BLA Jakarta Selenggarakan Bedah Buku Agama dalam Konstitusi RI
Jakarta (20 Agustus 2018). Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (BLA) Jakarta menyelenggarakan beda buku “Agama Dalam Konstitusi RI Menghidupkan Nilai-Nilai Profetik di Tengah Masyarakat Heterogen” karya Prof. Dr. Ridwan Lubis, bertempat di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Senin (20/8).
Kegiatan ini dihadiri Kepala BLA Jakarta Muhammad Adlin Sila, Ph.D., penulis, perwakilan penyuluh agama, ormas keagamaan, dosen, aktivis LSM, dan sejumlah peneliti di lingkungan BLA Jakarta.
Dalam sambutannya, Adlin Sila mengatakan bedah buku ini merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka memperingati 40 tahun BLA Jakarta. Puncak dari kegiatan ini, kata Adlin, adalah sarasehan. Dalam sarasehan ini akan diundang sejumlah tokoh. Ini merupakan “Sebuah syukuran, menyaksikan peringatan 40 tahun BLA Jakarta. Pimpinan pertama Djohan Effendi, intelektual yang telah menyemai perdamaian di kalangan minoritas,” ujarnya.
Selanjutnya, Adlin Sila mengutarakan buku ini punya momentum sangat baik dengan kondisi kehidupan keagamaan dewasa ini dari urusan rumah ibadah sampai soal politik. “Topik buku ini sangat menarik karena spesifik menyoroti pengaruh agama dalam konstitusi kita,” ungkapnya.
Tampil sebagai narasumber Arif Zamhari (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hikam Depok) dan Yudi Latif (cendekiawan Muslim).
Arif Zamhari mengapresiasi buku ini. Menurut dia, buku ini bisa jadi virus untuk menegaskan bahwa tidak perlu lagi mempertentangkan agama dan negara. Agama dan negara sudah harmonis sejak dulu kala. Hal ini karena Islam datang ke Indonesia secara damai tanpa melalui peperangan.
Arif Zamhari menambahkan bahwa Islam datang dibawa oleh pedagang dengan kecerdasan. Mereka menggunakan hartanya untuk berdakwah. Mereka sangat toleran terhadap budaya lokal. Ini cara Islamisasi kultural. “Proses Islamisasi kultural ini tidak menghilangkan Borobudur dan Prambanan. Islamisasi kultural berpengaruh terhadap keberagamaan umat Islam. Mereka sangat toleran terhadap yang lain,” ujar Arif Zamhari.
Sedangkan Yudi Latif mengelaborasi hubungan agama dan negara. Menurut dia, negara harus toleran terhadap agama dan agama tidak boleh mendikte negara. Karena itu, kata Yudi, agama bisa dipisahkan, tapi tidak bisa dibedakan. Dalam konteks inilah, “Relasi antara agama dan Pancasila saling melengkapi, menguatkan, dan sinergi,” tegasnya. (bas/ar)
Yudi Latif
Jakarta (20 Agustus 2018). Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (BLA) Jakarta menyelenggarakan beda buku “Agama Dalam Konstitusi RI Menghidupkan Nilai-Nilai Profetik di Tengah Masyarakat Heterogen” karya Prof. Dr. Ridwan Lubis, bertempat di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Senin (20/8).
Kegiatan ini dihadiri Kepala BLA Jakarta Muhammad Adlin Sila, Ph.D., penulis, perwakilan penyuluh agama, ormas keagamaan, dosen, aktivis LSM, dan sejumlah peneliti di lingkungan BLA Jakarta.
Dalam sambutannya, Adlin Sila mengatakan bedah buku ini merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka memperingati 40 tahun BLA Jakarta. Puncak dari kegiatan ini, kata Adlin, adalah sarasehan. Dalam sarasehan ini aka diundang sejumlah tokoh. Ini merupakan “Sebuah syukuran, menyaksikan peringatan 40 tahun BLA Jakarta. Pimpinan pertama Djohan Effendi, intelektual yang telah menyemai perdamaian di kalangan minoritas,” ujarnya.
Selanjutnya, Adlin Sila mengutarakan buku ini punya momentum sangat baik dengan kondisi kehidupan keagamaan dewasa ini dari uruasan rumah ibadah sampai soal politik. “Topik buku ini sangat menarik karena spesifik menyoroti pengaruh agama dalam konstitusi kita,” ungkapnya.
Tampil sebagai narasumber Arif Zamhari (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hikam Depok) dan Yudi Latif (cendekiawan Muslim).
Arif Zamhari mengapresiasi buku ini. Menurut dia, buku ini bisa jadi virus untuk menegaskan bahwa tidak perlu lagi mempertentangkan agama dan negara. Agama dan negara sudah harmonis sejak dulu kala. Hal ini karena Islam datang ke Indonesia secara damai tanpa melalui peperangan.
Arif Zamhari menambahkan bahwa Islam datang dibawa oleh pedagang dengan kecerdasan. Mereka menggunakan hartanya untuk berdakwah. Mereka sangat toleran terhadap budaya lokal. Ini cara Islamisasi kultural. “Proses Islamisasi kultural ini tidak menghilangkan Borobudur dan Prambanan. Islamisasi kultural berpengaruh terhadap keberagamaan umat Islam. Mereka sangat toleran terhadap yang lain,” ujar Arif Zamhari.
Sedangkan Yudi Latif mengelaborasi hubungan agama dan negara. Menurut dia, negara harus toleran terhadap agama dan agama tidak boleh mendikte negara. Karena itu, kata Yudi, agama bisa dipisahkan, tapi tidak bisa dibedakan. Dalam konteks inilah, “Relasi antara agama dan Pancasila saling melengkapi, menguatkan, dan sinergi,” tegasnya. (bas/ar)