Dinamika Agama "Lokoal" (1)

29 Jun 2015
Dinamika Agama "Lokoal" (1)

Lebih dari satu dekade lalu, Indonesia telah memilih reformasi sebagai karpet merah untuk melapangkan “jalan baru” bernama perubahan. Bagi sebagian orang, tawaran perubahan itu dirasakan lebih baik dari era sebelumnya, namun tidak sedikit yang menganggapnya stagnan, bahkan mundur ke belakang. 

sedikit yang menganggapnya stagnan, bahkan mundur ke belakang.

Dengan diamandemennya UUD 1945, khususnya pasal 28a dan 28c yang memberi kebebasan pada HAM, termasuk dalam berkepercayaan, membuat berbagai tagihan muncul sebagai bentuk “politics of recognition”. Jika dulu dianggap tabu, kini tuntutan  meminta kesederajatan adalah kelaziman.

Misalnya, penganut agama “lokal”  Kaharingan kini menuntut kesamaan hak untuk diakui sebagai agama resmi, istilah yang juga belum final. Agama “lokal” yang lain, Madrais di Cigugur juga mulai menyoal: mengapa agama “asing” seperti Konghucu diakui negara, sedangkan agama “lokal” dan “asli” justru dianaktirikan

Tuntutan dan pertanyaan penganut agama “lokal” juga tidak tautologis, karena dalam pasal 29 UUD 1945 dinyatakan: (1) Negara didasarkan pada        Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kebebasan setiap warga         negara untuk memilih agamanya sendiri, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Nah kata “kepercayaan” dalam pasal 29 ayat 2 itu dianggap multi-interpretasi yang dampaknya ternyata tidak sederhana, karena terminologi ini bisa menjalar liar mencakup keyakinan orang yang dianggap atheistic, agnosticism, dan non theistic (Mafred Nowak, 2005:414).

Bagi penganut aliran kebatinan dan kepercayaan, seperti Sapto Dharma, Sumarah, Subud, Pangestu dll, kata “kepercayaan” dalam pasal 29 sudah dianggap pengakuan negara terhadap keberadaan mereka yang telah mengakar jauh sebelum Indonesia merdeka.

Tuntutannya terang: ingin setara dan atau diakui sebagai agama “resmi”. Sebaliknya, bagi agama resmi mainstream, aliran kepercayaan dan agama “lokal” harus “dibina” dan dikembalikan pada agama induknya, alih-laih merangkulnya. Alhasil, tarik menarik ini selalu menghadirkan nuansa debatable.

Namun yang pasti, dinamika kepercayaan dan agama “lokal” harus diakui juga sedang mencari formula. Memang, mereka tidak akan instan untuk didefinisikan sebagai agama hanya karena memenuhi tuntutan modernisasi atau mempertahankan identitas.

Berkelindan dengan itu, keberadaan mereka juga harus ditanggapi sebagai anak sah yang lahir dari rahim pluralitas nusantara. Dua elemen berharga yang tidak bisa diabaikan dari agama “lokal” adalah lokalitas dan spritualitas yang saling memengaruhi. Imbasnya, agama “lokal” akan terus memperkaya corak kehidupan bangsa, kini dan esok.

Preposisi di atas oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama telah lama ditangkap sebagai lapangan penelitian yang sangat menarik. Sejak 2010an telah dilakukan riset mendalam tentang dinamika kepercayaan dan agama “lokal” sejak era reformasi. Hasilnya, selain untuk membangun kontruksi teoritik (paradigma) dan metodologis, juga menjadi amunisi dalam pengambilan kebijakan yang holistik.

Riset telah dilakukan di Samosir dan Toba Samosir, Sumatera Utara (Kepercayaan Parmalin); Muara Bungo, Jambi (Kepercayaan Suku Anak Dalam); Lebak, Banten (Kepercayaan Sunda Wiwitan Suku Baduy); Blora, Jawa Tengah (Kepercayaan Sedulur Sikep/Samin); Sangihe,  Sulawesi Utara (Islam Tua); Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Agama Kaharingan); Yogyakarta (Kepercayaan Paguyuban Sumarah dan Sapto Darmo); Sumba, NTT (Kepercayaan Merapu). Sementara di Sulawesi Selatan riset dilakukan di Sidrap (Kepercayaan Towani Tolotang) dan Tana Toraja (Aluk  To Dolo).

Daerah lainnya adalah Jawa Barat, riset dilakukan di Indramayu (Kepercayaan Komunitas Dayak Hindu Segandu), Tasikamaya (Kepercayaan Masyarakat Kampung Naga), Sukabumi (Kepercayaan Kasepuhan Ciptagelar), Kuningan (Agama Djawa Sunda/Kyai Madrais), Bandung (Kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan), Bekasi (Kepercayaan Buhun Orang Kranggan) dan Garut (Kepercayaan Masyarakat Kampung Dukuh Dalam). Sedangkan di NTB, riset dilakukan di Lombok Utara (Kepercayaan Islam Wetu Telu) dan Mataram (Paham Bodha).

 

Temuan Penelitian

(Bersambung)

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI