Kepala Badan Ajak Jamaah Jihad Bangun Karakter Bangsa
Jakarta (11 Agustus 2017). Beberapa kalangan melontarkan kritik bahwa sistem pendidikan yang berlangsung di Indonesia selama ini belum bisa mengantarkan bangsa kita mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya dan membangun masyarakat Indonesia seluruhnya.
“Oleh karena itu, khatib mengajak hadirin sekalian untuk berjihad membangun karakter dan moral bangsa,” ujar Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D. saat menyampaikan khutbah di Masjid Al-Ikhlas Gedung Kementerian Agama Jl. M.H Thamrin No. 6 Jakarta, Jumat (11/8).
Secara spesifik, menurutnya, tujuan pembangunan nasional bidang pendidikan dijabarkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Tujuannya, untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab,” papar Mas’ud.
Tujuan seperti diamanatkan dalam undang-undang tersebut, lanjutnya, menempatkan dimensi moral keagamaan sebagai bagian yang penting darinya. Akan tetapi, kenyataan praktik pendidikan yang berlangsung belum menunjukkan hasil yang diharapkan.
Doktor jebolan UCLA Amerika ini mencontohkan, maraknya tawuran pelajar, konsumsi dan pengedaran narkoba yang merajalela, kurangnya rasa hormat anak kepada orang tua dan guru, jauhnya amanah dalam budaya bangsa yang ditandai dengan praktik korupsi, serta kesalehan ritual lebih dominan dari kesalehan sosial adalah indikasi konkrit yang mendukung sinyalemen dan kritik tersebut.
“Fenomena tersebut menunjukkan adanya something wrong dalam pendidikan kita, yaitu pengabaian aspek moral dan agama. Di sinilah pendidikan karakter bangsa, character building, sangat diperlukan. Nilai-nilai agama yang diharapkan bisa menjadi karakter yang religius adalah akhlakul karimah,” tandasnya.
Menurut ayah empat anak ini, kualitas suatu masyarakat dapat dilihat dari moralnya. Bahkan kemajuan dan ketinggian budaya masyarakat amat ditentukan oleh ketinggian akhlaknya. Nabi Muhammad saw juga mendapat pujian dan apresiasi dari Allah SWT berkat kemuliaan akhlak. Moral masyarakat yang berkualitas adalah satu keniscayaan dalam pengembangan pendidikan termasuk pendidikan agama di Indonesia.
Etika Sosial
Mas’ud mengatakan, sudah menjadi rahasia umum bahwa masalah besar yang dihadapi umat Islam adalah persoalan etika sosial (social ethics). Jika dulu agama mampu dijadikan penggerak utama, prime mover, untuk mengusir penjajah, kini agama belum tampak dijadikan driving force untuk menyembuhkan penyakit-penyakit sosial.
“Ajaran agama tidak lain adalah merupakan nilai-nilai luhur yang semestinya menjadi dasar bagi pembangunan kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa yang religius, mandiri, santun, dan menghargai keragamaan,” ujarnya.
Satu nilai yang sudah dititipkan dalam rumusan tujuan pembangunan nasional bidang pendidikan adalah kemandirian (self-reliance). Kemandirian, atau juga independent, agaknya juga masih jauh dari capaian sasaran pendidikan kita.
Fenomena yang ada adalah ketergantungan di mana-mana, di rumah, di sekolah, dan dalam kehidupan publik. Kemandirian sangatlah dekat dengan nilai tanggung jawab, responsibility.
Dalam lslam diajarkan kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatihi. Setiap individu bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Sebaliknya, ketergantungan sangat lekat dengan kemanjaan, spoiling, di mana individu dimanjakan oleh lingkungannya. Di dunia pendidikan yang maju individu dibiasakan dengan sikap-sikap mandiri dan tanggung jawab sejak dini. Sebaliknya dalam budaya yang tidak terbiasa dengan kemandirian, anak terbiasa “disuapi” sejak bayi sampai batas waktu yang tidak jelas.
Mas’ud mensinyalir, kondisi tersebut memicu budaya suap susah diberantas. Ia ingin mengajak untuk mendalami kembali model pendidikan pesantren yang selama ini terbukti keberhasilannya dalam mencetak santri yang alim, salih, dan berakhlak mulia atau dalam bahasa pesantren: tafaqquh fiddin wa takhalluq bi akhlaqil karimah.
Baginya, ajaran kemandirian dunia pesantren serta kecenderungan “cultural maintenance” yang menghargai kekayaan budaya atau kearifan lokal merupakan bagian dari hubbul wathan minal iman. Bahkan memperkokoh khazanah klasik yang tercermin dalam rumusan al-Muhafazah ala al-qadim al-salih wa al-akhzu bil jadid al-ashlah. “Ini merupakan sebuah alternatif yang menjanjikan untuk pengembangan dan pembangunan karakter bangsa,” pungkasnya.
Musthofa Asrori/diad
Sumber foto: http://blog.unnes.ac.id/imamromawan/category/konservasi/