Media Sosial Picu Perubahan Perilaku Keagamaan Masyarakat
Jakarta (8 Januari 2015). Fenomena penggunaan media sosial, seperti facebook, twitter, whatsapp, dan lain sebagainya, ternyata berdampak pada perilaku keagamaan penggunanya. Simpulan ini disampaikan Martin Slama saat menjadi narasumber dalam acara “Majelis Rabuan Thamrin (MRT)”, Rabu (7/1).
MRT merupakan kegiatan baru yang digagas oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan (baca: Kabalitbangdiklat Launching “Majelis Rabuan Thamrin”). Kegiatan yang dilaksanakan di ruang Perpustakaan Gedung Kementerian Agama, Jl. M.H. Thamrin No. 6 Jakarta, diikuti oleh para peneliti di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Martin Slama, antropolog dari Institute for Social Anthropology at the Austrian Academi of Science, bertindak sebagai narasumber perdana kegiatan MRT. Pada kesempatan ini, Slama menyampaikan materi “Perkembangan Kehidupan Keagamaan Islam dan Pengaruh Media Sosial terhadapnya di Indonesia”. Materi ini merupakan penelitian yang sedang dilakukannya.
Menurut Slama, penggunaan media sosial oleh masyarakat Indonesia merupakan fenomena menarik yang harus digali dan diteliti. Sebagai seorang antropolog, Slama melihat bahwa penggunaan internet dan media sosial tidaklah menjadi fenomena yang berdiri sendiri. Menurutnya, jika para teoritis memandang adanya keterpisahan antara dunia “online” dengan dunia “offline”, ia justru memandang bahwa kedua dunia tersebut menyatu dalam diri seseorang. Oleh karena itu, fenomena penggunaan internet dan media sosial, dilihat dari sudut pandang antropologi memiliki makna yang sangat menarik.
Meskipun materi yang dibawakannya merupakan bahan penelitian yang masih dalam proses penyelesaian (working in progress), namun Slama mengaku sudah mampu menemukan berbagai kesimpulan-kesimpulan kecil atas fenomena penggunaan media sosial.
Salah satu kesimpulan yang disampaikan Slama adalah bahwa ternyata media sosial dapat mempengaruhi perilaku keagamaan para penggunanya. Slama menambahkan, media sosial lambat laun mampu menggeser otoritas keagamaan di masyarakat. Para Ustadz di era media sosial dituntut mampu berkomunikasi secara aktif dan efektif.
Hal ini sejalan dengan teori John W. Anderson dan Dale F. Eickleman dalam buku New Media in the Muslim World yang menyatakan adanya perubahan otoritas keagamaan yang diakibatkan dari penggunaan website. Meskipun demikian, pembentukan otoritas keagamaan baru pada media sosial sedikit berbeda dengan yang terjadi pada penggunaan website. Dalam fenomena media sosial, pembentukan otoritas keagamaan baru dibentuk melalui dialog antara murid dan ustadz di media sosial.[]
Ags/viks/chee