Balitbangdiklat Kembali Menerima Delegasi Mahasiswa Chuo University Jepang
Jakarta (20 Agustus 2018). Badan Litbang dan Diklat (Balitbangdiklat) Kemenag RI untuk kesekian kalinya menerima delegasi mahasiswa Chou University yang diketuai Prof. Kato untuk mendiskusikan tentang kehidupan beragama di Indonesia. Pertemuan yang digelar di lantai 2 ruang pertemuan perpustakaan Balitbangdiklat, Senin (20/8), dihadiri sekitar 32 utusan mahasiswa Chou University Jepang. Hadir pula dalam pertemuan ini peneliti Balitbangdiklat termasuk peneliti senior Choirul Fuad Yusuf.
Pertemuan dibuka oleh Sekretaris Balitbangdiklat Dr. H. Rohmat Mulyana Sapdi, diawali dengan perkenalan mengenai profil Balitbangdiklat dan aktivitasnya melalui pemutaran video. Rohmat juga menyampaikan salam hangat dari Kepala Badan yang tidak bisa hadir menemui Prof. Kato dan rombongannya, karena sedang bertugas di Arab Saudi dalam rangka pelaksanaan ibadah haji.
Prof. Kato menyampaikan salam hangat dan ucapan terima kasih atas penerimaan yang baik. Mereka sangat senang dan bahagia bisa berkenalan dan menambah pengetahuan tentang Balitbangdiklat. Bagi mereka, ini adalah kesempatan yang luar biasa untuk mengetahui secara mendalam bagaimana kerukunan hidup umat beragama di Indonesia.
Diskusi yang mengalir dalam pertemuan ini cukup menarik. Banyak pertanyaan yang muncul dari mahasiswa Jepang terkait kerukunan di Indonesia, di antaranya pernyataan dari Shizu “Saya senang, ini kesempatan yang luar biasa. Saya merasa terhormat diterima Kemenag, Saya melakukan penelitian tentang rekonsiliasi antar agama, mohon penjelasannya” (red). Mahasiswa yang lain bernama Ana “Ini kesempatan luar biasa bisa hadir di sini. Saya ingin bertanya tentang agama dan LGBT”, kemudian mahasiswa lainnya Kayo menanyakan “Apa makna diversity dalam ruang lngkup kehidupan beragama di Indonesia”.
Pertanyaan dari mahasiswa Jepang tersebut dikomentari oleh peneliti senior Balitbangdiklat Choirul Fuad. Choirul menjelaskan Indonesia terdiri dari banyak pulau, suku, bahasa, dan adat istiadat. Indonesia sangat plural dan beragam. Namun demikian, kehidupan umat beragama cukup aman, damai, dan harmonis. Kita memiliki peraturan dan Undang-undang yang mengatur kehidupan umat beragama. Kita memiliki Pancasila yang terdiri dari lima pilar sebagai ideologi negara, UUD 1945, dan 6 agama yang diakui negara. Karenanya sampai saat ini kehidupan umat beragama di Indonesia cukup harmonis. Choirul menyebutkan salah satu contoh yaitu konflik di Ambon pada tahun 1997. Sebenarnya bukan konflik antar agama, tetapi lebih kepada konflik antar individu, yang karena berbeda agama, seakan-akan menjadi konflik antar agama.
Choirul pun menanggapi tentang LGBT, pada dasarnya LGBT itu secara behavior atau sex ditolak di Indonesia. Tidak ada konstitusi atau undang-undang yang mendukung orientasi sex sejenis mereka, dan keyakinan agama yang ada di Indonesia pun, tidak mendukung atau menerima perilaku sex mereka bahkan illegal. Namun demikian, keberadaan mereka diakui secara sosial atauhumanism. mereka tetap bisa hidup dan bersosialisasi dengan warga lainnya, baik itu dalam menuntut ilmu, pekerjaan, seni, dan kehidupan ekonomi lainnya. Dan ketika mereka melakukan tindakan kriminal atau perbuatan onar akan ditindak oleh pihak berwajib sebagaimana warga lainnya.
Rohmat menambahkan di Indonesia ada Undang-undang Pernikahan yang melarang adanya pernikahan sejenis. Karena itulah perilaku sex LGBT tidak bisa diterima di Indonesia dan ilegal. Adapun secara sosial mereka tinggal di Indonesia tidak masalah dan hak-haknya sebagai warganegara tetap dipenuhi sebagaimana warganegara lainnya.
Selanjutnya, karena diskusi ini menggunakan tiga bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Inggris, dan Jepang, Prof. Kato menyarikannya dalam Bahasa Jepang untuk mempermudah pengertian atau pemahaman mahasiswanya.
Hayadin, salah seorang peneliti Balitbangdiklat, menjelaskan tentang pendidikan keagamaan. Ini terkait dengan salah satu pertanyaan mahasiswa Jepang yang menanyakan tentang program pemerintah dalam melakukan rekonsiliasi dan keharmonisan, khususnya dalam pendidikan keagamaan. Hayadin mengatakan pendidikan keagamaan bermacam-macam mulai dari madrasah sampai pesantren. Pada umumnya siswanya beragama Islam. Dan ini berlaku juga pada pendidikan agama lainnya selain Islam. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan apabila ada siswa yang beragama lain ingin belajar ilmu di sana. Untuk public schoolatau sekolah umum, dimana siswanya beragam tidak hanya muslin tetapi ada yang lainnya, maka pelajaran agama harus diajarkan oleh guru yang seagama dengan siswanya. Untuk pelajaran lainnya seperti science, matematika, dan lainnya tidak masalah diajarkan oleh guru yang berbeda agama dengan siswa yang diajarkan.
Pada akhir diskusi, Prof. Kato menyimpulkan bahwa mereka senang dengan model pendidikan seperti ini. Ini adalah bentuk toleransi dimana siswa yang berbeda agama bisa hidup secara harmonis di sekolah dan pesantren atau boarding school. Choirul menekankan bahwa pendidikan keagamaan di Indonesia diimplementasikan sesuai nilai-nilai Pancasila dan berdasarkan pada unity and diversityyaitu Bhineka Tunggal Ika, berbeda tetapi tetap satu, sebagai dasar kehidupan yang toleran dan saling menghargai satu dengan lainnya. (hariyah/bas/ar)