BDK Jakarta Selenggarakan Seminar Kewidyaiswaraan Internasional 2020

25 Nov 2020
BDK Jakarta Selenggarakan Seminar Kewidyaiswaraan Internasional 2020
Seminar Kewidyaiswaraan Internasional 2020 diselenggarakan secara daring

Jakarta (24 November 2020). Dalam menyambut era 4.0, Balai Diklat Keagamaan (BDK) Jakarta kembali membuat gebrakan. Setelah genap menyelenggarakan delapan (8) tahun pelatihan e-learning melalui Diklat Jarak Jauhn, kini BDK Jakarta sukses menggelar seminar kewidyaiswaraan internasional dengan tajuk Pengarusutamaan Moderasi Beragama Di Indonesia (Mainstreaming Religious Moderation) di Jakarta, Selasa (24/11).

Sebagaimana diketahui, salah satu program prioritas Kementerian Agama berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2020 adalah penguatan cara pandang moderasi beragama bagi seluruh lapisan masyarakat. Cara pandang moderasi beragama ini dilatarbelakangi oleh kenyataan kondisi dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Kemajemukan bangsa Indonesia apabila tidak dikelola dengan baik akan melahirkan konflik horizontal yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Salah satu upaya yang dilakukan agar gagasan, pengetahuan, dan pemahaman tentang moderasi beragama tidak disalahtafsirkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab adalah dengan dilaksanakannya seminar moderasi beragama bagi widyaiswara.

Pemahaman dan pengetahuan moderasi beragama bagi widyaiswara sangat diperlukan mengingat tugas dan fungsi widyaiswara adalah mendidik, mengajar, dan melatih bagi pegawai sehingga dipandang memiliki peranan strategis untuk mendukung pengatusuatamaan moderasi beragama bagi aparatur negara.

Acara dilaksanakan secara daring (dalam jaringan) dengan menggunakan aplikasi zoom clouds meeting, diikuti oleh lebih dari 60 orang widyaiswara, baik dari widyaiswara Kementerian Agama, Pusdiklat BSSN, Pusdiklat ANRI, Pusbang Kepegawaian ASN BKN, BPSDM Prov Riau, dan lainnya. Selain itu, hadir pula beberapa perwakilan dari kalangan guru, dosen maupun peneliti dari berbagai daerah di Nusantara. Seminar dimulai pukul 08.00 hingga 11.00 WIB.

Partisipasi aktif peserta dalam seminar ini terlihat sangat baik, mengingat materi moderasi beragama kali ini dibahas oleh narasumber yang memiliki latar belakang kultur dan negara yang berbeda. Hal ini terbukti dari banyaknya pertanyaan baik melalui chat maupun secara langsung.

Seminar dibuka oleh Kapuslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi, Prof. Arskal Salim GP. Ia mewakili Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Pada kesempatan itu, Arskal menyampaikan rasa gembira atas terselenggaranya kegiatan. “Kami berharap kedepan semakin banyak kegiatan yang melibatkan widyaiswara, terutama dalam kegiatan ilmiah berskala internasional,” ujarnya.

Sementara dalam arahannya ia menyampaikan pentingnya cara pandang moderasi dalam konteks kemajemukan bangsa Indonesia untuk terciptanya suasana kehidupan yang harmoni.

Hadir sebagai narasumber pertama, Kepala Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Prof. Muhammad Adlin Sila. Ia menyatakan bahwa yang disasar dalam moderasi beragama adalah sikap, cara pandang maupun tindakan pemeluk agama yang ekstrim, bukan agamanya.

“Moderasi beragama berlaku bagi setiap pemeluk agama, yang memungkinkan berkurangnya kekerasan dan meningkatkan harmoni dalam hidup beragama,” papar Kapus Adlin.

Menjadi moderat, lanjut Adlin, bukan berarti penganut agama menggadaikan ajaran agamanya sehingga terlalu liberal atau sebaliknya bersikap kompromis, melainkan seharusnya tetap teguh terhadap ajaran agama yang dianutnya dan sikap saling menghormati agama orang lain.

Pemaparan materi berikutnya oleh Prof. Paul Martens dari Departement of Religion Baylor University Texas Amerika Serikat. Sebagai narasumber moderasi, Paul nampak lebih menekankan kepada sikap keberagamaan para pemeluknya, dimana terdapat fenomena ekstrim kanan dan ekstrim kiri di Amerika yang mengharuskan adanya moderasi dalam keberagamaan.

“Ekstrim kanan diketahui sebagai pemahaman beragama yang berlebihan dan kaku sehingga mudah menyalahkan bahkan mengkafirkan orang lain. Sedangkan ekstrim kiri merupakan pemahaman tentang kebebasan, kapitalisme, atau sosialisme yang berlebihan sehingga mengakibatkan kekacauan,” ungkapnya.

Menurutnya, terdapatnya beberapa kelompok di Amerika yang melakukan kekerasan melahirkan beberapa diagnosa penyebab sekaligus solusinya. Studi sosial maupun analisis secara psikologis menunjukkan bahwa pemerintah dapat berperan dalam mengurangi kekerasan di tengah masyarakat beragama.

“Intinya, moderasi merupakan salah satu solusi dimana pemeluk agama mampu bekerja sama dengan pemeluk agama lainnya, dan seharusnya pemeluk agama menjadi lebih baik daripada orang yang tidak memeluk agama,” jelas Paul.

Narasumber ketiga menghadirkan Mowafg Abrahem Masuwd, PhD yang merupakan salah seorang dosen sekaligus peneliti studi Islam di Zawia University, Libya. Mowafg menyoroti tentang perbedaan kelompok beragama yang ada di Libya. Ia menyebutkan pula tentang konsep moderasi Bin Mu’ammar yang menggarisbawahi tiga hal penting dalam moderasi, yaitu mengenal (knowledge/ma’rifah), memahami (acquaintance/at-ta’aruf), dan mengakui (acknowledgement/al-I’tirof).

“Perbedaan mazhab di antara ummat Islam di Libya harus dipahami dalam suatu perspektif adanya persamaan (equality) di antara mazhab-mazhab ini, yaitu dalam suatu harmoni keimanan kepada Allah Swt,” ungkapnya.

Berikutnya, narasumber yang tidak kalah menariknya adalah Prof. Dicky Sofjan yang merupakan salah seorang peneliti studi Islam dari Univ. Gajah Mada Yogyakarta. Menurutnya, moderasi beragama merupakan suatu potensi dalam kehidupan bersosial di Indonesia yang bukan hanya menjadi urusan pemerintah tetapi juga masyarakat.

“Beberapa prinsip dalam moderasi beragama hendaknya dapat senantiasa dipelihara, seperti berada dalam posisi pertengahan (Islam wasatiyyah), sikap seimbang dan adil, menghargai persamaan, toleransi, serta mengurangi pengelompokan sosial di tengah masyarakat,” ujarnya.

Dalam moderasi beragama, Dicky menyarankan untuk berada di posisi pertengahan, maka sebaiknya dalam beragama dikembangkan budaya literasi beragama, pendidikan untuk masyarakat, pendalaman agama, berpikir kritis, serta ukhuwah dan harmoni keberagamaan.

Prof. Dicky juga menekankan beberapa hal penting dalam moderasi beragama di Indonesia, yaitu betapa Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan UUD 1945 sangat mengakomodir kehidupan ummat beragama. Untuk itu beberapa hal yang harus difokuskan dalam moderasi beragama yaitu pentingnya pendidikan dalam beragama, hubungan agama dan politik, serta hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang dapat menjadikan moderasi beragama dapat direalisasikan. []

Robi’ah Ummi Kulsum *)/diad

*) Widyaiswara Ahli Madya BDK Jakarta

Penulis: Robi’ah Ummi Kulsum
Editor: Dewindah
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI