Tradisi Lisan Sebagai Jati Diri Orang Indonesia
Jakarta (19 Agustus 2019). Tradisi lisan di Indonesia banyak mengandung nilai-nilai dan filosofi kehidupan. Bila digali lebih mendalam kita dapat menemukan bahwa sebenarnya tradisi lisan merupakan jati diri orang Indonesia.
Hal ini dikatakan akademisi UIN Jakarta, Rusmin Tumanggor dalam kegiatan yang dilakukan Balai Litbang Agama Jakarta, bertajuk Penjajakan Penelitian Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Tradisi Lisan Di Indonesia Bagian Barat, di Jakarta, Senin (19/10).
Menurut Rusmin, banyak tradis lisan yang masih belum diteliti secara mendalam. Padahal didalamnya mengandung filosofi dan nilai-nilai religi agama dan juga nilai-nilai dasar politik untuk menata kehidupan masyarakat.
“Sebagai antropog saya melihat dalam tradisi lisan itu ada dua, etik dan emik. Yang sering diangkat selama ini kajiannya pada; data, konsep dan teori filsafat ke-etik-an dari akademisi. Tapi sisi emik kadang tidak terangkat, seperti tentang ungkapan-ungkapan dalam kehidupan, motifasi bekerja, budaya malu atau hal-hal keseharian lainnya. Oleh karena itu, dengan penelitian yang dilakukan Balai Litbang Agama Jakarta ini, semoga hal-hal seperti itu bisa diungkap. Kalau tradisi lisan yang ada di Indonesia bisa diteliti semua, kita bisa menemukan grand design yang bisa digunakan pemerintah untuk dijadikan payung hukum membuat dasar pengembangan bangsa dibidang agama, teknologi ekonomi dan sosial, serta masih banyak lagi. Sehingga jati diri bangsa bisa terlihat sebagai jati diri orang Indonesia,” ujar Rusmin yang menjadi narasumber di kegiatan ini.
Hal yang sama dikatakan Pudentia, Dosen dan peneliti Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang juga narasumber di kegiatan ini. Menurutnya, melalui penelitian ini bisa menjelaskan kepada masyarakat bahwa kebudayaan (tradisi lisan) itu bagian dari agama.
“Harapan saya besar pada penelitian ini. Karena penelitian ini juga bisa menjelaskan bagaimana hubungan tradisi lisan dengan keagamaan. Bisa juga tentang kearifan lokal atau teknologi tradisional yang digunakan leluhur kita. sehingga bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi generasi nanti, ” tutur Pudentia yang juga merupakan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Kementerian Agama, Muhammad Zain dalam sambutan pembukaan mengatakan penelitian ini bagian dari forklor-budaya lokal, hal ini yang menjadi riset kebanggaan.
“Sudah lima tahun terakhir litbang melakukan riset tradis lisan ini. Tahun ini saya mulai menggeser paradigma tradisi lisan lokusnya ke pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah( masjid, gereja tua, pura/wihara). Ada argumentasi saat mengunjungi Pondok Pesantren Tambak Beras di Jawa Timir. Saya terkejut karena langsung dikasih buku memuat 133 forklor pendirian pondok pesantren, ada mitos, kisah-kisah tentang kyai. Jadi di pondok pesantren sangat banyak tradisi lisan yang berkembang disitu,” tuturnya dihadapan sekitar 50 peserta kegiatan yang merupakan peneliti, akademisi dan perwakilan organisasi penggiat tradisi lisan.
Balai Litbang Agama Jakarta akan melakukan penelitian ini di tiga provinsi (Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten). Menurut Ketua Tim Peneliti Nilai-nilai Pendidikan Agama Dalam Tradisi Lisan, Mahmudah Nur pemilihan wilayah tersebut bukan hanya karena wilayah penelitian dari Balai Litbang Agama Jakarta, namun juga mewakili gambaran bentuk atau ungkapan kebudayaan dari beberapa suku yang ada di Indonesia.
“Fokus tradisi lisan dalam penelitian ini menekankan kepada tradisi yang hidup di masyarakat baik dilihat dari segi teks dan konteks masyarakat yang menjadi locus penelitian, dalam hal ini adalah nilai-nilai pendidikan agama dalam tradisi lisan,” jelas Mahmudah.
Aris W Nuraharjo/diad