Merajut Harmoni dari Akar Rumput: Pentingnya Literasi Digital dan Peran Tokoh Lokal dalam Menjaga Kerukunan

3 Jul 2025
Merajut Harmoni dari Akar Rumput:  Pentingnya Literasi Digital dan Peran Tokoh Lokal dalam Menjaga Kerukunan
Forum kebijakan bertema “Pilar Perdamaian untuk Kerukunan dan Cinta Kemanusiaan,” di Bandung, Kamis (3/7/2025).

Bandung (BMBPSDM)---Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama Republik Indonesia menegaskan pentingnya peran lembaga keagamaan hingga akar rumput dan penguatan literasi digital dalam menjaga kerukunan umat beragama di tengah kompleksitas tantangan global dan nasional. Penegasan ini disampaikan dalam forum kebijakan bertema “Pilar Perdamaian untuk Kerukunan dan Cinta Kemanusiaan,”  yang digelar di Grand Arjuna Bandung, 2–3 Juli 2025.

 

Kepala PKUB Kemenag, Muhammad Adib Abdushomad, menyampaikan bahwa salah satu indikator keberhasilan kehidupan keagamaan adalah ketika umat semakin dekat dengan ajaran agamanya. Gus Adib --sapaan akrabnya-- menekankan perlunya internalisasi nilai-nilai agama tidak berhenti di tingkat pusat atau organisasi keagamaan besar, tetapi menjangkau langsung masyarakat desa dan kelurahan melalui tokoh agama lokal, guru, penyuluh, dan pengurus rumah ibadah.

 

“Kami juga sedang menyiapkan peluncuran Early Warning System (EWS) untuk deteksi dini konflik sosial berbasis keagamaan, dan berharap para penyuluh agama bisa terlibat aktif,” ujarnya di Bandung, Kamis (3 Juli/7/2025).

 

Staf Khusus Menteri Agama, Ismail Cawidu, menyoroti pentingnya lembaga keagamaan dijadikan sebagai agen kerukunan yang berperan di level lokal maupun global. Ia menekankan bahwa salah satu kekuatan utama Indonesia adalah kerukunan umat beragama, sesuatu yang tak ternilai dan menjadi aset strategis bangsa di tengah dunia yang terus diguncang konflik identitas, sektarianisme, dan bencana kemanusiaan akibat eksploitasi.

 

“Bayangkan jika semua rumah ibadah memancarkan tone perdamaian yang sama, maka kita akan jauh lebih mudah membangun harmoni sosial,” ungkapnya.

 

Ismail juga menekankan bahwa kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia dan Deklarasi Istiqlal menjadi simbol Indonesia telah memenuhi indikator keamanan dan kesiapan untuk menjadi destinasi kerukunan. “Semakin dalam kita memahami ajaran agama, semakin nyaman kita hidup berdampingan,” katanya. Ia menambahkan ajaran agama semestinya menjadi sumber cinta kasih, bukan alat untuk membenarkan kebencian.

 

Forum juga menyepakati pentingnya optimalisasi peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan forum silaturahmi lokal di tingkat kecamatan dan desa sebagai simpul mediasi cepat. Dukungan pemerintah daerah melalui kolaborasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Kesbangpol, Dinas Sosial, Kominfo, bahkan Satpol PP dianggap krusial untuk mendukung mediasi, deteksi dini, dan literasi digital yang dapat menangkal hoaks intoleransi.

 

Isu penyebaran narasi kebencian di media sosial menjadi salah satu perhatian serius peserta. Nyoman, perwakilan PHDI Kota Bandung, mempertanyakan lemahnya respons terhadap akun-akun yang menyebarkan ujaran kebencian. “Kalau hal ini terus meluas tanpa kontrol, bisa memicu kekacauan yang lebih besar,” katanya.

 

Bambang, perwakilan Majelis Agama Khonghucu, menilai masyarakat di tingkat akar rumput cenderung sudah hidup rukun. “Masalahnya justru sering muncul dari elite atau tokoh yang menyebarkan kampanye intoleransi,” ungkapnya. Ia juga menyinggung praktik diskriminasi oleh lembaga keuangan terhadap pembangunan rumah ibadah, serta mendesak perlunya protokol tegas dari pemerintah untuk memblokir konten intoleran di media sosial.

 

Sadi Hutayan dari Kemenag Kota Bandung menyoroti kualitas dan legalitas mediator konflik di tingkat lokal. Menurutnya, tidak semua mediator yang terlibat memiliki kapasitas atau sertifikasi yang layak, sehingga berisiko memperkeruh situasi, alih-alih menyelesaikannya.

 

Menanggapi hal tersebut, Gus Adib mengakui masih adanya tantangan koordinasi di lapangan. Ia menyebut insiden di Sukabumi sebagai bentuk kecolongan karena tidak adanya pelaporan dari pemerintah setempat. “Ketika persoalan internal berdampak pada masyarakat luas, itu jadi tanggung jawab kita semua,” tegasnya.

 

Dalam sesi penutup, forum menekankan bahwa membangun kerukunan memerlukan upaya kolektif yang menyeluruh dari tokoh agama, pemerintah, hingga pengguna media sosial. Dibutuhkan sistem komunikasi yang baik antarumat, literasi digital yang kuat, dan kesadaran bersama bahwa perdamaian adalah fondasi utama kehidupan berbangsa.

 

Forum ini melibatkan 85 peserta dari berbagai latar belakang --tokoh agama, tokoh pemuda, penyuluh, dan perwakilan lembaga keagamaan-- yang menyuarakan kebutuhan akan pembinaan nilai-nilai agama yang lebih membumi serta perlunya sinergi lintas sektor dalam menghadapi ancaman intoleransi dan disinformasi di ruang digital.

 

 

Penulis: Firman Nugraha
Sumber: BDK Bandung
Editor: Abas
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI