Jaringan Pendidikan Pesantren

3 Feb 2017
Jaringan Pendidikan Pesantren

Jakarta (3 Februari 2017). Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melaksanakan penelitian tentang Jaringan Pendidikan Pesantren (2016) di beberapa pesantren, yaitu: Al Mukmin Ngruki Solo, Al Muaddib Cilacap, Ma’had Aly Darul Wahyain Magetan, Al  Ikhlas Lamongan, Darusy Syahadah Boyolali, Al Muttaqin Cirebon, Nurul Hadid Cirebon, Nurussalam Ciamis,  Misi Islam Jakarta, Al Islam Serang, Abqori Serang, Ulul Albab Lampung,  Babul Hikmah Lampung, Nurul Bayan Lombok Utara, Darusy Syifa Lombok Timur, Darul Aman Makassar, Wahdah Islamiyah Makassar, Amanah Poso,  Al Anshor Ambon,  dan Al Mansuroh Ambon.

Hasil penelitian menemukan sistem pendidikan yang dibangun tidak lepas dari paham keagamaan para pendiri dan pengelolanya. Paham keagamaan “salafi” mewarnai proses pendidikan di pesantren tersebut. Paham keagamaan salafi merupakan paham keagamaan yang dipraktekkan para salafus saleh. Paham ini pada prinsipnya itibak atau mengikuti sunah nabi, sahabat, tabiin, dan tābiʻuttābῑn, yaitu sikap beragama yang hanya mendasarkan pada al-Qur’an dan hadis sahih, menyatakan diri tidak bermazhab sekaligus menolak taklid dan mengakui pintu ijtihad tetap terbuka.

Karena muatan paham keagamaan tersebut, referensi syariat bersumber pada kitab-kitab yang digunakan aliran salafi. Hampir sebagian besar pesantren, dalam bidang fikih (syariat) menggunakan kitab Minhājul Muslim karya Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. Ia termasuk  ulama beraliran salafi yang tidak mendasarkan fikihnya pada fikih mazhab, melainkan langsung menggali sumber-sumber rujukannya dari al-Qur’an dan sunah. Di bidang akidah/tauhid, mereka menggunakan kitab Fathul Madjῑd/kitab Attauhῑd karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan kitab  Tauhῑd karya Syekh Shalih bin Fauzan. Di bidang tafsir, mereka menggunakan kitab Ibnu Katsir.

Paham keagamaan salafi memiliki keragaman mulai dari salafi puris, salafi haraki, sampai salafi qitalis atau jihadis. Muatan paham keagamaan ini berpengaruh pada jaringan yang dibangun yang notabene berinteraksi dengan pesantren-pesantren yang bermuatan paham yang sama seperti Pesantren Ngruki (sebagai pusat jaringan pendidikan mereka), meski mengadopsi model pendidikan Pesantren Gontor.

Paham keagamaan “salafi” berbeda dengan paham keagamaan yang dianut pesantren-pesantren model salaf atau model tradisional NU yang sama-sama memiliki paham keagamaan “salaf” (tidak menggunakan huruf “i”).  Doktrin salafisme adalah tauhid rubūbiyya, ulūhiyya, asmā wa al-sifāt, tauhῑd mulkiyya, mengikuti sunah dan menentang bidah, al-wala’ wa al-bara’, serta taat dan patuh kepada pemerintah. Perbedaan paham tentang makna salaf disebabkan perbedaan genealogi intelektualnya. Dalam penelitian ini, ditemukan satu pesantren yaitu Pesantren Al-Islam Serang yang memiliki paham keagamaan Ahlussunah Waljamaah (Aswaja); lebih khusus lagi berpaham keagamaan NU. Pesantren ini menggunakan kitab kuning ala pesantren salaf, baik jenjang maupun tingkatannya.

Meskipun dipengaruhi paham keagamaan model “salafi”, penelitian ini menunjukkan beberapa pesantren tidak bisa dikategorikan sebagai pesantren salaf sebagaimana pesantren-pesantren berafiliasi NU atau pesantren khalaf dengan ideologi “pembaharuan pendidikannya”. Oleh karena itu, pesantren-pesantren  tersebut memiliki kultur sendiri yaitu: “pendidikan salafi” atau disebut pesantren berbasis kultur salafi (salafi based-culture).

Temuan lain menunjukkan pesantren-pesantren tersebut menolak disebut sebagai pesantren radikal. Karena kata “radikal” merupakan istilah digunakan Barat untuk memberikan label terhadap penganut Islam yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai Islam yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis. Ada citra negatif dalam kalimat “radikal” itu.

Secara institusional, pesantren-pesantren tersebut tidak terkait dengan gerakan-gerakan radikal bersifat “kekerasan” dalam memperjuangkan ideologi (misalnya ideologi salafinya). Pesantren-pesantren tersebut tetap mengedepankan strategi dialog. Salah satu wujud konkretnya berbentuk pendidikan berupa pesantren. Namun, potensi radikalisme terdapat pada alumni yang memiliki akses kepada kelompok-kelompok radikal di luar pesantren.  

Hasil penelitian menyarankan semua pesantren hendaknya membina para alumninya agar memupuk rasa cinta terhadap bangsa dan  tanah air Indonesia serta  bersikap toleran. Instansi pemerintah terkait hendaknya bekerjasama dengan pesantren memberikan pendidikan wawasan kebangsaan yang lebih intensif kepada para pembina dan santri. Selain itu, pemerintah juga perlu memfasilitasi forum komunikasi antar pesantren.  (bas/wan)

Sumber foto: https://kuatangantangan.files.wordpress.com

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI