Menimbang Salam Lintas Agama
Jakarta (Balitbang Diklat)---Salam lintas agama kini sudah terbiasa diucapkan di Indonesia. Ucapan salam terhadap penganut agama lain sesuai dengan agamanya kerap disampaikan dalam mengawali pembicaaan di forum formal atau nonformal. Pejabat pemerintah dari tingkat terendah sampai Presiden kerap mengucapkan salam lintas agama. Masyarakat biasa, tokoh agama, dan pemimpin organisasi, kini juga sering mengucapkan salam dalam versi agama-agama.
Ungkapan assalamu’alaikum untuk umat Islam, ‘salam sejahtera bagi kita semua’ untuk umat Kristen, shalom untuk umat Katolik, Om swastiastu untuk umat Hindu, namo Buddhaya untuk umat Buddha, dan salam kebajikan untuk umat Konghucu, sudah fasih diucapkan oleh penutur yang berbeda agama. Sejurus dengan itu, hadirin yang tersapa dengan ucapan salam sesuai agamanya sontak menjawab ucapan salam tersebut dengan rasa bahagia.
Bagi yang setuju, salam lintas agama ditujukan untuk memperkuat toleransi dan harmoni, serta menebar rasa damai dan respek kepada umat yang berbeda agama. Menurut pendapat ini, ada tujuan kemaslahatan dan kemanusiaan dalam salam lintas agama sehingga dikategorikan sebagai praktik tradisi yang baik. Namun, vice versa dengan pendapat tersebut, sebagian pihak berpendapat salam lintas agama sebagai praktik yang menyimpang dari ajaran agama. Ucapan salam dianggap sebagai doa dan ibadah yang tidak boleh dicampuradukkan.
Salam lintas agama tak ayal menjadi kontroversi. Jika ditelusuri dalam jejak digital, kontroversi salam lintas agama sudah mencuat ke permukaan setidaknya sejak keluarnya Fatwa MUI Jawa Timur bernomor 110/MUI/JTM/2019. Dalam Fatwanya, MUI Jawa Timur mengkategorikan salam lintas agama sebagai perkara syubhat (diragukan antara halal dan haram). MUI Jawa Timur lantas mengimbau umat Islam untuk tidak mengucapkan salam lintas agama.
Pasca keluarnya Fatwa MUI Jawa Timur, perdebatan hukum salam lintas agama khususnya dalam perspektif Islam terus bermunculan. Kajian akademik tersaji cukup banyak, baik di media online seperti channel youtube atau di media offline seperti jurnal ilmiah. Di tengah berlangsungnya perdebatan, praktik salam lintas agama bukan berhenti, malah semakin populer dan akrab. Seperti hendak mempertegas, MUI Pusat lantas mengeluarkan fatwa keharaman salam lintas agama yang diumumkan pada gelaran Ijtima Ulama Komisi Fatwa pada 30 Mei 2024 di Bangka Belitung.
Selain ketetapan Fatwa MUI Jawa Timur dan Fatwa MUI Pusat, terdapat pendapat para ulama lainnya yang membolehkan salam lintas agama. Hal ini dengan gamblang diuraikan oleh Muchlis Hanafi dalam portal Kementerian Agama. Menurut Muchlis, pendapat yang membolehkan (mubah) merujuk pada praktik sahabat Nabi. Seorang sahabat Nabi ahli pengajaran Al-Qur’an bernama Abdullah Ibnu Mas'ud yang menyetujui ucapan salam cara Islam kepada seorang nonmuslim. Menurut Ibnu Mas’ud, “Mereka berhak (menerima salam) karena telah menemaniku dalam perjalanan.” Sahabat lainnya, Abu Umamah al-Bahiliy mempraktikkan salam setiap kali berjumpa orang, baik muslim maupun nonmuslim. Menurutnya, “agama mengajarkan kita untuk selalu menebar salam kedamaian” (Tafsir al-Qurthubi, 11/111).
Tidak sekadar mubah, hukum mengucapkan salam lintas agama sebenarnya bisa naik derajat menjadi nadab atau sunnah (berpahala bila dilaksanakan). Dalam kaidah, sesuatu yang mubah dapat berubah menjadi sunnah bila diniati untuk kebaikan (المباحات تصير طاعات بالنيات الصالحات). Bagi yang berpendapat mubah, mengucapkan salam lintas agama bahkan bisa menjadi sunnah bila ditujukan untuk menebarkan kasih sayang lintas iman yang biasa disebut rahmatan lil ‘alamiin (QS. Al-Anbiya: 107), sebuah sikap berbuat baik kepada siapa pun meskipun berbeda agama (QS. Al-Mumtahanah: 8).
Perbedaan pendapat seperti demikian merupakan kekayaan khazanah yang menjadi rahmat bagi umat Islam. Umat Islam memiliki ragam preferensi yang dapat dipilih sesuai keyakinan masing-masing dengan tetap mengedepankan sikap tasamuh (toleran). Dalam istilah Islam, perbedaan pendapat para ulama disebut ikhtilaf. Ikhtilaf sudah menjadi hal biasa, tidak dilarang, bahkan sudah dipraktikkan oleh para sahabat pada masa Rasulullah, ditunjukkan pula oleh generasi berikutnya pada masa tabi’iin (pengikut sahabat), hingga para ulama masa sekarang.
Ikhtilaf merupakan bentuk kelonggaran –kalau bukan malah kebebasan—dalam memahami teks skriptural. Ikhtilaf terjadi berawal dari upaya sungguh-sungguh para ulama dalam menentukan hukum atau pendapat terhadap suatu masalah. Inilah yang disebut ijtihad. Seorang atau sekelompok ulama dapat melakukan ijtihad secara independen. Kedudukan ijtihad para ulama pun memiliki status yang setara. Ijtihad satu atau sekelompok ulama tidak membatalkan ijtihad ulama lain ((الاجتهاد لاينقض باالاجتهاد. Umat pun memiliki keleluasaan dalam mengambil salah satu pendapat yang diyakininya benar tanpa menyalah-nyalahkan atau menyesatkan pendapat lain. Prinsip ijtihad, bila pendapatnya benar mendapat dua pahala, bila salah mendapat satu pahala.
Terlepas dari kontroversi hukumnya, dalam konteks Moderasi Beragama, salam lintas agama relevan dengan 4 indikator Moderasi Beragama, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap budaya lokal. Salam lintas agama mencerminkan komitmen kebangsaan yang ingin menjaga keutuhan bangsa melalui upaya kohesi dan koherensi sosial. Salam lintas agama juga mencerminkan sikap toleran yang menghargai eksistensi umat beragama yang berbeda. Sikap anti kekerasan juga tercermin dalam salam lintas agama yang mengandung pesan perdamaian dan kasih sayang. Pamungkas, salam lintas agama juga menunjukkan sikap penerimaan kehadiran tradisi yang bertujuan menciptakan kemaslahatan bersama. Dalam kaidah fikih, tradisi baik dapat menjadi dasar hukum (العادة محكمة) untuk melakukan perbuatan tertentu.