Idulfitri: Kembali kepada Fitrah, Fitrah yang Mana?

29 Mar 2025
Idulfitri: Kembali kepada Fitrah, Fitrah yang Mana?
Firman Nugraha, widyaiswara Balai Diklat Keagamaan (BDK) Bandung.

Jakarta (BMBPSDM)---Salah satu kebahagiaan bagi orang yang berpuasa adalah saat ia berbuka, dan kelak ketika bertemu dengan Allah SWT di akhirat. Lebaran, yang menjadi tradisi umat Islam di Indonesia, sejatinya merupakan perayaan idulfitri—sebuah momen yang dianggap sebagai kembalinya manusia kepada fitrah. Setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan dan menyempurnakannya dengan zakat, umat Islam meyakini diri mereka kembali dalam keadaan suci, layaknya bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Konsep ini bersandar pada hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa siapa saja yang berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan ketakwaan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.

 

Itulah sebabnya, di hari yang fitri ini, ucapan "Minal aidin wal faizin" kerap terdengar --ungkapan doa agar kita termasuk dalam golongan orang-orang yang kembali (kepada fitrah) dan memperoleh kemenangan (atas hawa nafsu). Fitrah yang dimaksud bukan sekadar kesucian dalam arti moral dan spiritual, tetapi juga kesadaran baru setelah melewati madrasah Ramadan. Ramadan seharusnya menjadi arena pendidikan ruhaniah, bukan sekadar momentum untuk mengumpulkan pahala dari ritual-ritual keagamaan. Lebih dari itu, puasa mengajarkan pengendalian diri, bukan hanya menjauhi yang haram, tetapi juga menahan diri dari yang halal hingga waktu berbuka tiba. Disiplin ini seharusnya menjadi kode etik perilaku (code of conduct) yang melatih umat Islam untuk lebih jujur, disiplin, dan berintegritas dalam kehidupan sehari-hari.

 

Namun, di tengah keyakinan akan kembalinya manusia kepada fitrah, ada ironi yang tak bisa diabaikan. Apakah idulfitri benar-benar membawa kita kembali kepada kesucian, atau justru sekadar kembali kepada "fitri" dalam arti yang lebih duniawi—yaitu kembali kepada rutinitas makan dan konsumsi? Kebutuhan biologis manusia akan makanan memang alami, tetapi apakah momentum spiritual Ramadan benar-benar berdampak pada pola hidup kita, atau justru membuka pintu bagi perilaku konsumtif yang tak terkendali?

 

Fenomena ini tampak nyata dalam pola konsumsi masyarakat selama Ramadan dan idulfitri. Media menunjukkan bahwa setiap Ramadan, inflasi harga bahan pokok meningkat signifikan akibat lonjakan permintaan. Masyarakat yang seharusnya berlatih menahan diri dari hawa nafsu justru larut dalam euforia konsumsi, mulai dari berburu makanan berbuka hingga memborong kebutuhan lebaran secara berlebihan. Bahkan, di tengah bulan suci yang seharusnya menjadi ladang kesalehan, praktik kecurangan ekonomi, korupsi, dan spekulasi harga tetap marak terjadi.

 

Paradoks ini tentu mengkhawatirkan. Jika Ramadan hanya menjadi serangkaian ritual tanpa perubahan moral yang nyata, maka puasa kita hanya akan menjadi bentuk lain dari keberagamaan simbolik—sekadar rutinitas fisik tanpa dampak spiritual yang mendalam. Ramadan yang seharusnya menahan hawa nafsu justru menjadi ajang pesta konsumtif yang berlawanan dengan esensi latihan pengendalian diri.

 

Namun, di tengah berbagai kontradiksi ini, kita tetap harus optimis. Fitrah dalam arti yang lebih mendalam tetap memiliki potensi tauhid, yakni kesadaran akan hubungan kita dengan Tuhan dan tanggung jawab kita terhadap sesama. Harapan akan lahirnya kesadaran baru, sebagai buah dari ibadah yang kita jalani, tetap menjadi kemungkinan yang nyata. Idulfitri bukan hanya tentang kembali makan setelah berpuasa, tetapi juga tentang bagaimana kita menghidupi nilai-nilai Ramadan dalam kehidupan sehari-hari. Kesalehan sosial yang berkelanjutan menjadi kunci, agar keberagamaan kita tidak berhenti pada tataran seremonial, tetapi benar-benar membentuk karakter dan perilaku kita dalam kehidupan bermasyarakat.

 

Pada akhirnya, idulfitri bukan hanya perayaan, tetapi juga evaluasi, apakah kita benar-benar kembali kepada fitrah yang suci, atau hanya kembali kepada kebiasaan lama tanpa perubahan yang berarti?

 

Firman Nugraha

Penulis: Firman Nugraha
Sumber: BDK Bandung
Editor: Abas
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI