Akselerasi Anggaran dan Reorientasi Penelitian
Rakor Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) di Yogyakarta menggali dua hal penting yakni akselerasi program anggaran dan reorientasi penelitian. Rakor yang berlangsung tanggal 30 Agustus sampai 1 September 2018 ini menghasilkan berbagai hal baru seperti rencana penerapan penelitian kompetitif, produksi policy brief secara kontinyu, dan reorientasi judul-judul penelitian sesuai konteks kekinian.
Akselerasi penyerapan program-anggaran dinyatakan Kapuslitbang LKKMO Muhammad Zain sebagai upaya mengambil langkah-langkahextra ordinary penyelarasan program sekaligus percepatan penuntasan anggaran. Disamping itu, adalah penyiapan program 2019 secara matang dari plafon anggaran yang tersedia. Hadir sebagai narasumber Kepala Biro Perencanaan Dr. Ali Rokhmat. Beliau menegaskan perlunya antisipasi bila usulan anggaran khusus penilaian buku pendidikan agama dan pusat kajian manuskrip yang telah dikirim ke Direktorat Jenderal Anggaran disetujui. Papar Karocan Ali Rokhmat.
Terkait reorientasi penelitian, dijelaskan Prof. Irwan Abdullah. Antropolog UGM ini secara lugas menyitir bahwa Kementerian Agama dihadapkan pada banyak persoalan internal dan eksternal. Persoalan internal adalah kurangnya bahan untuk menghadapi berbagai isu yang berkembang bahkan lemahnya antisipasi terhadap derasnya perubahan tersebut. Sedangkan persoalan eksternal adalah terjadinya perubahan negara karena peralihan era revolusi industri.
Dikatakan, saat ini negara telah memasuki era disruption(gangguan/kekacauan) setelah mengalami beberapa tahap revolusi industri, yaitu: Era 1.0 yang ditandai dengan adanya mesin uap, Era 2.0 ditandai dengan banyaknya penggunaan mesin dalam berbagai aspek, Era 3.0 ditandai dengan penggunaan listrik pada berbagai sendi kehidupan, dan Era 4.0 ditandai dengan aktivitas berbasis internet. Efek perubahan menurut murid Clifford Geertz ini menuntut kita melakukan penyesuaian-penyesuaian termasuk dalam bidang penelitian. Tema-tema penelitian harus berubah, jika tidak berarti kita tidak membaca bahkan tidak peka terhadap fenomena yang berkembang.
Dijelaskan, dulu agama bersifat otoritatif, dominan dan absolut. Makanya judul-judul penelitian lebih pada peran ulama dan perubahan sosial misalnya. Nah era sekarang, tokoh-tokoh agama bisa dipertanyakan bahkan dilaporkan. Jadi otorisasi masa lalu sudah berubah. Tempat-tempat ibadah mengalami dislokasi dan disfungsi sehingga agama semakin lemah. Dulu agama sebagai komunitas dimana setiap orang saling terikat karena spirit agama, saat ini telah hilang sehingga perlu revitalisasi dan rekonstruksi melalui naskah-naskah yang berisi kekuatan masa lalu. Jadi, papar Irwan, kita perlu belajar sejarah karena sejarah itu adalah identitas dan ujungnya adalah solidaritas.
Era revolusi industri 4.0 menurut Irwan adalah era dimana kita dirampas oleh media berbasis internet yang kekuatannya dapat mengubah semua hal. Orang bisa terkenal mendadak karena media dan orang dapat menggali berbagai informasi lewat media. Efek dari itu semua adalah terjadi depersonalisasi. Jika dulu belajar agama bersifat personal menyangkut hubungan antara santri dengan gurunya, saat ini tidak lagi seperti itu, orang belajar melalui gambar, simbol, video, sehingga terjadi pendangkalan, pesannya tidak sampai bahkan bisa menyimpang karena tidak ada kontrol dari gurunya. Dengan demikian, penelitian di era baru ini harus mampu menjawab berbagai persoalan di atas, karena ketika agama termediakan, maka substansinya menjadi hilang karena cenderung polarisasi dan entertain/hiburan.
Datangnya era baru ini tantangan bagi peneliti. Oleh karenanya, menjadi peneliti harus merupakan panggilan jiwa, jika tidak maka bisa menghasilkan tabel-tabel tapi tidak ada rasanya yakni rasa keindonesiaannya. Perlu disadari, bahwa posisi Kementerian Agama itu adalah institusi yang memiliki tugas dan fungsi melakukan proses menuju tujuan nasional diantaranya menciptakan harmoni atau kerukunan umat beragama. Persoalan kerukunan ini tidak pernah selesai hingga sekarang. Puslitbang Lektur seyogyanya menjadi pionir mem-back up institusi Kementerian Agama dalam menjawab persoalan-persoalan yang terus berkembang, salah satunya melalui policy brief yang harus dihasilkannya setiap saat.
Untuk itu, kita perlu bagaimana mereformasi lembaga dengan baik, yaitu dengan cara membangun pilihan nilai yang harus disepakati bersama baru setelah itu membuat visi dan misi. Dengan pilihan nilai yang diambil maka terdapat tiga hal penting penopangnya, yakni idealisme anggota, pengetahuan (knowledge), dan keteladan.
Setiap anggota organisasi harus memiliki idealisme sehingga melahirkan identitas dan solidaritas. Tanpa idealisme maka kinerja menjadi buruk karena tidak ada karakter dan kebersamaan yang dibangun. Pengetahuanpun menjadi sangat penting, dimana setiap anggota dituntut memiliki pengetahuan yang cukup sesuai bidang tugasnya, tanpa pengetahuan pekerjaan menjadi kacau bahkan tidak menghasilkan sesuatu. Dan terakhir adalah keteladan yang harus melekat pada setiap diri dengan penuh komitmen, disamping harus meneladani orang yang lebih baik, tapi lebih penting adalah dapat diteladani oleh orang lain. (IA/bas/ar)