Layanan Pendidikan Agama Peserta Didik Di Denpasar
Jakarta (2 November 2017). Hasil penelitian Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat tentang Layanan Pendidikan Agama Peserta Didik di SMA (SLUA) Saraswati 1 Kota Denpasar (2016) menunjukkan seluruh peserta didik mendapat layanan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Pasalnya, ini merupakan kebijakan pendiri dan kepala sekolah pertama sampai tahun 1985. Kebijakan ini tampaknya tetap dijaga dan dipertahankan oleh setiap pimpinan di sekolah ini. Bahkan, kebijakan tersebut posisinya semakin bertambah kuat setelah diberlakukan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Selanjutnya, ditemukan semua guru pendidikan agama (GPA) di sekolah ini memiliki kualifikasi akademik dengan latar belakang pendidikan guru agama (link and match)serta didukung pengalaman mengajar pendidikan agama yang memadai. Akan tetapi, sebagian besar GPA di sekolah ini masih berstatus guru swasta (honorer).
Sebagian besar peserta didik di SMA (SLUA) Saraswati 1 Denpasar ini beragama Hindu. Selebihnya, beragama Islam, Kristen, dan Buddha.
Proses pembelajaran pendidikan agama di sekolah ini melalui kegiatan intra, ekstra, dan co-kurikuler yang mengacu kepada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Kurikulum pendidikan agama yang digunakan yaitu kurikulum dari Kementerian Agama. Diperkuat dengan “budaya lokal”, terutama berkaitan dengan “budi pekerti”. Kurikulum ini digunakan karena kompetensi dasar yang dikembangkan cukup mengakomodir pesan-pesan toleransi dan kerukunan umat beragama, sehingga sangat sesuai dengan kondisi geografis dan demografis di daerah ini.
Namun demikian, sarana pendidikan agama bagi peserta didik beragama Islam, Kristen, dan Buddha “kurang memadai”, jika dibandingkan dengan sarana pendidikan agama bagi peserta didik beragama Hindu. Sarana pendidikan agama bagi peserta didik beragama Islam, Kristen, dan Buddha hanya ruangan untuk kegiatan proses pembelajaran melalui kegiatan intra-kurikuler. Adapun tempat (ruangan) untuk beribadah sesuai peserta didik sesuai agama yang dianutnya belum ada.
Evaluasi pembelajaran pendidikan agama di sekolah ini mencakup komponen evaluasi program, proses pembelajaran, dan hasil pembelajaran. Evaluasi dilakukan oleh masing-masing GPA bersangkutan, mulai dari penyusunan kisi-kisi, penyusunan tes hasil belajar, pemeriksaan, pemberian skor, pengolahan hasil tes, sampai penentuan nilai akhir untuk nilai rapor. Selain itu, juga dalam penyusunan kisi-kisi dan tes hasil belajar GPA selalu berpegang kepada prinsip dasar evaluasi pembelajaran, yaitu: mengevaluasi siswa secara menyeluruh, baik dari aspek pengetahuan dan pemahaman terhadap materi pembelajaran, aspek afektif, maupun aspek pengamalan (psikomotorik). Ketiga aspek ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling mendukung, melengkapi, dan saling menyempurnakan.
Hasil penelitian juga menemukan karena keterbatasan sarana/fasilitas pendidikan agama, terutama sarana/fasilitas pendidikan agama bagi peserta didik beragama Islam, Kristen, dan Buddha, maka masing-masing GPA mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi keterbatasan sarana/fasilitast tersebut. Ini sangat penting dilakukan oleh masing-masing GPA. Jika tidak, maka kemungkinan besar dapat berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas pendidikan agama. Sebab, keterbatasan tempat/ruang tersebut jelas dapat mempengaruhi proses pembelajaran, terutama pembelajaran melalui kegiatan ekstra-kurikuler.
Hasil penelitian merekomendasikan, pertama: mengingat adanya keterbatasan GPA (Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha), terutama keterbatasan dari segi kualitas, dan sebagian besar GPA berstatus guru honorer, maka Menteri Agama sebaiknya memfasilitasi atau menyediakan GPA sesuai kebutuhan sekolah tersebut.
Kedua, karena keterbatasan sarana/fasilitas pendidikan agama, terutama bagi peserta didik beragama Islam, Kristen, dan Buddha, maka sebaiknya Kepala SMA (SLUA) Saraswati 1 Denpasar dan Pengurus Yayasan Perguruan Rakyat Saraswati Pusat Denpasar segera melengkapi sarana/fasilitas pendidikan agama bagi peserta didik beragama Islam, Kristen, dan Budda, terutama tempat/ruang ibadah.
Ketiga, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama hendaknya lebih meningkatkan dan memperluas sosialisasi Peraturan Menteri Agama RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah. Ini penting, karena masih ada sejumlah pengurus yayasan pendidikan atau perguruan dan kepala sekolah belum mengetahui dan memahami secara operasional Peraturan Menteri Agama tersebut.
Keempat, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Jenderal Bimas Kristen, Direktorat Jenderal Bimas Katolik, Direktorat Jenderal Bimas Hindu, dan Direktorat Jenderal Bimas Buddha Kementerian Agama sebaiknya mempertimbangkan untuk menyusun kurikulum pendidikan agama yang mendukung kepentingan nasional dan kepentingan lokal, serta kurikulum nasional dan kurikulum daerah yang seimbang. (bas/wan)
Sumber foto: https://www.google.co.id