Sekolah dan Tantangan Menanamkan Moderasi Beragama

Jakarta (BMBPSDM)---Intoleransi di sekolah sering muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari ejekan antarpelajar karena perbedaan agama, pelabelan negatif terhadap mereka yang berbeda pandangan, hingga penolakan untuk bekerja sama dalam tugas kelompok. Situasi semacam ini menjadi tantangan bagi pembentukan karakter dan penguatan nilai kebangsaan di kalangan pelajar.
Padahal, sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman untuk belajar, tumbuh, dan mengenal keberagaman. Namun, ketika intoleransi justru berkembang di dalamnya, sekolah berpotensi melahirkan generasi yang keras hati, berpikiran sempit, dan lemah dalam membangun kebersamaan.
Survei SETARA Institute tahun 2023 menunjukkan bahwa 24,2% pelajar tergolong intoleran pasif, 5,0% intoleran aktif, dan 0,6% terpapar ideologi ekstremisme kekerasan. Lebih dari itu, 83,3% responden menyatakan Pancasila bukan ideologi permanen sehingga dapat diganti. Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan alarm bahwa benteng persatuan bangsa mulai rapuh dari dalam.
Jika intoleransi pasif terus dibiarkan, ia akan berkembang menjadi intoleransi aktif. Dari sekadar menutup mata, berubah menjadi mendukung, hingga akhirnya terjerumus dalam lingkaran radikalisme. Ketika ruang publik dipenuhi narasi intoleransi, suara-suara moderat akan semakin terpinggirkan.
Moderasi Beragama
Sikap moderat dalam beragama tidak muncul begitu saja, melainkan perlu dibiasakan sejak lingkungan keluarga hingga sekolah. Sebaliknya, hidup dalam lingkungan yang eksklusif justru menumbuhkan fanatisme sempit dan perilaku diskriminatif.
Namun, menanamkan moderasi beragama bukan perkara mudah. Masih banyak sekolah yang menutup ruang diskusi lintas iman karena khawatir pada isu akidah. Tak sedikit pula orang tua yang menolak anaknya mengikuti kegiatan lintas agama. Kehadiran media sosial, semakin memperkeruh keadaan, seperti konten dakwah yang dikemas dengan bahasa agama, tetapi isinya justru menebar kebencian terhadap kelompok lain. Pelajar dengan literasi digital rendah dan pemahaman agama yang dangkal akan mudah terjerumus pada konten semacam ini.
Selain itu, masih ada guru yang mengajarkan agama dengan cara sempit, hanya dari sudut pandang kelompoknya, tanpa mengaitkannya dengan nilai-nilai nasionalisme. Padahal, menghadapi tantangan intoleransi membutuhkan pendekatan yang menyeluruh, konsisten, dan melibatkan seluruh warga sekolah.
Azyumardi Azra (dalam Lessy et al., 2022) menyebut moderasi sebagai nilai-nilai yang membangun keharmonisan sosial-politik serta keseimbangan dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Bersikap moderat bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban untuk merawat kebhinekaan.
Moderasi beragama bukan hanya menciptakan suasana sekolah yang damai, tetapi juga menjadi modal penting bagi kehidupan berbangsa. Indonesia berdiri di atas keberagaman suku, agama, ras, dan golongan (SARA). Jika sejak sekolah siswa sudah dilatih menerima perbedaan, kelak mereka akan tumbuh menjadi warga negara yang inklusif, tangguh menghadapi propaganda ekstremisme, dan siap menjaga persatuan.
Sebaliknya, jika intoleransi dibiarkan berkembang, generasi mendatang akan mudah diadu domba oleh isu SARA. Sejarah mencatat, konflik atas nama agama selalu memakan korban terbesar dari kalangan rakyat biasa, yang sesungguhnya memiliki nilai kemanusiaan yang sama.
Nilai Moderasi
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (BLA) Semarang memiliki peran penting dalam menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia. Pada tahun 2023, BLA Semarang menyelenggarakan lomba TikTok Challenge Moderasi untuk pelajar, serta kegiatan penguatan moderasi beragama bagi para guru agama. Di tahun 2024, juga mengadakan Lomba Lukis Bertema Moderasi Beragama bagi Pelajar, Mahasiswa dan Umum bekerja sama dengan ISI Yogyakarta. Berbagai kegiatan ini menjadi sarana bagi generasi muda untuk mengekspresikan gagasan tentang perdamaian, persatuan, dan kebersamaan di tengah keberagaman.
Selanjutnya, bulan Mei 2025, BLA Semarang melaksanakan program penguatan moderasi beragama di SMA dan SMK negeri maupun swasta di Kota Semarang dengan tema “Moderasi Beragama (MB) in School: Calling for Moderate Leaders.” Program ini dirancang sebagai ruang edukasi dan inspirasi, agar para siswa dapat mengenal, memahami, serta mempraktikkan nilai-nilai moderasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam salah satu kegiatan MB in School, saat sesi diskusi tentang moderasi beragama, seorang peserta mengajukan pertanyaan sederhana namun sangat bermakna. Ia bertanya, “Di kampung saya, ada non muslim mengadakan doa bersama di rumah salah satu warga. Bagaimana sebaiknya sikap saya?”
Narasumber pun membuka ruang bagi peserta lain untuk menanggapi. Ada yang berpendapat, selama doa bersama tersebut tidak mengganggu warga sekitar, maka tidak masalah. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa doa seperti itu sebaiknya dilakukan di tempat ibadah saja demi menjaga kenyamanan bersama.
Di sinilah peran narasumber tidak untuk menghakimi mana jawaban yang benar atau salah, melainkan mengajak peserta merefleksikan nilai-nilai Pancasila dan konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga negara.
Nilai moderasi akan tampak ketika kita mengalami sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, bagaimana sikap kita saat diundang ke perayaan Natal, melayat tetangga non muslim, menghadiri hari raya agama lain, atau mengikuti doa bersama lintas iman. Hal ini menjadi ujian kecil yang menunjukkan kedewasaan kita dalam beragama.
Hakikatnya, moderasi beragama lahir dari pemahaman, refleksi, dan dialog, bukan sekadar hafalan. Moderasi mengajarkan kita untuk menjalankan agama dengan penuh hormat kepada orang lain, tanpa merugikan atau membatasi hak pemeluk agama lain (Kementerian Agama, 2019).
Kita tentu mendambakan sekolah yang damai, siswa yang saling menghormati dalam perbedaan, serta lulusan yang nasionalis tanpa kehilangan identitas religius. Semua itu hanya tercapai jika moderasi beragama ditanamkan sejak dini dan diperkuat melalui kebijakan sekolah yang mendukung toleransi.
Masa depan Indonesia bergantung pada bagaimana kita mendidik generasi muda hari ini, apakah mereka tumbuh menjadi generasi yang merawat kebersamaan dalam perbedaan, atau generasi yang terpecah oleh intoleransi. Pilihan itu ada di tangan kita.