepsi
sebagai kelompok yang menanamkan nilai-nilai yang melindungi
kelompok. Sedangkan “pemerintahan” dipersepsi sebagai pihak yang
menjalankan peraturan yang dipaksakan oleh kelompok yang dominan.
86
HARMONI Januari - Maret 2010
BASHORI A. HAKIM
Kasus konflik yang berbentuk pertentangan, persaingan maupun
permusuhan yang terjadi dalam masyarakat baik antar individu, antara
individu dengan kelompok maupun antar kelompok masyarakat akan
dikaji melalui perspektif-perspektif di atas.
Selayang Pandang Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor
Kecamatan Caringin merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Bogor bagian Selatan, memiliki luas wilayah 5.729,9 ha. Wilayahnya terletak
di antara dua gunung,yaitu Gunung Pangrango dan Gunung Salak.
Kecamatan Caringin dengan pusat pemerintahan berlokasi di Desa
Cimande Hilir, terdiri atas 12 desa, 80 Rukun Warga (RW) dan 334 Rukun
Tetangga (RT). Batas wilayahnya, sebelah Utara berbatasan dengan
Kecamatan Ciawi, sebelah Selatan dengan Kecamatan Cigombong, sebelah
Barat dengan Kecamatan Cijeruk dan sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Caringin, Laporan Data Monografi, 2008:
6).
Jumlah penduduk pada akhir Desember 2008 mencapai 111.303 jiwa,
terdiri atas 57.424 laki-laki dan 53.879 perempuan. Jumlah penduduk
tersebut tergabung dalam 28.235 Kepala Keluarga (KK). Kepadatan
penduduk rata-rata 766 jiwa / km2. Jumlah penduduk tersebut didasarkan
atas hasil pendataan keluarga tahun 2008 yang dilakukan oleh unsur Korlap
Disdukcapil dan KB Kecamatan Caringin dipadukan dengan laporan dari
tingkat desa pada tahun yang sama (Kecamatan Caringin, Laporan Data
Monografi Kecamatan, 2008: 7).
Adapun jumlah penduduk di tiap desa secara rinci dapat dilihat
dalam tabel berikut:
87
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33
KASUS KONFLIK PEREBUTAN KEPEMIMPINAN TAREKAT SAMMANIYAH DAN NAQSHABANDIYAH...
Tabel
Jumlah Penduduk Kecamatan Caringin Berdasarkan Jenis Kelamin
Per- Desa Tahun 2008 *)
*) Sumber data: Kabupaten Bogor dalam Angka Tahun 2008.
Dilihat dari segi agama, mayoritas penduduk yakni 111.048 jiwa
atau 99,74 % beragama Islama. Sedangkan 0,26 % sisanya terdiri atas agamaagama
lainnya, yakni Kristen 124 jiwa, Katholik 91 jiwa, Hindu 29 jiwa
dan Buddha 11 jiwa (Data Potensi Kecamatan Caringin, 2008).
Dalam hal rumah ibadat, tidak semua umat beragama di Kecamatan
Caringin memiliki rumah ibadat. Hingga saat penelitian ini dilakukan,
hanya umat Islam yang memiliki rumah ibadat, terdiri atas: masjid jami’
sebanyak 170 buah, masjid biasa 185 buah dan mushalla 300 buah (Laporan
Data Monografi Kecamatan Caringin, 2008:22), tersebar di berbagai desa
di Kecamatan Caringin.
Belum tersedianya rumah ibadat untuk umat Kristen, Katholik,
Hindu dan Buddha itu dapat dimaklumi, karena jumlah masing-masing
umat beragama di Kecamatan Caringin di atas relatif kecil. Untuk kegiatan
beribadat, masing-masing umat beragama tersebut bergabung dengan
umat mereka di kecamatan lain.
No Desa Laki?laki Perempuan
1 Pasir Buncir 3.528 3.266
2 Cinagara 5.177 4.707
3 Tangkil 4.223 4.203
4 Pasir Muncang 3.852 3.702
5 Lemahduhur 6.034 5.652
6 Pancawati 6.809 6.382
7 Ciderum 7.029 6.586
8 Caringin 5.275 4.340
9 Ciherangpondok 5.901 6.135
10 Cimandehilir 4.084 3.670
11 Cimande 3.124 2.869
12 Muara Jaya 2.388 2.367
Jumlah 57.424 53.879
88
HARMONI Januari - Maret 2010
BASHORI A. HAKIM
Kehidupan keagamaan masyarakat di kecamatan ini diwarnai oleh
adanya organisasi-organisasi keagamaan. Di kalangan umat Islam terdapat
organisasi keagamaan seperti: Nahdlatul Ulama (NU), GP. Anshor,
Muhammadiyah, IPNU, Fatayat NU, IPPNU, Muslimat NU dan Aisiyah.
Sedangkan LDII, Ahmadiyah dan Jamaah Tabligh penduduk Caringin
secara perorangan termasuk anggota dan jumlah mereka masing-masing
relatif kecil, sehingga tidak membentuk organisasi tersendiri.
Keberadaan Tarekat Sammaniyah dan Naqshabandiyah di wilayah
Kecamatan Caringin dengan sendirinya menambah deretan ragam
organisasi keagamaan di kecamatan itu. Dilihat dari segi kuantitas,
organisasi keagamaan di Kecamatan Caringin dan Kabupaten Bogor pada
umumnya didominasi oleh Nahdlatul Ulama (NU).
Selain organisasi keagamaan diatas, terdapat pula organisasi atau
lembaga keagamaan seperti: MUI Tingkat Kecamatan dan Desa, Bazis
Kecamatan, Bazis Desa, IPHI Kecamatan Caringin dan Dewan Masjid
Indonesia (DMI) Kecamatan Caringin (Data Keagamaan Kecamatan
Caringin, 2008).
Tarekat Sammaniyah dan Naqshabandiyah Kecamatan Caringin
Kabupaten Bogor
Sejarah dan tokoh
Keberadaan Tarekat Sammaniyah Dan Naqshabandiyah di
Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor tidak dapat dilepaskan dengan
keberadaan Buya H. Harun bin H. Othman bin H. Awang asal Malaysia
yang datang dan menetap di Kecamatan Caringin, tepatnya di Desa Tangkil
sejak tahun 2003 yang lalu. Tidak diketahui secara pasti alasan kepindahan
Buya ke daerah itu.
Beliau datang di Desa Tangkil disertai seorang rekannya dari Jakarta
dan tidak bersama isteri-isterinya (berjumlah tiga orang). Beliau mempunyai
anak 17 orang. Ketiga isteri dan anak-anaknya berada di Malaysia. Di
Desa Tangkil beliau bertempat tinggal dan mengontrak sebuah rumah di
dusun Bepak. Dengan ditemani rekannnya dari Jakarta itu beliau mencari
lahan (lokasi tanah) untuk dibangun sebuah masjid. Ditemukanlah lahan
yang dianggap strategis, terletak di perbukitan di Blok Sitong Desa Tangkil.
89
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33
KASUS KONFLIK PEREBUTAN KEPEMIMPINAN TAREKAT SAMMANIYAH DAN NAQSHABANDIYAH...
berstatus tanah garapan yang digarap oleh Hr warga setempat, seluas 5.000
m2 (berdasarkan Data Keberadaan Tarekat Sammaniyah dan
Naqshabandiyah di Sitong, dokumen MUI Desa Tangkil, 2009). Berdasarkan
Data Blanco Isian Pendataan Masjid oleh Pengurus DKM Baitul Ibadah,
2007/2008, luas tanah 5.500 m2, luas bangunan 448 m2). Buya H. Harun
untuk dapat menggunakan lahan tersebut bersedia menerima oper garap
dari Hr dan sanggup membayar uang sebagai ganti garap kepada Hr.
Oleh karena Buya H. Harun sebagai warga Negara Malaysia maka tidak
dapat melakukan transaksi oper garap. Untuk keperluan oper garap maka
Buya Harun meminjam nama temannya bernama H. Is. untuk kelancaran
proses pembuatan surat oper garap.
Di atas tanah garapan itulah Buya H. Harun mendirikan sebuah
masjid yang proses pembangunannya dilakukan oleh tukang bangunan
yang berasal dari Desa Tangkil. Untuk tenaga tehnisi bangunan, beliau
menunjuk seorang teman/kenalannya sekaligus selaku yang
menyampaikan upah dari buya kepada para tukang bangunan. Konon,
teman/kenalan Buya tersebut kemudian juga selaku muridnya.
Dana yang dipergunakan untuk membangun masjid dan rumah
tersebut, menurut penuturan para informan berasal dari penjualan sebagian
tanah Buya H. Harun di Malaysia, sumbangan para pengikut dan muridmuridnya
yang ada di Malaysia, serta dari anggota keluarganya di Malaysia.
Pada akhir tahun 2004 ketika pembangunan masjid permanen
berlantai dua (yang kemudian dinamakan Masjid Baitul Ibadah dan berupa
yayasan) itu hampir selesai, di lantai bawah mulai dibangun rumah tinggal
Buya H. Harun. Pada awal tahun 2005 bangunan masjid dan rumah selesai
dan saat itu pula Buya pindah dari rumah kontrakan di Bepak ke rumah
tersebut bersama isteri barunya yang dinikahi pada tahun yang sama. Isteri
barunya itu adalah anak perempuan Ir. , salah seorang murid Buya H.
Harun.
Selama bertempat tinggal di rumah itu Buya H. Harun dikenal
masyarakat setempat sebagai orang yang ramah, sopan, alim dan sebagai
seorang guru. Beliau senang bersilaturrahim dengan penduduk sekitar,
namun juga senang jika dikunjungi orang.
90
HARMONI Januari - Maret 2010
BASHORI A. HAKIM
Ajaran dan Kegiatan Keagamaannya
Buya H. Harun bin Othman mengajarkan agama kepada orangorang
yang menjadi pengikutnya di Kampung/Dusun Sitong Desa Tangkil
sejak tahun 2003 sampai dengan 2006. Penyebaran dan pengajaran agama
kepada masyarakat sekitar dilakukannya sendiri melalui pengajianpengajian
di Masjid Baitul Ibadah di Sitong Desa Tangkil sebagaimana
telah disebutkan di atas.
Di antara ajarannya yaitu pengamalan dzikir atau wirid yang biasa
dilakukan sesudah salat. Beliau senang memimpin salat berjamaah dengan
tamu yang datang ke rumahnya. Namun pada umumnya salat berjamaah
dilakukan di masjid dan beliau selaku imamnya. Seusai salat berjamaah,
kemudian dilanjutkan dengan dzikir bersama jamaah dan beliau yang
memimpin dzikir. Dalam pelaksanaan dzikir yang dilakukan berbeda
dengan dzikir yang biasa dilakukan oleh para kyai di Desa Tangkil. Sebagai
contoh, beliau mengajarkan bahwa dzikir dapat dilakukan pada saat orang
mencangkul atau dalam melakukan aktivitas pekerjaan lainnya. Pada saat
mencangkul misalnya, dzikir dapat dilakukan seirama dengan ayunan
cangkul saat orang yang bersangkutan sedang mencangkul dengan
menyebut (dalam hati) kalimat “laa ilaaha illallah”.
Kegiatan keagamaan yang dilakukan, selain salat berjamaah dan
wirid dilakukan pula pengajian. Selama melakukan kegiatan keagamaan
–termasuk wirid- bersama para pengikutnya, beliau tidak pernah
menjelaskan atau menyebutkan kepada mereka bahwa wirid yang
dilakukan itu sebagai pengamalan dari tarekat tertentu, misalnya Tarekat
Sammaniyah dan Naqshabandiyah. Jelasnya, selama Buya Harun
memimpin dan mengajarkan wirid tak pernah disebut-sebut nama “Tarekat
Sammaniyah dan Naqshabandiyah” dalam kegiatan keagamaannya.
Di antara materi yang disampaikan dalam ceramah-ceramahnya
termasuk kepada para tamu yang datang ke rumahnya adalah bahwa
kita dalam beragama Islam segala amalan ibadah telah dicontohkan oleh
Nabi Muhammad SAW. Jadi kita dalam beribadah perlu mencontoh beliau.
Kita tak perlu banyak bincang masalah agama, atau hanya banyak cakap
tapi kurang mengamalkan ajaran agama. Kita harus banyak beramal untuk
keselamatan dunia akherat.
91
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33
KASUS KONFLIK PEREBUTAN KEPEMIMPINAN TAREKAT SAMMANIYAH DAN NAQSHABANDIYAH...
Para pengikut atau murid-murid beliau di Kecamatan Caringin relatif
sedikit, tidak mencapai belasan orang dan mereka terkonsentrasi di Desa
Tangkil dan sekitarnya. Pekerjaan sehari-hari mereka antara lain sebagai
petani, pedagang kecil dan penjasa. Dilihat dari segi pendidikan, pada
umumnya mereka berpendidikan tingkat sekolah lanjutan ke bawah.
Demikian pula pendidikan agama mereka, sehingga pengetahuan
agamanyapun terbatas.1
Selama Buya H. Harun bertempat tinggal dan mengajarkan agama
di Sitong Desa Tangkil, tidak pernah ada reaksi negatif dari masyarakat
setempat, karena ajaran agama yang disampaikan (termasuk amalan wirid/
dzikir yang diajarkan) kepada para pengikutnya dianggap oleh para ulama
dan tokoh agama setempat biasa-biasa saja, tidak bertentangan dengan
ajaran pokok agama. Ajaran dzikirnya dianggap kategorimuktabarah.
Amalan wirid dan dzikir yang diajarkan Buya H. Harun dengan sendirinya
tidak dipermasalahkan oleh para ulama dan umat Islam setempat yang
mayoritas pengikut Nahdliyyin itu.
Ajaran Buya H. Harun Dinamakan Tarekat Sammaniyah dan
Naqshabandiyah
Sepeninggal Buya H. Harun, dua orang murid senior beliau yakni
H. Is. dan Ir. sama-sama menempati rumah peninggalan beliau di Sitong
Desa Tangkil. Keduanya sama-sama mengklaim merasa berhak menempati
rumah peninggalan beliau berikut mengelola Masjid Baitul Ibadah
peninggalan beliau untuk melanjutkan ajaran keagamaannya.
Terkesan keduanya sama-sama ada dorongan untuk saling
menguasai aset peninggalan Buya H. Harun. Masing-masing merasa lebih
berhak menjadi penerus Buya H. Harun. H. Is. merasa mendapat amanah
karena ada surat (wasiat) dari Buya. Sedangkan Ir. merasa mendapat
dukungan kuat dari Mmt (M. Az.), putra Buya H. Harun. Dengan demikian
terkesan adanya perebutan aset peninggalan Buya H. Harun antara dua
murid seniornya di atas, yang keduanya sama-sama memiliki hubungan
persaudaraan dengan Buya H. Harun melalui perkawinan. Harta
peninggalan Buya H. Harun yang ditaksir bernilai sekitar 2,8 milyar rupiah
itu terdiri atas rumah, masjid berikut yayasannya serta areal pekuburan
92
HARMONI Januari - Maret 2010
BASHORI A. HAKIM
sekitar 100 m2. Luas seluruh areal milik Buya H. Harun itu sekitar 5.500
m2.
Dalam persaingan memperebutkan aset peninggalan Buya H. Harun
di atas, antara H. Is. dan Ir. sama-sama berupaya mencari dasar penguatan
posisi. H. Is. mendasarkan penguatan posisinya pada amanah, bahwa ia
mengaku mendapat amanah dari Buya H. Harun. Sedangkan Ir.
mendasarkan pada mawaris, yakni melalui dukungan dari Mmt putra Buya
H. Harun.
Penyebutan ajaran Buya Harun bin Otman sebagai “Tarekat
Sammaniyah Dan Naqshabandiyah” justru pada saat setelah Buya H.
Harun meninggal, yang disebarluaskan oleh kedua pengikut/murid senior
beliau tersebut.
H. Is. dan Ir. sepeninggal Buya H. Harun mengajarkan agama kepada
murid-murid Buya H. Harun. Keduanya sama-sama mengklaim ajaran
agama yang disampaikan kepada jamaah di Sitong Desa Tangkil benar
berasal dari Buya H. Harun.
Dalam perkembangannya, masyarakat menilai ajaran agama yang
disampaikan Ir. tidak menyimpang. Sedangkan H. Is. dianggap
mengajarkan ajaran yang menyimpang dari ajaran pokok agama Islam,
antara lain adanya pembaiatan kepada anggota tarekat yang proses
pembaiatannya dilakukan dengan mandi air jeruk purut. Mandi dengan
cara demikian tak dilakukan pada masa Buya H. Harun. Tentang “baiat”
itu sendiri, menurut suatu riwayat pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
antara lain ketika mulai banyak orang masuk Islam kemudian sebagian
mereka murtad lagi, maka sesudah Isra’ Mi’raj Nabi SAW. memerintahkan
baiat kepada orang yang berminat masuk Islam. Orang yang dibaiat ketika
itu berjanji akan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganlarangan
Nya. Sebelumnya, peristiwa baiat telah terjadi di Aqabah, sebelum
Nabi SAW hijrah. Ketika itu dibaiat kepada sepuluh orang penduduk
Madinah yang terdiri atas delapan orang Suku Khazraj dan dua orang
Suku Aus. Di tempat yang sama Nabi SAW juga pernah membaiat kepada
75 orang penduduk Madinah yang disebut “baiat ridhwan” yaitu ketika
Nabi menerima informasi bahwa Usman bin Affan terbunuh (Ahmad
Rahman, 2009: 29). Baiat yang dilakukan Nabi SAW itu pada dasarnya
93
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33
KASUS KONFLIK PEREBUTAN KEPEMIMPINAN TAREKAT SAMMANIYAH DAN NAQSHABANDIYAH...
berupa ikrar janji setia menaati perintah Allah dan rasulNya, tidak dengan
persyaratan mandi air jeruk sebagaimana dilakukan oleh H. Is.
H. Is. dalam mencari pengaruh kepada masyarakat untuk menjadi
pengikut ajarannya dilakukan dengan cara pendekatan materi, misalnya
dengan pemberian motor, pemberian lapang kerja seperti usaha bengkel
motor. Tidak diketahui secara pasti berapa orang yang berhasil dipengaruhi
oleh H. Is. dengan cara rekruitmen pengikut seperti itu. Menurut penuturan
ulama dan tokoh masyarakat sekitar Sitong, hanya satu dua orang yang
terpengaruh melalui cara demikian.
Uraian di atas menunjukkan bahwa sepeninggal Buya H. Harun
terjadi konflik internal di antara dua orang pengikut dan murid beliau,
yakni antara H. Is. dengan Ir. berupa konflik kepentingan. Paling tidak ada
dua aspek yang diperebutkan, yaitu perebutan kekuasaan atau pengaruh
dengan cara klaim kebenaran ajaran agama yang disampaikan dan
perebutan aset kekayaan peninggalan Buya.
Reaksi dan Solusi oleh Ulama, Tokoh dan Aparat
Praktek penyebaran tarekat oleh H. Is. yang dilakukan dengan
menggunakan baiat, mandi air jeruk purut dan menggunakan pendekatan
materi dalam mencari pengikut, ternyata mendapat reaksi keras dari para
ulama, tokoh agama dan masyarakat setempat. Eskalasi reaksi mereka
memuncak setelah ada selebaran yang mereka sinyalir dari pihak H. Is. Isi
selebaran itu menurut para ulama Desa Tangkil dinilai sangat mengundang
permasalahan di kalangan umat Islam setempat, karena uraiannya tidak
sesuai dengan tuntunan Ahlussunnah wal Jamaah (MUI Desa Tangkil, Data
Keberadaan Tarekat Sammaniyah Dan Naqshabandiyah, 2009). Reaksi juga
timbul, sehubungan dengan adanya konflik kepentingan antara H. Is.
dengan Ir. sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Solusi yang ditempuh oleh para ulama, tokoh masyarakat dan aparat
Pemda setempat terhadap keberadaan “Tarekat Sammaniyah Dan
Naqshabandiyah” yang menimbulkan konflik tersebut adalah; Pertama,
pada tanggal 22 Nopember 2008 masyarakat dan para ulama Desa Tangkil
membuat surat pernyataan sikap tentang keberadaan H. Is. dengan
tarekatnya yang dianggap membingungkan apakah dia orang Islam atau
bukan. Surat yang ditujukan kepada Kepala Desa Tangkil, Tripika
94
HARMONI Januari - Maret 2010
BASHORI A. HAKIM
Kecamatan Caringin, Ketua MUI dan Kepala KUA Kecamatan Caringin
dan ditanda-tangani 12 Kyai dan 107 orang warga masyarakat Desa Tangkil
itu juga berisi permohonan, antara lain: (a) Agar Kepala Desa Tangkil
tidak merestui pembentukan Yayasan Baitul Ibadah Tarekat Sammaniyah
dan Naqshabandiyah; (b) Agar keberadaan Masjid Baitul Ibadah
dikembalikan kepada fungsi semula, yaitu sebagai tempat salat dan ibadah
yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Tangkil secara terbuka;
(c) Menolak kehadiran dan keberadaan Tarekat Sammaniyah dan
Naqshabandiyah ala Sitong karena masyarakat Desa Tangkil dengan
bimbingan ulama/kyai yang ada sudah memahami tarekat dan cara
melaksanakannya.
Kedua, pada tanggal 3 Desember 2008 di Kantor Desa Tangkil
diadakan musyawarah dengan menghadirkan H. Is. dan isteri, Ir. dan isteri,
serta M. Az. putra (alm) Buya H. Harun. Musyawarah yang dihadiri pula
oleh Kepala Desa Tangkil, Kapolsek Caringin, Tripika Kecamatan Caringin
dan Polres Bogor itu menyimpulkan, sebagai berikut: (a) Demi perpaduan,
penyatuan dan ikatan persaudaraan di dalam amalan tarekat “sufiyah”
ini, diminta supaya H. Is. dan Ir. tetap tinggal di rumah peninggalan (alm)
Buya untuk tempo yang akan diputuskan kemudian; (b) Jika keduanya
tetap tidak mau berdamai, maka M. Az. (putra Buya) minta supaya H. Is.
dan Ir. keluar dari rumah Buya. M. Az. siap bertanggung-jawab untuk
mengurus rumah Buya dan makam demi kepentingan keluarga Buya dan
para jamaah, baik di Malaysia maupun di Indonesia;ketiga, Pada tanggal
25 Desember 2008 diadakan pertemuan di rumah (alm) Buya H. Harun
yang dihadiri oleh Tripika Kecamatan Caringin, Ketua MUI Kecamatan
Caringin, unsur Kyai Desa Tangkil 3 orang, Kepala Desa Tangkil, MUI
Desa Tangkil dan M. Az. putra (alm) Buya H. Harun. Hasil pertemuan itu
pada dasarnya mengukuhkan hasil rapat tanggal 3 Desember 2008.
Keempat, pada tanggal 9 Januari 2009 MUI Desa Tangkil dan Kepala
Desa Tangkil mengadakan rapat alim ulama se Desa Tangkil. Rapat dihadiri
oleh Kadit Serse Polsek Caringin dan 20 alim ulama Desa Tangkil. Materi
rapat antara lain membahas hasil rapat tanggal 25 Desember 2008 dan isi
selebaran yang dibawa Kyai Ug, didapat dari H. Pp pedagang (pakaian)
di Pasar Cigombong, Caringin. H. Pp memperoleh selebaran itu dari H. Is.
Menurut para ulama setempat (yang mengikuti rapat), isi selebaran itu
sangat mengundang masalah agama karena uraiannya tidak cocok dengan
95
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33
KASUS KONFLIK PEREBUTAN KEPEMIMPINAN TAREKAT SAMMANIYAH DAN NAQSHABANDIYAH...
tuntunan Ahlussunnah wal Jamaah. Rapat memutuskan, agar Ketua MUI
Desa Tangkil melaporkan hasil rapat kepada Kepala Desa Tangkil dan
memohon kepada Tripika Kecamatan Caringin untuk menindaklanjuti
pernyataan alim ulama Desa Tangkil tentang keberadaan Tarekat
Sammaniyah dan Naqshabandiyah. Bila dalam waktu satu minggu pihak
Tripika Caringin tidak menindaklanjuti, maka para alim ulama tidal mau
dipersalahkan apabila terjadi gejolak dalam masyarakat. Tembusan hasil
rapat dikirimkan kepada Camat Caringin, Kapolsek dan Dan Ramil
Caringin, MUI Kecamatan dan KUA Kecamatan Caringin.
Kelima, pada tanggal 16 Januari 2009 diadakan rapat khusus di
Ruang Camat Kecamatan Caringin. Rapat yang dihadiri Camat Caringin,
Kapolsek, Dan Ramil, MUI Caringin, Kepala KUA Caringin, Kepala Desa
Tangkil dan Ketua MUI Desa Tangkil itu menindaklanjuti hasil rapat
tanggal 9 Januari 2009 yang disampaikan MUI Desa Tangkil. Rapat
menghasilkan keputusan berikut: (a) Dalam masalah tarekat, Camat
menugaskan kepada Ketua MUI Kecamatan Caringin, Kepala KUA
Kecamatan Caringin, Kepala Desa Tangkil dan Ketua MUI Desa Tangkil,
untuk melaporkan masalah tarekat di Tangkil kepada MUI Kabupaten
Bogor; (b) Masalah waris (alm) Buya H. Harun, diurus oleh keluarga/ahli
waris (alm) Buya; (c) Kapolsek Caringin dan Dan Ramil agar memantau
keadaan lapangan untuk memberikan rasa aman dan ketenangan kepada
masyarakat.
Keenam, pada tanggal 19 Januari 2009 Tim Tripika Kecamatan
Caringin terdiri atas: Ketua MUI Caringin, Kelapa KUA Caringin, Ketua
MUI Desa Tangkil dan Kepala Desa Tangkil, menghadap Ketua MUI
Kabupaten Bogor untuk melaporkan keberadaan Tarekat Sammaniyah dan
Naqshabandiyah serta pengikut-pengikutnya.
Sejak Tim Tripika Kecamatan Caringin menghadap dan melaporkan
keberadaan tarekat di Desa Tangkil kepada Ketua MUI Kabupaten Bogor,
maka sejak itu pula hingga saat penelitian ini dilakukan, persoalan Tarekat
Sammaniyah Dan Naqshabandiyah di Desa Tangkil Kecamatan Caringin
ditangani oleh MUI Kabupaten Bogor dan Pemerintah Kabupaten Bogor.
Berbagai rapat dan pertemuan yang dilakukan oleh para pejabat
setempat dengan mengikut sertakan unsur ulama, tokoh agama, tokoh
masyarakat terkait, MUI, Tripika dan aparat keamanan setempat dalam
96
HARMONI Januari - Maret 2010
BASHORI A. HAKIM
berbagai rapat dan pertemuan sesuai intensitas permasalahan yang sedang
dihadapi terkait Tarekat Sammaniyah dan Naqshabandiyah, menunjukkan
kepekaan dan tingginya respon mereka dalam menghadapi berbagai
persoalan yang timbul dalam masyarakat, dalam hal ini persoalan
keagamaan menyangkut Tarekat Sammaniyah dan Naqshabandiyah.
Dengan adanya berbagai penanganan (yang di antaranya bersifat
antisipatif) sebagaimana disebutkan di atas, maka sekarang tidak lagi
terlihat adanya konflik antara H. Is. dengan Ir. yang saling berebut pengaruh
untuk menguasai aset peninggalan (alm) Buya H. Harun. Keduanya berikut
isteri masing-masing sudah tidak lagi tinggal menempati rumah
peninggalan (alm) Buya di Sitong, bahkan sudah tidak lagi tinggal di
Caringin. Dengan demikian antara keduanya tidak lagi berebut untuk
memimpin tarekat di Sitong Desa Tangkil. Para pengikut Tarekat
Sammaniyah dan Naqshabandiyah yang terpusat di Sitong Desa Tangkil
sudah tidak terkoordinasi lagi yang pada umumnya berasal dari luar Desa
Tangkil dengan jumlah sekitar 13 orang.
Analisis
Berdasarkan perspektif konflik, dapat difahami bahwa kehidupan
keagamaan masyarakat di Kecamatan Caringin terikat bersama oleh
kelompok keagamaan yang dominan yakni Nahdlatul Ulama (NU).
Kehadiran kelompok Tarekat Sammaniyah dan Naqshabandiyah yang
diprakarsai oleh H. Is. dan Ir. menimbulkan permasalahan di kalangan
masyarakat kecamatan ini, terutama yang disebarkan oleh H. Is. yang
dianggap oleh para ulama setempat menyimpang dari ajaran Ahlussunnah
wal Jamaah. Adanya indikasi kuat bahwa konflik antara kedua murid
Buya yang sama-sama merasa paling berhak menjadi penerus Buya H.
Harun untuk menjadi pimpinan tarekat dengan sama-sama menempati
rumah peninggalan Buya di Setong, adalah konflik kepentingan ekonomi
memperebutkan aset peninggalan Buya. Dengan demikian, maka terjadi
dua sisi konflik, yakni konflik perebutan kekuasaan ekonomi antara H. Is
dengan Ir di satu sisi dan konflik antara H. Is dengan para ulama bersama
masyarakat di sisi lain. Perebutan kepemimpinan dengan klaim masingmasing
merasa ajarannya yang paling benar sebagai upaya mencari
pengaruh, merupakan bentuk eksploitasi terhadap masyarakat.
Keberadaan keduanya di Kecamatan Caringin –dengan demikian97
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33
KASUS KONFLIK PEREBUTAN KEPEMIMPINAN TAREKAT SAMMANIYAH DAN NAQSHABANDIYAH...
dipandang masyarakat mengganggu ketertiban sosial dan mengusik
ketenteraman kehidupan keagamaan masyarakat yang selama ini kondusif
dengan diwarnai oleh penerapan nilai-nilai keagamaan kelompok dominan.
Kegiataan dzikir dan wirid di Sitong Desa Tangkil ketika dipimpin
Buya H. Harun semasa beliau masih hidup, terlepas bahwa beliau selama
mengajarkan dzikir dan wirid tidak pernah menyebut-nyebut ajaran
wiridnya sebagai Tarekat Sammaniyah dan Naqshabandiyah, umat Islam
Desa Tangkil dan sekitarnya tidak pernah mempermasalahkannya. Sikap
masyarakat itu dapat dimengerti karena di samping kegiatan dzikir dan
wirid yang diajarkan dinilai oleh para ulama setempat tidak bertentangan
dengan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut sebagian besar umat
Islam di Desa Tangkil dan Kecamatan Caringin yang mayoritas pengikut
Nahdlatul Ulama (NU). Umat Islam di wilayah itu memandang (alm) Buya
H. Harun sebagai sosok yang sopan, rendah hati, supel dan suka
bersilaturrrahim. Di antara ajarannya yang menganjurkan agar masyarakat
mencontoh perilaku Nabi SAW., dalam beragama hendaknya banyak
berdzikir, banyak beramal saleh dan bukannya banyak cakap/bicara,
menjadikan (alm) Buya H. Harun semasa hidupnya di Tangkil sebagai
pribadi yang disukai orang-orang sekitar. Penilaian masyarakat terhadap
pribadi (alm) Buya H. Harun sebagai “guru/ustadz” yang berperilaku baik
dan terlihat tulus dalam menyebarkan ajaran agama itu, bahkan dapat
mengelabuhi masyarakat tidak mempersoalkan ketika (alm) Buya H. Harun
selaku orang asing “membeli” areal tanah/sawah garapan di Sitong
Desa Tangkil dengan cara membayar ganti rugi kepada pihak penggarap.
Pada hal pembelian (dengan cara ganti rugi) atas tanah garapan itu dapat
dipermasalahkan. Sekalipun demikian, masyarakat tidak
mempermasalahkannya. Kenyataan demikian menunjukkan bahwa
masyarakat tidak berkeberatan atas keberadaan (alm) Buya H. Harun
berikut masjid dan rumah tinggal beliau yang dibangun di atas tanah sawah
garapan di Sitong ketika itu. Bahkan, semasa keberadaan beliau di Sitong
tidak pernah ada perselisihan atau konflik dengan masyarakat sekitar,
khususnya umat Islam. Banyaknya ulama dan umat Islam setempat yang
ikut serta menghadiri pemakaman beliau di Sitong pada saat meninggal,
menunjukkan rasa hormat dan simpati masyarakat Desa Tangkil.
Namun, ternyata sepeninggal beliau timbul permasalahan.
Masyarakat yang semula hidup dalam keadaan tenang dan damai, terusik
98
HARMONI Januari - Maret 2010
BASHORI A. HAKIM
oleh perselisihan dan konflik di antara dua orang murid/penganut ajaran
keagamaan beliau yakni antara H. Is. dengan Ir. Hubungan persaudaraan
keduanya dengan (alm) Buya H. Harun lantaran perkawinan, yang samasama
merasa punya hak menjadi penerus (alm) Buya untuk memimpin
tarekat, tampaknya menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya konflik
antara keduanya. Memang, kehendak keduanya yang sama-sama ingin
menjadi penerus (alm) Buya H. Harun untuk menjadi pimpinan tarekat
itu bukan tanpa alasan. Amanah dari (alm) Buya H. Harun yang keduanya
sama-sama mengaku memperolehnya, dijadikan alasan oleh keduanya
sebagai orang yang berhak menjadi penerusnya. Apalagi keduanya samasama
menjadi murid (alm) Buya yang paling senior. Nama tarekat yang
diajarkan Buya semasa hidupnya sebagai “Tarekat Sammaniyah dan
Naqshabandiyah” justru diperkenalkan oleh kedua muridnya itu.
Persaingan dan perebutan pengaruh untuk memperoleh pengikut tarekat
semakin tampak ketika H. Is. menggunakan pendekatan ekonomi dengan
pemberian pekerjaan kepada orang yang mau menjadi pengikut tarekatnya.
Rekruitmen anggota tarekat dengan cara yang tidak sehat yang
dipraktekkan H. Is. itu mulai menimbulkan ketidaksenangan masyarakat
kepadanya, termasuk terhadap tarekatnya. Timbulnya klaim antara H. Is.
dengan Ir. yang sama-sama mengaku terekatnyalah yang paling benar,
menunjukkan tingginya eskalasi konflik antara keduanya. Oleh karena
itu, para ulama dan masyarakat setempat mulai mempersoalkan tentang
keberadaan keduanya di wilayah mereka.
Diduga kuat, persaingan antara H. Is. dengan Ir. yang sama-sama
ingin menjadi penerus (alm) Buya H. Harun untuk memimpin tarekat,
hanyalah sekedar tak-tik belaka. Dimungkinkan target utama dari keduanya
adalah penguasaan aset peninggalan (alm) Buya H. Harun berupa tanah
berikut bangunan rumah milik Buya. Ambisi keduanya untuk mengelola
tarekat dan masjid peninggalan Buya tampaknya bukan merupakan target
utamanya, sekalipun keduanya terlihat berupaya kuat untuk menjadi
penerus Buya untuk memimpin tarekat dengan pusat kegiatannya di masjid
Baitul Ibadah. Dugaan itu mungkin saja benar karena indikasi ke arah
penguatan dugaan terlihat jelas, yakni bahwa keduanya (bersama isteri
masing-masing) sama-sama menempati rumah peninggalan Buya.
Logikanya, jika keduanya sekedar ingin menjadi penerus Buya dalam
menangani tarekat, tentunya tidak harus tinggal dan mendiami rumah
99