Kabalitbangdiklat: Islam Indonesia untuk Dialog Antarperadaban

24 Mar 2015
Kabalitbangdiklat: Islam Indonesia untuk Dialog Antarperadaban

Brussel – Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D. menjadi pembicara dalam konferensi bertajuk “Religion and Politics in a Free Society” (Fundamentalism – When Religion becomes Violence).Acara yang diikuti sekitar 120 pakar ini bertempat di Hotel Leopold, Brussel, Kamis (19/3). Hadir pula pembicara lain, Prof. Thomas Schirrmacher (pakar sosiologi agama dan HAM), Dr. Khalid Hajji (Ulama Maroko), dan Katharina von Schnurbein (Koordinator Dialog Lintas Agama pada Komisi Eropa).

Konferensi membincang persoalan aktual terkait dinamika kekerasan yang dilatarbelakangi agama. Meski istilah “fundamentalisme” yang menjadi judul acara tak didefinisikan sama, namun para pembicara sepakat untuk mengecam berbagai kekerasan berlatar agama. Fenomena kekerasan ISIS paling menjadi kekhawatiran. Terlebih, dari berbagai sumber, jika kini ada sekitar 500 WNI yang telah bergabung ke ISIS, dari negara-negara Eropa dikabarkan telah mencapai 3000 orang.

Prof. Thomas Schirrmacher, pakar sosiologi agama dari Bonn, menegaskan bahwa fenomena fundamentalisme terjadi di banyak agama. Jika ISIS berlatar Islam, di India berlatar Hindu, dan sebagainya. Dr. Khalid Hajji banyak mengulas dan meluruskan salah paham soal ajaran Islam. Saat ini, ada sebagian umat Islam yang memahami teks dengan tidak benar. Selain itu, ada fenomena, banyak kalangan muda yang tidak berguru ilmu secara benar kepada ulama, melainkan hanya pada sumber-sumber di dunia maya.

Sementara itu, Kabalitbang dan Diklat Prof. Abdurrahman Mas’ud menceritakan pengalaman Indonesia. Di Indonesia, ditegaskannya, Islamnya telah menjadi “Islam Indonesia”. Ajaran dan praktik beragama Islam telah menyatu dengan lokalitas dan identitas kultur Indonesia. Hal ini menjadikan praktik beragama dan berbangsa berjalan harmonis, menyatu, dan tidak bermasalah dalam konteks hidup bersama di tengah keragaman agama dan suku bangsa. Dan, meskipun umat Islam Indonesia merupakan penduduk mayoritas di Indonesia bahkan di dunia, namun agama-agama lainnya diposisikan setara., “the other five major religion are set equal level to Islam”

Hal ini diungkapkannya meresponi wacana yang berkembang dalam sesi diskusi terkait identitas warga muslim di negara-negara Eropa. Beberapa penanya mempermasalahkan karakter Islam yang dibawa sebagian imigran muslim di Belgia yang dalam beberapa hal terkesan tidak blended dengan karakter Eropa. Muslim imigran di Eropa jika ditanya “who are you ?” jawabannya “I’m a Moslem” tanpa menyebut negara asalnya, juga tanpa menyebut Eropa.  Hal ini antara lain menyebabkan adanya problem integrasi sebagai bangsa, selain kesalahpahaman budaya dan kesan diskriminasi.     

Di Eropa, belakangan ini memang terjadi fenomena menarik soal Islam atau muslim. Adanya imigran muslim ke negara-negara Uni Eropa dengan beragam karakternya vis a vis reaksi balik dengan pengetatan regulasi ataupun bahkan Islamophobia. Ada isu pelarangan burqa/jilbab, isu diskriminasi dalam mendapat pekerjaan, hingga isu terorisme, radikalisme, kekerasan, yang menunjuk pada fenomena gerakan ISIS.

Hal demikian seperti menyiratkan adanya benturan peradaban, antara budaya setempat Eropa dan budaya Islam dengan beragam karakternya. Dalam konteks ini, seperti hendak mengoreksi tesis Huntington, Kabalitbang menyatakan dalam paparannya: “The world is big enough for all human cultures and civilizations to interact and coexist, but too small for a war of civilization. We are dealing with the pattern emerging which is not confrontation between civilizations but of each one with modernity.“

Islam bukanlah ancaman bagi peradaban Barat atau Eropa. Demikian juga sebaliknya. Interaksi dan koeksistensi dapat terjadi. Peradaban-peradaban itu kini sesungguhnya tengah bersama-sama menghadapi modernitas, termasuk borok modernitas seperti kekerasan yang ditunjukkan ISIS. Islam yangrahmatan lil alamin, sebagaimana misi “Islam Indonesia”, dipandang corak yang mampu menjaga hubungan antarperadaban.

Sementara itu, di samping menjadi pembicara pada konferensi, Kabalitbang juga mengadakan pertemuan untuk membangun kesepahaman dan sinergi. Bahwa Indonesia menginisiasi studi komparatif dalam pengelolaan multikulturalisme di kedua negara. Hal ini dimaksudkan untuk saling berbagi pengalaman (best practices) dan manfaat dari dialog antarperadaban.

Pertemuan dilakukan dengan Mr. Gyorgi Holvenyi, anggota parlemen Eropa dari European People’s Party (EPP); Prof. Thomas Schirrmacher, Direktur International Institute for Religious Freedom, Bonn; Mrs. Katharina von Schnurbein, DG BEPA, European Commission; Mr. Pekka Hakala, Head of Policy Unit, DG EXPO European Parliament; dan Dr. Michael Privot, Direktur pada European Network Against Racism (ENAR).

Konselor KBRI di Brussel, Riaz J. P. Saehu, yang mendampingi Kabalitbang bersama peneliti muda Akmal Salim, menyatakan akan melakukan pertemuan tindak lanjut atas rangkaian kunjungan ini. Upaya membangun saling pemahaman antara Indonesia dan negara-negara Eropa dinilainya sangat penting. Budaya dialog multikultural dan multirelijius di Indonesia dapat memberi inspirasi negara-negara Eropa dalam mengelola multikulturalis­menya, dan demikian sebaliknya[]. asr/abdR/ags

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI