Balitbang Diklat Jajaki Kerjasama dengan Museum Islam Australia
Jakarta (15 April 2019). Balitbang Diklat Kemenag menjajaki kerjasama dengan Museum Islam Australia (Islamic Museum of Australia) dalam pertemuan yang diinisiasi Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) di lantai 3 Gedung Kemenag Jl MH Thamrin No 6 Jakarta, Senin (15/4).
Penjajakan tersebut mengemuka dalam kunjungan Pejabat Eksekutif Tertinggi (Chief Executive Officer/CEO) Museum Islam Australia Mr Ali Fahour yang didampingi dua pejabat teras Kedutaan Besar Australia di Jakarta yakni Lydia Trotter dan Sahnaz Bustomi.
Dalam diskusi yang dimoderatori Peneliti Ahli Utama Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, Dr M Adlin Sila ini, muncul keinginan kedua belah pihak untuk melakukan kerjasama antarlembaga. Khususnya di bidang dakwah keislaman.
Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Dr M Zain yang mewakili Kepala Balitbang Diklat Abdurrahman Mas’ud dalam sambutannya mengatakan, pihaknya konsen dalam bidang pengumpulan manuskrip kuno. Ke depan kita berharap kerjasama ini bisa membuka kotak pandora dalam kajian dan pengembangan keilmuan ke depan.
“Kami berharap, pihak Museum Islam Australia bisa memberikan data yang sama seperti dalam kaitan penulisan sejarah Islam di Indonesia yang oleh para penulis atau pakar sebelumnya cenderung mengatakan Islam lebih belakangan datangnya. Tetapi dengan temuan para peneliti Litbang berdasar artefak sejarah menyebut bahwa Islam masuk Indonesia lebih awal, yaitu sekitar abad ke-8,” ujar Zain.
Para peneliti Litbang Kemenag, lanjut dia, sudah bergerak ke seluruh Indonesia meneliti sejumlah museum di daerah untuk menyusun penulisan sejarah Islam di Natuna, misalnya. “Di Natuna ini setidaknya ada 10.000 artefak sejarah yang terkait dengan perdagangan dan masuknya Islam di Nusantara,” ungkapnya.
Zain menambahkan, Litbang Kemenag juga melakukan penelitian terkait sejarah Walisongo sejak di Kerajaan Demak, Pajang, Mandar Sulawesi yang memiliki hubungan dengan sejarah Islam di Filipina.
Pria asal Mandar ini berharap, pertemuan tidak hanya berhenti sampai di sini. Nanti bisa kita lakukan pertemuan lanjutan untuk lebih mendalami sekaligus menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) agar kerjasamanya lebih konkrit dengan Museum Islam Australia.
“Australia ini saudara dekat dengan Indonesia. Banyak sekali mahasiswa Indonesia yang menjadikan Australia sebagai destinasi pendidikannya,” tandas Zain.
Menurut dia, gagasan Litbang Kemenag hendak mendirikan Pusat Kajian Manuskrip Keagamaan memiliki korelasi positif jika dilakukan kerjasama dengan Museum Islam Australia. “Kerjasama ini sangat penting,” tegas doktor jebolan UIN Yogyakarta ini.
Atas nama Kedubes Australia, Lydia Trotter menyampaikan terima kasih sekaligus mengaku gembira kunjungannya diterima dan disambut dengan baik. Pihaknya mengundang Mr Ali Fahour untuk mengunjungi Indonesia karena ada pameran terkait museum.
“Kami sedang mendukung sebuah pameran dari Islamic Museum of Australia yang dilaksanakan di Museum Sejarah Jakarta di Taman Fatahillah. Kegiatan itu menceritakan sedikit tentang sejarah Islam,” kata dia.
Pejabat Eksekutif Tertinggi Museum Islam Australia Mr Ali Fahour dalam kesempatan tersebut menceritakan, ia menjadi CEO di museum tersebut sejak dua tahun silam. Museum yang didirikan kakaknya yang sempat menjadi bankir salah satu bank terbaik di Negeri Kanguru ini.
“Kakak saya yang seorang pengusaha terkenal di Australia memutuskan berhenti sebagai bankir, lalu mendirikan museum. Orang tua kami sempat terkena serangan jantung karena masih ingin anaknya menjadi bankir. Dengan mendirikan museum, kakak saya ingin memperkenalkan Islam kepada masyarakat yang tidak dipahami selama ini,” papar Ali Fahour.
Menurut dia, museum merupakan tempat terbaik memperkenalkan Islam. “Bukan di masjid. Karena masjid itu tempat salat dan beribadah. Maka, berdirilah museum ini pada 2014. Alhamdulillah luar biasa respon masyarakat. Sejak dibuka di hari pertama, ada sekitar 50 ribu pengunjung,” ungkapnya. (Ova/bas/ar)