Tempat Ibadah Memperkuat Persaudaraan, Ini Penjelasannya

26 Okt 2023
Tempat Ibadah Memperkuat Persaudaraan, Ini Penjelasannya
Direktur Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid pada pada kegiatan Diskusi Publik dan Ekspos Inovasi Moderasi Beragama dengan tema “Membangun Harmoni Melalui Kampung Moderasi dan Rumah Ibadah Moderasi” yang diselenggarakan Balai Litbang Agama (BLA) Semarang di Universitas Airlangga, Surabaya, Senin (23/10/2023).

Surabaya (Balitbang Diklat)---Direktur Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, mengatakan persoalan keberagamaan salah satunya karena sikap mental mayoritas-minoritas, bukan karena keberagaman atau ajaran agama itu sendiri. Kejadian seperti ini tidak hanya di Indonesia, tetapi di luar negeri juga mengalami hal yang sama.

“Kasus penolakan rumah ibadah non muslim di pulau Jawa, sebaliknya penolakan rumah ibadah muslim juga terjadi di luar Jawa. Kasus-kasus ini harus kita sadari bersama bahwa keadilan itu penting. Setiap warga negara berhak untuk beragama dan berkeyakinan serta beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya,

Alissa (biasa dipanggil) mengatakan hal tersebut saat memberikan paparan pada kegiatan Diskusi Publik dan Ekspos Inovasi Moderasi Beragama dengan tema “Membangun Harmoni Melalui Kampung Moderasi dan Rumah Ibadah Moderasi” yang diselenggarakan Balai Litbang Agama (BLA) Semarang di Universitas Airlangga, Surabaya, Senin (23/10/2023).

Menurut Alissa, keberadaan rumah ibadah tidak hanya sebagai tempat berdoa dan beribadah, melainkan juga memiliki peran dalam memperkuat persaudaraan seagama, sebangsa, dan sekemanusiaan.

Lebih lanjut, Alissa mengatakan persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan menerapkan moderasi beragama. Moderasi beragama adalah cara pandang atau praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama. Hal itu yang dapat melindungi martabat kemanusiaan dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

“Perannya mampu bersikap adil kepada sesama tanpa melihat latar belakangnya, dapat bekerja sama dengan segala umat beragama, bersikap adil kepada semua manusia, dan menghindari kekerasan kecuali untuk membela diri,” ungkapnya.

Vihara Tanah Putih

Vihara Tanah Putih, berkedudukan di Semarang Jawa Tengah, merupakan rumah ibadah yang saat ini berkembang secara pesat dari sisi fasilitas, aktivitas maupun kunjungan dari umat Budhha maupun umat lain. Keterbukaan pengelola dalam mengelola Vihara Tanah Putih mendorong masyarakat merasa nyaman dalam bersinggungan langsung dengan pengelola.

Bhikkhu Cattamano Mahāthera dalam pembukaan presentasinya menuturkan bahwa Vihara Tanah Putih melakukakan kegiatan bersama masyarakat sekitar, di antaranya kegiatan tradisi jawa “gunungan”, donor darah, dan buka puasa bersama dengan tokoh dan umat Islam. Vihara ini juga memiliki fasilitas seperti tempat ibadah untuk umat selain Buddha.

“Fasilitas tempat ibadah ini pernah digunakan untuk misa umat Katolik dan salat berjamaah umat Islam,” ungkap Cattamano.

Bhikkhu Cattamano Mahāthera bercerita: “Pada awalnya, kita tidak berani melaksanakan kegiatan buka puasa. Mulanya, saya ajak ibu-ibu memasak bersama di Vihara saat menjelang buka puasa bersama. Lambat laun, saya berpikir daripada masak dan ngobrol ngalor ngidul tidak jelas, lebih baik saya undang tokoh untuk ceramah,” ujarnya.

“Kegiatan buka puasa hingga saat ini masih diselenggarakan setiap bulan puasa,” imbuhnya.

Terkait moderasi beragama, Cattamano mengatakan konsep moderasi beragama telah mengakar tajam dalam ajaran Buddha. Kisah Upali menjadi salah satu gambaran bagaimana ajaran Buddha sangat menjunjung tinggi prinsip toleransi kepada ajaran-ajaran lain yang tumbuh bersama ajaran Buddha.

Upali yang merupakan seorang yang cerdas memiliki niat berpindah kepada ajaran Guru Agung Buddha karena mengetahui kesalahan yang dilakukan pada ajaran guru sebelumnya. Tidak langsung menerima, Guru Agung memberikan jeda waktu Upali untuk memikirkan secara matang niatnya tersebut.

“Setelah beberapa hari kemudian, Guru Agung menyampaikan kepada Upali persyaratan mengikuti ajarannya adalah dengan tetap menghormati guru Upali sebelumnya,” ungkap Cattamano. (Fathurrozi/bas/sri)

Penulis: fathurrozi
Editor: Abas/Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI