Menjaga Nyala Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa

3 Jun 2025
Menjaga Nyala Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa
Moch. Muhaemin, Kepala Balai Litbang Agama Semarang.

Moch. Muhaemin

Kepala Balai Litbang Agama Semarang

  

Pancasila bukan sekadar dasar negara yang termaktub dalam konstitusi. Ia adalah inti identitas bangsa Indonesia. Lebih dari sekadar lima sila, Pancasila memuat nilai-nilai mendasar yang menjadi fondasi jati diri kolektif kita bangsa yang majemuk, tetapi bersatu dalam cita-cita yang luhur.

 

Sebagai norma dasar negara, Pancasila tak hanya berfungsi sebagai ideologi, melainkan juga sebagai cita-cita moral dan etik yang menuntun arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia adalah pegangan bersama yang menyatukan langkah kita dalam menghadapi tantangan zaman.

 

Sejarah telah membuktikan bahwa setiap bangsa memerlukan fondasi ideologis yang kokoh dan arah masa depan yang jelas. Tanpanya, sebuah bangsa akan mudah goyah dan terombang-ambing oleh dinamika zaman. Soekarno pernah menegaskan dalam pidato awal kemerdekaan, bangsa tanpa arah ideologis bagaikan kapal tanpa nakhoda. Cita-cita bukan sekadar impian, ia sumber moralitas dan kekuatan kolektif (Soekarno, 1989:64).

 

Di tengah arus globalisasi yang deras serta tantangan sosial-politik yang semakin kompleks, relevansi Pancasila justru semakin terasa. Ia berperan sebagai filter dan fondasi dalam menjawab persoalan kebangsaan hari ini. Khususnya dalam kepemimpinan, nilai-nilai Pancasila menjadi kebutuhan mendesak untuk membangun pemerintahan yang tidak hanya efektif, tapi juga etis. Pemimpin yang berlandaskan Pancasila bukan hanya memimpin dengan kekuasaan, tetapi membimbing dengan keteladanan moral dan integritas.

 

Nilai-nilai seperti keadilan, kemanusiaan, demokrasi, dan persatuan tidak boleh berhenti sebagai teori. Mereka harus menjadi prinsip operasional dalam setiap kebijakan publik. Ketika nilai-nilai ini sungguh dihayati, Pancasila akan menjadi pedoman nyata, baik bagi aparatur negara maupun masyarakat luas (Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2013:vi).

Namun nilai-nilai luhur Pancasila kerap dikalahkan oleh kepentingan pragmatis dan manuver politik jangka pendek. Pancasila lebih sering tampil sebagai simbol retoris dalam pidato, tanpa wujud nyata dalam pengambilan keputusan. Ini merupakan kemunduran yang patut diwaspadai.

 

Mencari Pemimpin Pancasilais

Dalam situasi seperti ini, Indonesia sangat membutuhkan sosok pemimpin yang tidak hanya mumpuni secara administratif, tetapi juga berakar kuat pada nilai-nilai Pancasila. Pemimpin Pancasilais menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai inspirasi dan pedoman dalam bertindak. Ia bukan sekadar birokrat pengatur sistem, melainkan pendidik bangsa yang membimbing rakyat menuju kehidupan berbangsa yang beradab dan bermoral.

 

Sutrisno (2013:4) menekankan bahwa seorang pemimpin nasional seharusnya dipilih berdasarkan kesetiaannya kepada Pancasila, agar mampu mewujudkan harapan rakyat akan masyarakat yang adil dan sejahtera. Popularitas semata tidak cukup, yang dibutuhkan adalah integritas, keberpihakan kepada rakyat, serta keteladanan dalam sikap dan perbuatan.

 

Lebih jauh, Asvi Warman Adam (2010:45) mengingatkan bahwa kepemimpinan yang Pancasilais menuntut keberanian untuk bersikap adil, transparan, dan mendahulukan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Pemimpin seperti inilah yang menjadi representasi nyata dari cita-cita bangsa.

 

Kepemimpinan berbasis Pancasila bukanlah angan-angan. Ia adalah kebutuhan konkret dalam membangun masyarakat yang demokratis, berkeadilan sosial, dan menjunjung tinggi martabat manusia. Nilai-nilai Pancasila dapat menjadi kekuatan moral yang memperkuat kohesi sosial, mendorong partisipasi warga, dan memperkuat legitimasi institusi negara.

 

Ketika pemimpin benar-benar mengamalkan nilai-nilai Pancasila, ia sekaligus memberikan teladan kepada rakyat untuk menjadikan nilai-nilai itu sebagai pedoman hidup. Dalam makna ini, Pancasila bukan hanya milik negara, tapi milik seluruh rakyat Indonesia yang bersedia hidup bersama dalam damai, keadilan, dan martabat.

 

Dalam praktiknya, transparansi dan akuntabilitas adalah prinsip yang tak bisa ditawar. Pemimpin harus terbuka dalam proses pembuatan kebijakan, serta siap mempertanggungjawabkan setiap tindakannya. Mekanisme pengawasan harus berjalan ketat, agar seluruh kebijakan tetap berada dalam koridor nilai-nilai Pancasila (Indriyanto, 2008:134).

 

Pancasila tak boleh berhenti sebagai jargon atau simbol kosong yang hanya dikumandangkan pada peringatan nasional. Ia harus menjadi etos hidup yang hadir dalam kebijakan publik, dalam tindakan aparatur negara, dan dalam relasi antarwarga. Dari ruang kelas hingga ruang sidang, dari birokrasi desa hingga istana negara, Pancasila harus menjadi jiwa yang menggerakkan kehidupan berbangsa.

 

Menuju Masa Depan yang Pancasilais

Salah satu tantangan besar yang kita hadapi saat ini adalah krisis kepercayaan publik terhadap elite dan lembaga negara. Rentetan kasus korupsi, lemahnya penegakan hukum, dan ketimpangan sosial membuat banyak warga merasa kehilangan harapan. Padahal dalam demokrasi, kepercayaan publik adalah mata uang sosial yang sangat berharga.

 

Untuk itu, kita membutuhkan kepemimpinan yang menjadikan Pancasila sebagai moral, baik di tingkat nasional maupun lokal. Dalam konteks ini, Pancasila bukan sekadar dokumen hukum atau ideologi formal, tetapi menjadi standar etika bagi siapa pun yang memegang kekuasaan. Kepemimpinan berlandaskan Pancasila berarti menjalankan roda pemerintahan dengan niat melayani, menegakkan keadilan, dan menjaga martabat bangsa.

 

Salah satu investasi dalam menjaga Pancasila adalah pendidikan karakter. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih terlalu berorientasi pada angka dan capaian akademis, dan belum cukup membentuk manusia yang jujur, tangguh, dan peduli. Pancasila tidak hanya diajarkan dalam bentuk hafalan, tapi ditanamkan melalui keteladanan, pembiasaan, dan pengalaman konkret dalam kehidupan sehari-hari.

 

Lebih dari itu, kita butuh transformasi budaya yang lebih luas. Media sosial, budaya populer, dan ruang publik harus menjadi saluran kreatif untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda. Kita membutuhkan narasi baru yang menjadikan gotong royong, keadilan, dan keberagaman sebagai gaya hidup, bukan sekadar slogan.

 

Kita semua, baik pemimpin maupun rakyat biasa, memikul tanggung jawab yang sama, menjadikan Pancasila sebagai nilai hidup yang nyata dalam tindakan. Ketika setiap sila tak hanya dikutip, tapi dijalankan sepenuh hati, maka masa depan Indonesia tidak lagi ditentukan oleh retorika, melainkan oleh aksi nyata yang berakar pada kebajikan bersama.

 

Indonesia yang merdeka secara lahir dan batin, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan, bukanlah impian kosong. Ia adalah kemungkinan yang nyata asal kita berani menjaga nyala Pancasila dalam setiap langkah hidup berbangsa.

 

Akhirnya, hanya kepemimpinan yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila yang mampu membawa Indonesia menuju masa depan yang benar, kuat, dan bermartabat.

Penulis: Moch. Muhaemin
Sumber: BLA Semarang
Editor: Dewi Indah Ayu D.
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI