UU Perkawinan Bukanlah Bentuk Penghakiman, Pemaksaan, dan Pembatasan Hak Asasi Warga Negara
Jakarta (14 Oktober 2014). Pemerintah menyatakan bahwa Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bermaksud untuk menghakimi, memaksa, dan membatasi hak asasi warga negara.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama, Machasin saat membacakan pandangan pemerintah (Presiden dan Kementerian Agama) pada sidang uji materi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Pasal 2 ayat 1) yang diselenggarakan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jl. Merdeka Barat no. 6, Jakarta.
Pandangan pemerintah disampaikan dalam rangka menanggapi judicial review terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Pasal 2 Ayat 1) yang diajukan oleh Ahnbar Jayadi, dkk. Sidang yang digelar pada hari Selasa, 14 Oktober 2014 pukul 11.00 mengagendakan penyampaian keterangan Presiden, DPR, Pihak Terkait serta Kementerian Agama. Sidang dipimpin langsung Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelfa.
Dalam pandangan yang dibacakan Machasin, Pemerintah menganggap bahwa para pemohon tidak meresapi dan memahami esensi perkawinan. Perkawinan pada intinya merupakan bentuk ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pemerintah juga menjelaskan bahwa ikatan perkawinan tidak semata-mata merupakan perjanjian perdata. Esensi perkawinan juga menyangkut nilai-nilai religius, yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu peristiwa perkawinan memiliki makna yang sangat sakral. Oleh karena itu, penyerahan keabsahan perkawinan kepada tata cara dan ketentuan hukum yang berlaku pada masing-masing agama sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan, sejalan dengan Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pemerintah juga berpendapat bahwa Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah sejalan dengan UUD 1945 Pasal 28 J Ayat 2 yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Pemerintah menyatakan bahwa Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang Perkawinan tidak bermaksud untuk menghakimi, memaksa, dan membatasi hak asasi warga negara. Justru pasal tersebut merupakan bentuk penghormatan, perlindungan, dan jaminan kepastian hukum terhadap setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan.
Pemerintah beranggapan bahwa jika gugatan pemohon dikabulkan oleh Majelis Hakim Konstitusi, maka hal itu akan berdampak luas dan akan menimbulkan disharmoni tidak hanya antar keluarga, tetapi juga disharmoni antara masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karena itu, pemerintah berharap Majelis Hakim Konstitusi menolak permohonan pengujian para pemohon secara keseluruhan.
Selain mendengarkan pandangan pemerintah, sidang yang digelar sejak pukul 11.00 WIB juga mendengarkan keterangan dari pihak terkait. Dalam kesempatan ini, pandangan pihak terkait disampaikan oleh Kuasa Hukum Front Pembela Islam (FPI).
Senada dengan pandangan pemerintah, FPI juga memandang bahwa Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukanlah merupakan bentuk pemaksaan dan perampasan hak asasi warga negara. Justru pasal tersebut telah mengakomodir bentuk kesakralan ikatan perkawinan yang oleh masing-masing agama memiliki tata cara pengaturan yang berbeda-beda. Sehingga ketika negara menyatakan sah-nya perkawinan diserahkan pada tata cara dan hukum perkawinan masing-masing agama, maka itu merupakan bentuk penghormatan negara terhadap ajaran agama, dalam hal ini ajaran tentang perkawinan. Selain itu, FPI juga menganggap bahwa Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam kesempatan ini, FPI juga menyampaikan kekhawatiran jika permohonan para pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang akan muncul permohonan pengesahan tidak haya bagi pasangan beda agama, tetapi juga pada pasangan sejenis. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan alasan sosiologis dan yuridis, FPI mengajukan permohonan agar Majelis Hakim Konstitusi Menolak Seluruh gugatan yang diajukan oleh pemohon.
Sidang permohonan Uji Materi UU Nomor 1 Tentang Perkawinan (Pasal 2 Ayat 1) dengan nomor perkara 68/PUU-XII/2014 akan dilanjutkan pada hari Rabu, 22 Oktober 2014, dengan agenda mendengarkan keterangan dari DPR, MUI, Pihak Terkait (Tim Advokasi untuk Kebhinekaan dan Muhammadiyah), dan keterangan dari saksi yang diajukan oleh pemohon.
AGS