Wamen: Perbedaan Kekuatan Utama Bangsa Indonesia

2 Agt 2023
Wamen: Perbedaan Kekuatan Utama Bangsa Indonesia
Wamen Saiful Rahmat Dasuki pada The 4th International Symposium On Religious Literature And Heritage (Islage) di Yogyakarta, Rabu (2/8/2023).

Yogyakarta (Balitbang Diklat)---Indonesia merupakan negara heterogen yang diberkahi perbedaaan suku, agama, ras, bahkan latar belakang budaya yang berbeda. Perbedaan tersebut yang menyadarkan dan menginspirasi para pendiri bangsa bahwa Indonesia dibangun dari keberagaman.

“Keberagaman bukan hal yang harus ditarik berhadap-hadapan, tetapi dijadikan kekuatan utama yang akhirnya menjadi Pancasila,” ujar Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki saat memberikan keynote speech pada The 4th International Symposium on Religious Literature and Heritage (Islage) di Yogyakarta, Rabu (2/8/2023).

Pada kegiatan yang digelar Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organiasi bekerja sama dengan UIN Sunan Kalijaga tersebut, Wamen juga memberikan contoh praktik moderasi beragama yang diwariskan oleh leluhur.

“Sunan Kudus mengganti sapi—sebagai hewan yang dimuliakan umat Hindu—dengan kerbau. Begitu pun di Betawi, tidak mengenal kata salat, tapi sembahyang. Artinya, seluruh masyarakat Indonesia terbangun dari sebuah pemikiran budaya yang adaptif,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Wamen mengatakan perubahan kehidupan di tengah arus globalisasi sangat kuat. Jangan sampai perubahan tersebut menggerus nilai-nilai-nilai budaya, terutama nilai toleransi dan moderat.

Menyikapi hal tersebut, Wamen menyebutkan tiga hal yang harus diwaspadai. Pertama, ideologi trans-nasional yang mencabik-cabik nilai persaudaraan dan memecah belah masyarakat.

“Ideologi ini menjauhkan masyarakat dengan budaya karena agama,” tuturnya.

Kedua, adanya klaim kebenaran tunggal dari golongan tertentu yang merasa paling benar. Terakhir, ekslusivisme suatu golongan dalam membangun jaringan.

Menyikapi hal tersebut, Wamen mengatakan, perlunya memahami kaidah fiqih al-muhafadhotu 'ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Artinya, memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.

“Jadi pendahulu kita telah menanamkan ajaran moderasi dalam kehidupan masyarakat. Tidak menolak terhadap sebuah perubahan tetapi tidak juga membumihanguskan terhadap budaya-budaya yang telah tertanam,” ungkapnya.

Budaya baru yang datang dari luar maupun hasil dari sebuah interaksi sosial pun tidak bisa terelakkan. Selain itu, bagaimana kekuatan media sosial sangat mendominasi kehidupan sehari-hari.

“Kita bisa mengambil hal-hal baik dari sesuatu yang baru itu dan tidak menolak perubahan-perubahan tersebut,” tandasnya.

(diad/Sr)

Penulis: Dewi Indah Ayu
Editor: Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI