Dinamika Agama Lokal (2)
Temuan Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, paling tidak ada empat hal yang diajukan sebagai simpulan. Pertama, agama “lokal” yang ada diberbagai daerah mengalami beberapa kali perubahan nama. Perubahan ini sering disebabkan oleh faktor eksternal, namun ada juga yang tetap memakai nama sejak awal berdiri. Agama “lokal” yang oleh Niel Mulder (1999:3) diduga hanya sebagai bentuk sinkretisme, dalam riset ini ditolak. Ini karena mereka memiliki dinamika dan kelangsungan hidup yang nyata.
Kedua, agama “lokal” kini banyak mengalami pergeseran makna ajaran dan ritual. Pergeseran ini dilakukan untuk menghindari hujatan dan stigma dari masyarakat. Ini penting mereka lakukan untuk menghindari stereotype, karena ketika agama sebagaimana dikonsepsikan negara, tidak akan pernah sama dengan keyakinan mereka yang lebih dekat sebagai kombinasi adat, moralitas dan tradisi (Jane Monning Atkinson, Religious in Dialogue: The Construction of an Indonesian Minority Religion. 175).
Ketiga, secara umum, agama “lokal” tidak mengalami perkembangan yang signifikan terutama kuantitas penganut maupun aktivitas sosial. Mereka masih memiliki keleluasaan untuk mengamalkan ajarannya, namun keleluasaan ini diperoleh akibat kran reformasi yang airnya merembes hingga ke birokrasi pemerintahan, sehingga mereka masih mendapatkan pelayanan publik, seperti Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, KTP dan Akta Kematian.
Simpulan ini seturut dengan pendapat Olaf Schuman (2000:xxv) yang menyatakan jika negara tidak lagi terkait dengan prinsip salah satu agama, maka ia tidak lagi mengurusi soal benar tidaknya suatu keyakinan agama, melainkan bagaimana negara memberi jaminan beragama dan berkeyakinan yang setara kepada semua warga negara.
Keempat, respon pemuka agama dan pemerintah pada umumnya dapat menerima kehadiran agama “lokal” terutama karena pertimbangan HAM dan terutama UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang memberikan kebebasan bagi setiap individu menjalankan ajaran agama yang dianutnya.
Simpulan ini memperkuat kembali posisi negara yang harus mampu mengimplementasikan seperangkat regulasinya, dan menihilkan diskriminasi sehingga agama “lokal” tetap mendapat ruang ekspresi keagamaan yang proporsional (Ibnu Qoyim, 2004:28).
Empat simpulan di atas mengandung sejumlah implikasi kebijakan kepada pemangku kepentingan, antara lain: pertama, pemerintah sesuai dengan amanat UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006, harus memberikan pelayanan hak-hak sipil kepada penganut kepercayaan dan agama “lokal”.
Kedua, pemerintah secara terus menerus harus mensosialisasikan PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 sampai ke tingkat paling bawah (desa/kelurahan) karena masih banyak masyarakat yang awam isi regulasi tersebut; dan Ketiga, tokoh dan masyarakat penganut agama mainstream diharapkan dapat menghargai perbedaan yang tumbuh dalam masyarakat, sebab selama ini penganut kepercayaan dan agama “lokal” masih dan selalu dianggap sebagai ancaman bagi agama “resmi”.
Tiga implikasi kebijakan tersebut menjadi godot yang layak ditunggu penerapannya, terutama dalam dua hal, yakni pertama, bagaimana perlindungan negara terhadap umat beragama; dan kedua, bagaimana sikap negara terhadap kepercayaan dan agama “lokal” yang dianut sangat lama oleh warga negara di luar enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu).
Respon Kementerian Agama
Sebagai respon atas hasil riset terhadap dinamika agama “lokal”, sejak akhir tahun 2014, Kementerian Agama telah merancang salah satu karya agung dalam melindungi hak-hak sipil, yakni Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB). Meskipun masih berupa rancangan, PUB telah menjadi hot issue, meskipun masih ada sebagian kalangan yang mencium aroma sensitif.
Selain berbasis riset, RUU ini adalah respon pemerintah terhadap amar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak judicial review terhadap penodaan agama. Menurut MK, UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya memiliki kekuatan hukum yang mengikat kepada setiap orang. MK menolak seluruh permohonan para pemohon ketika itu, namun MK juga memerintahkan kepada pemerintah untuk merevisi UU tersebut baik dalam lingkup formil maupun materiil.
Bangunan RUU PUB tegas, yakni berdasarkan semangat konstitusi untuk melindungai hak-hak sipil serta mengakomodir berbagai aspirasi dan kepentingan, tidak hanya dari kelompok keagamaan mainstream, tetapi juga kelompok keagamaan minoritas.
Amanat yang sama juga termaktub dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Sipil dan Politik, di mana negara wajib memberi jaminan dan perlindungan terhadap kelompok minoritas etnis maupun agama.
Sebagai catatan akhir, semangat kebebasan sebagai ekses reformasi juga harus tetap dibatasi dengan peranti norma dan aturan agar tercipta toleransi dan kerukunan antarumat beragama. RUU PUB hadir tidak saja sebagai tuas untuk mengadvokasi umat beragama melalui seperangkat regulasi, tetapi juga memberikan pelayanan maksimal terhadap hak-hak sipil dalam aspek sosial dan alamiah setiap insan beragama. Semoga. n adv
Sumber: Republika, 25 Juni 2014