Mencegah Eskalasi Konflik, Perlu Membangun Early Warning System

14 Nov 2023
Mencegah Eskalasi Konflik, Perlu Membangun Early Warning System
Kaban Suyitno pada FGD Resolusi Konflik Bernuansa Agama yang diselenggarakan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) di Palembang, Minggu (12/11/2023).

Palembang (Balitbang Diklat)---Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. Suyitno mengatakan suasana kebatinan yang belum move on dapat menjadi pemicu utama konflik di tengah masyarakat.

 

"Dalam lima tahun terakhir, kita melihat bahwa suasana kebatinan yang belum move on dapat menjadi penyulut konflik. Pengalaman traumatis atau ketidakpuasan yang tidak terselesaikan secara batin dapat mendorong munculnya ketegangan sosial," ujarnya saat memberikan arahan pada FGD Resolusi Konflik Bernuansa Agama yang diselenggarakan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) di Palembang, Minggu (12/11/2023).

 

Untuk mengantisipasi dan mencegah eskalasi konflik, Kaban menekankan pentingnya membangun early warning system. Sistem ini, menurutnya, harus dapat mengidentifikasi indikator awal konflik, dengan mempertimbangkan faktor agama dalam dinamika sosial dan politik.

 

"Early warning system yang memperhitungkan faktor agama dapat membantu kita mengantisipasi dan mengelola potensi konflik sebelum mencapai tingkat yang merugikan masyarakat. Kita perlu proaktif dalam menghadapi potensi ketegangan yang berkaitan dengan kepercayaan dan identitas keagamaan," ungkap Kaban.

 

Dalam sesi diskusi, Prof. M. Sirozi, Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Fatah Palembang, memaparkan tiga perspektif konflik menurut sejarah, yaitu pandangan tradisional, hubungan manusia, dan interaksionis.

 

Pertama, hingga tahun 1940-an, pandangan tradisional menggambarkan konflik sebagai sesuatu yang merugikan, terjadi akibat komunikasi yang buruk dan kurangnya kepercayaan. Konflik dalam pandangan ini dihubungkan dengan hal-hal negatif seperti kekerasan dan kehancuran, mendorong masyarakat untuk menghindarinya sebisa mungkin. Konflik dianggap sebagai suatu yang perlu dieliminasi.

 

Kedua, sejak tahun 1940-an hingga pertengahan 1970-an, pandangan hubungan manusia tentang konflik menunjukkan bahwa studi perilaku organisasi menemukan bahwa konflik tidak sepenuhnya bersifat negatif. Konflik dianggap sebagai kejadian alami dalam dinamika kelompok, tim, dan organisasi. Dengan mengakui ketidakmungkinan menghindari konflik, pendekatan yang diambil adalah belajar menerima keberadaannya, bahkan mengakui potensi manfaat konflik terhadap kinerja kelompok atau organisasi.

 

Ketiga, pandangan interaksionis mengemukakan bahwa kelompok yang sepenuhnya harmonis dan kooperatif dapat menjadi statis dan tidak responsif terhadap inovasi. Oleh karena itu, menjaga tingkat konflik minimal dianggap penting untuk memastikan kelompok tetap kreatif dan berkembang. Prof. Sirozi menegaskan bahwa konflik dapat memiliki sifat baik dan buruk, tergantung pada jenisnya, dan penilaiannya harus disesuaikan dengan konteks konflik tersebut.

 

Diskusi ini memberikan wawasan mendalam tentang evolusi pandangan terhadap konflik sepanjang sejarah, menggugah pemikiran untuk mengembangkan pendekatan yang lebih kontekstual dalam mengelola konflik di berbagai tingkatan masyarakat. Diskusi ini diharapkan dapat memotivasi pihak-pihak terkait untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman dan harmonis bagi semua lapisan masyarakat. (Agus Mulyono/bas/sri)

   

 

Penulis: Agus Mulyono
Sumber: Puslitbang BALK
Editor: Abas dan Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI