Teknologi Hanya Menyumbang 10% Keberhasilan

6 Jul 2023
Teknologi Hanya Menyumbang 10% Keberhasilan
Bedah Buku Organisasi Adaptif di Era Digital, Rabu (5/7/2023).

Jakarta (Balitbang Diklat). Berdasarkan beberapa riset, ternyata teknologi hanya menyumbang 10% saja keberhasilan implementasi Teknologi Informasi (TI).

Slamet, penulis buku Organisasi Adaptif di Era Digital menyampaikan hal tersebut pada kegiatan bedah buku yang digelar Perpustakaan Kementerian Agama di Jakarta, Rabu (5/7/2023).

Menurutnya, 90% kegagalan implementasi teknologi berasal dari berbagai faktor seperti sosial, budaya, sistem, struktur, bahkan politik. Menjadikan organisasi berbasis digital tidak sekedar otomatisasi layanan atau hanya persoalan teknologi, melainkan dengan mengubah sistem, business process, birokrasi, budaya, dan mindset berbasis digital.

“Transformasi digital adalah proses mengubah cara organisasi memanfaatkan teknologi, orang, dan proses untuk meningkatkan kinerja organisasi serta menghasilkan model bisnis baru. Transformasi ini bersifat budaya dan memengaruhi semua elemen bisnis proses,” tuturnya.

Senada dengan temuan pada disertasinya, faktor-faktor tersebut yaitu kurang penyelarasan antara arah strategis organisasi dengan arah strategis TI, kurang mempertimbangkan budaya dalam organisasi yang berlaku, dan kurang melibatkan staf profesional dan stakeholder kunci.

Selain itu, perubahan tidak dikomunikasikan kepada stakeholder, resistensi individu dan kelompok terhadap perubahan, serta kurang sumber daya organisasi.

“Faktor lainnya adalah muncul konflik dalam organisasi, kurang dukungan stakeholder kunci, kurang memerhatikan faktor perilaku dan terjadinya rintangan sosial, kurang memperhatikan faktor politik organisasi, kurang memerhatikan kepentingan staf sebagai manusia,  dan kurang komitmen manajemen puncak,” ujarnya.

“Intinya, kegagalan tersebut karena hanya berfokus pada aspek teknologi, kurangnya political will, dan kurang memahami business process dalam organisasi,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Slamet mengatakan, organisasi yang adaptif mampu mengenali perubahan lingkungan yag terjadi dengan cepat serta melakukan perubahan dengan baik dan benar.

“Organisasi adaptif berusaha menjadikan dirinya organisasi korporasi yang digital dan tangkas. Tidak menunggu pesaing mengenalkan perubahan dan merespons berubahan dengan baik,” katanya.

“Secara individu atau organisasi, kita dituntut secara seksama untuk selalu memerhatikan perkembangan, tekanan, dan tuntutan lingkungan eksternal yang mungkin bersifat turbulen,” lanjutnya.

Kreativitas dan inovasi berbasis riset sangat diperlukan bagi organisasi bisnis atau publik. Tidak bisa dielakkan, bahwa organisasi harus adaptif dan bertransformasi.

“Oleh sebab itu, transformasi secara sistematis dengan pendekatan-pendekatan secara akademis harus dilakukan. Ekonomi global, transformasi Industri, dan transformasi organisasi dan manajemen menjadi tiga faktor penting tuntutan organisasi harus bertransformasi,” ungkapnya.

Slamet juga menekankan bahwa implementasi teknologi informasi dan komunikasi pada institusi di Kementerian Agama perlu diukur tingkat efektivitasnya. Pengukuran tersebut dapat dilihat dari sistem aplikasi.

“Tolok ukurnya bisa dilihat dari variasi aplikasi, integrasi aplikasi, dan manfaat aplikasi bagi manajemen maupun publik. Karena implementasi teknologi ini menggunakan uang negara, maka jangan sampai terjadi project gagal,” pungkasnya.

Slamet menutup paparan dengan mengutip Charles Darwin: “Bukan ruang angkasa yang terkuat atau bukan juga orang yang paling cerdas. Tetapi orang paling responsif terhadap perubahanlah yang kuat bertahan”.

HAR/diad

Penulis: Hariyah
Editor: Dewi Indah Ayu
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI