Kaji Dampak Program KIP dan PIP, Balitbang Gandeng Akademisi untuk Hasilkan Solusi Nyata!

9 Okt 2024
Kaji Dampak Program KIP dan PIP, Balitbang Gandeng Akademisi untuk Hasilkan Solusi Nyata!
Kaban Suyitno dalam acara Focus Group Discussion (FGD) Kajian Dampak Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Indonesia Pintar (PIP) yang diselenggarakan Puslitbang Penda di Jakarta, Rabu (9/10/2024).

Jakarta (Balitbang Diklat)---Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Kementerian Agama Suyitno secara resmi membuka acara Focus Group Discussion (FGD) terkait Kajian Dampak Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Indonesia Pintar (PIP) yang diselenggarakan Puslitbang Pendidikan dan Keagamaan (Penda). FGD ini turut dihadiri perwakilan dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Acara ini diadakan untuk memperdalam kajian mengenai dampak program KIP dan PIP, yang berperan penting dalam membantu pendidikan anak-anak dari keluarga kurang mampu di seluruh Indonesia.

 

Dalam arahannya, Suyitno menekankan pentingnya melakukan penelitian secara cermat dan tidak terburu-buru. “Riset yang dilakukan Balitbang bukanlah riset murni (pure research), melainkan riset terapan (applied research) yang diharapkan dapat memberikan manfaat langsung bagi pengambil kebijakan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (9/10/2024).

 

Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa penelitian yang dilakukan tidak hanya bertujuan untuk menambah wawasan akademis, melainkan juga untuk memberikan masukan konkret bagi pemerintah dalam perumusan kebijakan pendidikan.

 

Suyitno menambahkan bahwa penting bagi tim riset untuk menjaga kualitas penelitian, baik dari sisi metodologi maupun pelaksanaan. “Agar riset ini bermanfaat, kita harus mengawal seluruh prosesnya, baik dari aspek kebijakan maupun metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan,” lanjutnya. Dengan demikian, hasil penelitian dapat memberikan kontribusi nyata dalam pelaksanaan program KIP dan PIP, yang ditujukan untuk membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu agar tetap bisa mengakses pendidikan.

 

Suyitno juga memberikan masukan terkait dengan penyebaran sampel penelitian, terutama di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Utara. “Tolong diperhatikan penyebaran madrasah, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), atau Perguruan Tinggi Keguruan (PTK) di daerah tersebut. Populasi sampel harus dipilih secara representatif,” jelasnya. Hal ini bertujuan agar penelitian dapat mencerminkan kondisi nyata di lapangan, khususnya di wilayah yang memiliki tantangan geografis dan aksesibilitas yang berbeda dengan daerah lainnya.

 

Selain itu, Suyitno juga menyarankan penggunaan metode sampling purposive, baik pada sampel yang homogen maupun heterogen. "Harapan saya, sampling purposive antara yang homogen dan heterogen bisa digabung, agar kita mendapatkan dua jenis data yang berbeda, antara sekolah yang berada di bawah Kementerian Agama dan sekolah di luar Kementerian Agama," ungkapnya. Pendekatan ini diharapkan dapat menghasilkan data yang lebih beragam dan kaya, sehingga analisis yang dihasilkan dapat mencakup berbagai perspektif pendidikan di Indonesia.

 

Suyitno juga memberikan perhatian khusus pada protokol wawancara dalam penelitian ini. Menurutnya, tim riset perlu memeriksa ulang relevansi pertanyaan yang diajukan kepada responden. "Perlu dilakukan pengecekan kembali terhadap pertanyaan wawancara yang tidak relevan," ujarnya. Langkah ini penting agar penelitian dapat fokus pada hal-hal yang benar-benar esensial dalam mengevaluasi dampak program KIP dan PIP.

 

Tidak hanya itu, Suyitno juga menekankan pentingnya keadilan dalam pelaksanaan program KIP. "Bagaimanapun, misi utama pemberian KIP dan PIP ini adalah untuk mengatasi ketidakmampuan siswa yang kurang mampu agar mereka tetap bisa mengakses pendidikan," tegasnya. Pernyataan ini menyoroti komitmen pemerintah untuk memberikan kesempatan pendidikan yang setara bagi seluruh anak Indonesia, tanpa memandang latar belakang ekonomi.

 

Dalam sesi yang sama, Kepala Puslitbang Pendidikan dan Keagamaa Rochmat Mulyana juga memberikan tanggapan yang sejalan dengan Kaban Suyitno. Rochmat menekankan pentingnya menyusun pertanyaan wawancara yang relevan dan eksploratif. “Pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting jangan sampai ditanyakan. Kita harus benar-benar mengukur realitas yang ada dan menggali informasi se-eksploratif mungkin untuk mendapatkan jawaban yang kita cari,” jelasnya.

 

FGD ini diharapkan dapat menghasilkan temuan-temuan penting yang akan menjadi dasar bagi pengambil kebijakan untuk memperbaiki dan menyempurnakan pelaksanaan program KIP dan PIP. Melalui riset yang komprehensif dan terarah, hasil kajian ini akan membantu pemerintah memastikan bahwa bantuan pendidikan tersebut tepat sasaran dan mampu mengatasi masalah ketidaksetaraan pendidikan di Indonesia. (Natasya Lawrencia)

   

 

Penulis: Natasya Lawrencia
Sumber: Natasya Lawrencia
Editor: Abas dan Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI