Bangun Kesalehan Sosial dan Individual, Kaban: Itu Tugas ASN Kemenag
Jakarta (21 Oktober 2020). Kesalehan itu berkembang tidak cukup kesalehan individual utamanya kesalehan sosial. Dalam kerangka membangun hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara, dua hal tersebut menjadi bagian pekerjaan kita sebagai ASN kemenag
Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Achmad Gunaryo, mengatakan hal tersebut saat membuka resmi seminar hasil survei Indeks Kesalehan Sosial Umat Beragama yang diinisiasi Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Diklat Kemenag RI di Jakarta, Rabu (21/10).
“Contoh, Kemenag senantiasa memperbanyak tempat ibadah. Selain itu, juga memfasilitasi perkembangan jumlah tempat ibadah yang dibangun oleh masyarakat dalam agama apapun. Meski demikian, sebagai negara juga perlu membentuk peraturan tentang syarat-syarat pendirian tempat ibadah yang tertuang dalam peraturan bersama menteri,” kata Kaban.
Apapun syaratnya, lanjut Kaban, pada titik ini pemerintah terkait dimensi individunya masih kental. Dalam Islam, misalnya, pemerintah juga mendorong pelaksanaan syarit dan sebagainya.
“Hanya saja, kadang agama itu bukan hanya terkait hubungan habluminallah saja. Akan tetapi juga hablumminnas. Jadi, hubungan antarmanusia juga dibangun. tidak hanya pada peningkatan kesalehan individu. Tapi juga kesalehan sosial,” terangnya.
“Kadang bisa disederhanakan, meski pada saat tertentu dipersulit. Tergantung pada apa yang kita yakini dan berangkat dari mana. Karena kita tahu juga kalau saya sebagai seorang yang konon katanya memiliki mentalitas kapitalis, saya nggak peduli juga, lha wong nyatanya sampai hari ini saya masih salat,” selorohnya.
Menurut Kaban, agama tidak hanya pada persoalan kesalehan. Tetapi agama ternyata juga menjadi komoditas politik dan ekonomi. Baginya, wajar apabila ada ide soal penceramah bersertifikat. “Nah, yang marah itulah yang menjadikan agama sebagai komoditas ekonomi,” ujarnya.
“Nggak ada pesantren yang marah. Saya kira wajarlah marah, karena politik Indonesia tidak mencerahkan. Pokoknya kalau yang satu ke utara, maka satunya ke selatan. Nggak pernah (kedua pihak) sama-sama ke selatan untuk merumuskan langkah yang lebih baik,” sambungnya.
Menurut dia, sudah masuk ke persoalan agama akan sulit juga untuk memahaminya. Oleh karena itu, kesalehan tidak cukup dimaknai dalam ranah teologisnya. Tetapi juga ranah sosialnya. Oleh karena itu, pertanyaan kemudian adalah bagaimana seseorang merefleksikan kesalehannya itu dalam bentuk kesalehan sosial.
“Misalnya, mendahulukan kepentingan orang banyak ketimbang diri sendiri, menghargai hak-hak orang lain, dan menghormati keputusan pengadilan dan. Bagi saya aneh mendemo keputusan pengadilan. Ini kan persoalan fiqih juga,” tandas Kaban.
Indeks sebagai ukuran
Dalam laporannya, Kepala Puslitbang Puslitbang BALK Balitbang Diklat Prof M Adlin Sila mengatakan, Indeks Kesalehan Sosial (IKS) disusun untuk mengukur tingkat kesalehan sosial umat beragama di Indonesia.
“Hasilnya, kesalehan individual masih lebih menonjol atau hablum minallah-nya masih lebih tinggi dibanding kesolehan sosialnya,” ujar pria asal Makassar Sulawesi Selatan ini.
Doktor jebolan Australian National Universiry pada 2015 ini menambahkan, jika di Barat kesalehan sosial atau biasa disebut dengan humanisme sosial lebih menonjol. Sementara kesalehan individual lebih rendah atau menurun akibat salah satunya adalah sekularisme,” ungkapnya.
Menurut Adlin, IKS secara umum cukup bagus. Meski demikian, ia melihat bahwa kesalehan ritual masih lebih tinggi dibandingkan kepedulian sosial.
“Tapi, itulah bedanya dengan di Barat. Kalau di Indonesia memang harus imbang antara yang individual dan yang sosial,” tandasnya.
Pria yang baru saja dikukuhkan sebagai profesor riset ini menambahkan, adanya IKS hendak mengukur kesalehan sosial seluruh umat beragama. “Bukan hanya Islam,” pungkasnya.[]
Ova/diad