Urgensi Moderasi Beragama di Era Urban, Middle Class, dan Milenial

7 Jun 2024
Urgensi Moderasi Beragama di Era Urban, Middle Class, dan Milenial
Sesban Arskal Salim pada kegiatan Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama dan Pelatihan Implementasi Kurikulum Merdeka, di Balai Diklat Keagamaan Surabaya di Surabaya, Jumat (7/6/2024).

Surabaya (Balitbang Diklat)---Salah satu tantangan besar saat ini adalah menjaga keseimbangan antara hak beragama dan komitmen kebangsaan. Indonesia, meskipun bukan negara agama, kehidupan beragama sangat melekat pada masyarakat, dan menjaga harmoni ini menjadi tugas penting bagi setiap warga negara.

 

Menurut Sekretaris (Sesban) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Arskal Salim, masa depan Indonesia akan didominasi oleh tiga entitas, yaitu masyarakat urban, middle class atau kelas menengah, dan milenial.

 

Arskal memaparkan data yang menunjukkan bahwa pada 2020, 56,7% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, 62,8% termasuk kelas menengah, dan 34,0% berusia antara 20-39 tahun.

 

“Karakteristik masyarakat urban middle-class yang muncul mencakup kemampuan tinggi dalam teknologi, tech-savvy, religius, modern, dan memiliki daya beli kuat,” ujar Arskal di Surabaya, Jumat (7/6/2024).

 

Arskal menyampaikan pandangannya mengenai sketsa kehidupan beragama di Indonesia masa depan tersebut di hadapan puluhan peserta Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama dan Pelatihan Implementasi Kurikulum Merdeka, di Balai Diklat Keagamaan Surabaya.  

 

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga mengungkapkan bahwa terjadinya perubahan demografis ini, muncul pula urgensi moderasi beragama yang semakin penting. Menurutnya, tantangan pertama yang dihadapi adalah berkembangnya cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang berlebihan atau ekstrem, yang mengesampingkan martabat kemanusiaan.

 

“Upaya untuk mengatasi tantangan ini termasuk memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat,” kata pria kelahiran Makassar ini.

 

Tantangan kedua, lanjut Arskal, adalah berkembangnya klaim kebenaran subjektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama, serta pengaruh kepentingan ekonomi dan politik yang berpotensi memicu konfli. “Mengelola keragaman tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagaman menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan ini,” imbuhnya.

 

Tantangan ketiga adalah berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Upaya untuk mengatasi ini adalah dengan merawat keindonesiaan dan menjaga semangat kebangsaan.

 

Penguatan moderasi beragama adalah upaya bersama bangsa Indonesia untuk menyelaraskan visi beragama dan bernegara. “Dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan, moderasi beragama menjadi kunci untuk menjaga kerukunan dan persatuan di tengah masyarakat yang religius dan majemuk,” pungkasnya. (Barjah/bas/sri)

   

 

Penulis: Barjah
Sumber: Barjah
Editor: Abas dan Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI