ASPEK SOSIAL BUDAYA HAJI PADA KOMUNITAS KOTA DAN DESA DI BOJONEGORO JAWA TIMUR

19 Feb 2007
ASPEK SOSIAL BUDAYA HAJI PADA KOMUNITAS KOTA DAN DESA DI BOJONEGORO JAWA TIMUR
ASPEK SOSIAL BUDAYA HAJI PADA KOMUNITAS KOTA DAN DESA 
DI BOJONEGORO JAWA TIMUR

DRS. AHMAD SYAFI’I. MA
43 halaman

DEPARTEMEN AGAMA RI
BALAI PENELITIAN AGAMA DAN KEMASYARAKATAN
JAKARTA 1993 / 1994


Pada dekade lima puluhan makna haji sudah mengalami perubahan. Haji tidak sepopuler sebelumnya sebagai perwujudan ritual dan sekaligus sebagai lembaga untuk mendalami agama. Haji bagi umat Islam dan pemerintah merupakan bagian dari ritual keagamaan yang berdimensi sosial, kultural dan bahkan “politis”. Bagi umat Islam Haji pada masa kolonial merupakan fenomena kepeloporan, kejuangan dan pembaharuan. Sebaliknya bagi pemerintah Hindia Belanda, haji adalah musuh karena mereka banyak memelopori pemberontakan dan perlawanan pada pemerintahan Belanda. Pada masa kini haji juga dipandang sebagai simbol status sosial bagi orang yang kaya dan taat beragama. Kedudukan sosial seorang haji baik pada masa lalu ataupun pada masa kini selalu menarik para ahli untuk meneliti apa hakekat haji serta implikasinya pada kehidupan masyarakat, berbangsa dan berpolitik.

Pengetahuan dan penjelasan menyangkut fenomena haji sangat berguna bagi kepentingan analisis aspek sosial budaya Jamaah Haji, pengetahuan ini selain berguna untuk kepentingan teoritik yaitu menjelaskan asosiasi antara aspek sosial dan kultural dengan tindakan keagamaan tertentu yaitu Haji. Pada sisi lain penjelasan ini juga berguna bagi instansi-instansi yang terkait dengan penyelenggaraan, pelayanan dan bimbingan Haji. Kegunaan lainnya adalah dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan mengenai ketiga hal pengelolaan Haji.

Dari uraian hasil penelitian terlihat perbedaan persepsi antara jamaah haji yang berasal dari daerah pedesaan dengan perkotaan berkenaan dengan kewajiban mendahulukan ibadah haji atau menata kehidupan ekonomi dan pendidikan anak. Bagi orang kota bila keadaan ekonomi dan kemungkinan masa depan anak dapat diperkirakan maka ibadah haji mereka lakukan. Berbeda dengan mereka yang berasal dari daerah pedesaan, kewajiban haji lebih didahulukan dibandingkan dengan keadaan ekonomi setelah itu. Bahkan ada keluarga yang sekolah anaknya tidak terurus karena harta telah habis untuk ibadah haji.

Adapun usulan untuk pengembangan pembinaan haji, perlu diberikan penjelasan kepada umat agar memahami hakikat ibadah haji dalam kehidupan seorang muslim, sehingga haji tidak hanya sekedar ”gelar” atau predikat tanpa makna. Penjelasan yang demikian dapat dilakukan oleh para ulama dan mubaligh ketika diselenggarakan upacara keberangkatan ibadah haji (pelepasan) dan atau upacara penyambutan (kepulangan).***
 

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI