Bagaimana Pemuka Agama Memandang Konflik Berbasis Agama?

22 Jul 2015
Bagaimana Pemuka Agama Memandang Konflik Berbasis Agama?

Jakarta (22 Juli 2015). Penyuluhan agama merupakan salah satu kegiatan yang memiliki nilai strategis, khususnya dalam menjalankan fungsi memperlancar pelaksanaan pembangunan di bidang keagamaan. Selama ini penyuluh agama telah berperan dalam melakukan pembinaan rohani dan moral masyarakat. Para penyuluh agama memiliki posisi strategis, karena disamping keberadaan mereka yang ada di tengah masyarakat sehingga lebih memahami persoalan, mereka juga merupakan ujung tombak dari Kementerian Agama dalam pelaksanaan tugas membimbing umat dalam mencapai kehidupan yang bermutu dan sejahtera lahir batin.

Bangsa Indonesia dewasa ini banyak mengalami konflik berbasis agama, sehingga para penyuluh agama diharapkan mampu berkontribusi dalam resolusi konflik di berbagai daerah tersebut. Untuk itu Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun anggaran 2012, melaksanakan penelitian Persepsi Penyuluh Agama tentang Konflik Berbasis Agama. Penelitian ini bertujuan memaparkan persepsi penyuluh agama tentang konflik berbasis agama di daerahnya, serta menganalisis posisi penyuluh agama selama konflik berlangsung dan sesudahnya, serta peran mereka dalam penyelesaian konflik berbasis agama atas dasar persepsi mereka tentang konflik.

Untuk memahami persoalan tersebut, penelitian dilakukan dengan kualitatif dengan lokasi penelitian ini meliputi Kabupaten Sukabumi (kasus Ahmadiyah dan Tijani), Kota Bogor (kasus Gereja Yasmin), Kota Bekasi (kasus gereja HKBP-PTI di Ciketing), dan Kabupaten Banten (kasus Ahmadiyah di Cikeusik).

Hasil Penelitian 

Dari hasil laporan penelitian tersebut diketahui bahwa pengetahuan penyuluh agama, baik yang berstatus PNS maupun honorer, cukup baik, khususnya yang berkaitan dengan “agama”, namun pengetahuan mereka tidak diikuti dengan “skill” dalam memahami struktur sosial masyarakat, terutama dalam melakukan deteksi dini kerawanan sosial. Bahkan secara faktual, mereka tidak memiliki peta kerawanan sosial, kecuali “sebatas” pengetahuan mereka yang tidak secara tekstual. Sikap inferior, lemahnya skill dan minimnya fasilitas juga merupakan indikasi penting bagaimana posisi penyuluh dalam resolusi konflik tidak tampak.


Para penyuluh umumnya hanya berperan dengan memberikan bimbingan kepada jamaah binaan masing-masing untuk tidak melakukan tindakan anarkis, tetap menjaga keamanan, ketertiban, dan upaya penolakan terhadap  pendirian rumah ibadat lain harus dilakukan sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku. 


Para penyuluh tidak secara langsung terlibat dalam penangan konflik, mereka hanya melakukan koordiasi dengan para pihak terkait dan memantau serta melaporkan perkembangan pasca konflik. Para penyuluh lebih mengutamakan pembinaan keagamaan di wilayah kerjanya masing-masing agar umatnya lebih mendalami dan melaksanakan ajaran agamanya. Para penyuluh umumnya memilih bersikap pasif, tidak ada satupun yang terlibat langsung dalam konflik tersebut secara langsung. Peran penyuluh agama juga tidak nampak dalam melakukan upaya deteksi dini dan upaya preventif lainnya bagi penanganan konflik

Persoalan posisi penyuluh dihadapkan pada tiga hal. Pertama, sikap inferior yang diakibatkan oleh persepsi mereka tentang “reward”, fasilitas yang diterima. Kedua, posisi yang relatif lebih lemah dibanding beberapa tokoh agama lokal (yang kadang memiliki reputasi regional dan bahkan nasional) di mata masyarakat. Ketiga, harapan dan beban kerja yang tidak diikuti dengan perhatian (fasilitas) yang diberikan oleh pemerintah.

Di samping adanya beberapa factor yang telah disebutkan di atas, sebagian penyuluh agama ternyata dalam posisi tidak netral, secara peribadi mereka memiliki keberpihakan pada salah satu kelompok karena adanya “prejudice” terjadap kelompok lain, misalnya dalam kasus GKI Yasmin Kota Bogor dan kasus gereja HKBP-PTI di Ciketing Bekasi,  dalam perspektif sebagian penyuluh, pihak Gereja sengaja berusaha membangun Gereja di tengah mayoritas muslim karena memiliki tujuan ingin mempengaruhi umat Islam dalam hal keyakinan agama atau “kristenisasi”.

Demikian halnya dalam kasus Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang dan kasus Ahmadiyah dan Tijani di Sukabumi, sebagian penyuluh agama ternyata dalam posisi tidak netral, mereka berdalih secara moral dan sosial ikut bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan pembelaan terhadap umat/masyarakat binaannya dari berbagai  gangguan  yang merugikan akidah.

 

Beberapa Strategi Bagi Pemerintah

Selanjutnya dari hasil penelitian tersebut disampaikan beberapa hal sebagai pertimbangan bagi kebijakan pemerintah, khususnya Kementerian Agama sebagai upaya revitalisasi penyuluh agama, yaitu diperlukan pendekatan yang lebih mendalam untuk menjaring penyuluh agama secara lebih luas dalam melihat lima hal.

Kelima hal tersebut adalah penerimaan sosial (social acceptance), aktualisasi sosial (social actualization), kontribusi sosial (social contribution), hubungan sosial (social coherence), dan integrasi sosial (social integration). Dengan cara ini akan ditemukan “terapi” yang lebih tepat bagaimana meningkatkan kemampuan sosial penyuluh agama dalam masyarakat untuk menunjang tugas-tugas Kementerian Agama di tingkat paling bawah dalam masyarakat.

Dalam upaya mewujudkan hal tersebut di atas diperlukan adanya strategi dan langkah antara lain: pertama, dibutuhkan sebuah model yang mampu menumbuhkan motivasi penyuluh melalui sistem insentif yang memadai dan (mungkin) rekruitmen yang terstandar, perhatian yang lebih fokus oleh Kementerian Agama, karena mayoritas program-program kementerian selama ini secara langsung dibebankan pada penyuluh, hubungan kerja antara Kantor Kementerian Agama dengan posisi penyuluh dibutuhkan sebuah enerji dan cara pandang baru, misalnya dengan memberi beberapa pelatihan, yang berkaitan dengan persoalan-persoalan lokal. Untuk itu dalam program “pembinaan” penyuluh, dibutuhkan cara pandang yang lebih kontekstual,” tidak “sekadar” mengumpulkan mereka dan memberi “ceramah”.

Kedua, memberi pembekalan dan memberdayakan tentang cara melakukan pemetaan sosial-budaya masyarakat lokal, sehingga mampu melakukan deteksi dini terhadap konflik dalam berbagai level. Untuk itu dibutuhkan peningkatan pengetahuan tentang konflik dan resolusi konflik, jika dimungkinkan  perlu dilakukan “pelatihan” khusus terutama bagi wilayah-wilayah rawan konflik.

Ketiga, koordinasi dengan berbagai institusi lokal, misal Polsek, Koramil, Pemerintah Kecamatan dan Desa/Kelurahan serta beberapa tokoh lokal, kata “kordinasi” ini perlu diterjemahkan dalam operasional yang lebih kontekstual. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi di tingkat lokal, sehingga kerjasama antara Kemenag Kab/Kota via penyuluh dengan instutisi-institusi tersebut memiliki kekuatan hukum.

Keempat, Pemerintah daerah perlu mengupayakan adanya kelembagaan di tingkat kecamatan yang fokus pada penanganan konflik dan melibatkan penyuluh agama di dalamnya, mengingat posisi penyuluh agama yang strategis di masyarakat, misalnya dengan pembentukan Forum Komunikasi Deteksi Dini Masyarakat (FKDM). Keterlibatan penyuluh secara structural perlu secara eksplisit disebutkan, sehingga dapat aktif melakukan upaya-upaya preventif dalam penanganan konflik berbasis keagamaan.

Sumber: republika.co.id

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI