Moderasi Beragama: Isu Sangat Relevan dalam Konteks Dunia Modern yang Semakin Kompleks

19 Jul 2024
Moderasi Beragama: Isu Sangat Relevan dalam Konteks Dunia Modern yang Semakin Kompleks
Yusuf Ali Tantowi Ketua Baznas Kabupaten Bandung saat memberikan materi pada kegiatan Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama (PPMB) yang diselenggarakan Balai Diklat Keagamaan (BDK) Bandung di Badung, Kamis (18/7/2024).

Bandung (Balitbang Diklat)---Semenjak digulirkan, konsep moderasi beragama  seringkali masih disalahpahami. Sebagian orang menganggap moderasi beragama berarti melakukan kompromi terhadap ajaran agama. Namun, sebenarnya yang dimaksud adalah moderasi dalam cara penganut agama menjalankan dan mengamalkan ajarannya, bukan melakukan perubahan terhadap ajaran agama itu sendiri.

 

Hal tersebut  disampaikan Yusuf Ali Tantowi Ketua Baznas Kabupaten Bandung saat memberikan materi pada kegiatan Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama (PPMB) yang diselenggarakan Balai Diklat Keagamaan (BDK) Bandung di Badung, Kamis (18/7/2024). 

 

Di hadapan 60 orang peserta pelatihan, alumni Sudan ini juga menegaskan bahwa Moderasi Beragama merupakan isu yang sangat relevan dan krusial dalam konteks dunia modern yang semakin kompleks dan plural.

 

Islam dan Prinsip Moderasi

 

Menurut Ali Tantowi, setiap agama besar di dunia mengajarkan nilai-nilai moderasi, keadilan, dan keseimbangan. Agama tidak memerlukan moderasi karena esensinya sudah mengandung prinsip-prinsip moderasi tersebut. Yang perlu dimoderasi adalah perilaku penganut agama dalam mengimplementasikan ajaran agama. Tidak ada agama yang mengajarkan ekstremitas, tetapi ekstremitas seringkali muncul dari interpretasi dan aplikasi yang salah oleh penganutnya.

 

Islam sendiri, lanjut Ali Tantowi, memiliki konsep moderasi ini dengan terma wasathiyah. Istilah "wasathiyyah" dalam Islam diambil dari kata "wasath" yang berarti tengah, adil, baik, dan seimbang. Dalam bahasa sehari-hari, wasathiyyah bisa diartikan sebagai sikap netral dalam segala hal. Konsep ini diadopsi dalam bahasa Indonesia dengan istilah "wasit", yang berarti seseorang yang menengahi sebuah pertandingan antara dua pihak atau kelompok.

 

“Melalui konsep ini, Islam hadir sebagai rahmat dan maslahat bagi seluruh alam. Ajarannya yang lurus, sesuai dengan fitrah manusia, adalah lapang dan mudah untuk diikuti, serta tidak memberatkan,” ujarnya.

 

Ali Tantowi menegaskan bahwa ada  10 prinsip utama dalam moderasi beragama yang diambil dari ajaran Islam, yaitu:

1.Tawasuth: mengambil jalan tengah dari ekstremitas yang ada dalam kehidupan;

2. Tawazun: berimbang, harmoni, dan proporsional dalam segala hal;

3. I'tidal: sikap dan perilaku yang tegak lurus, netral, dan menjunjung tinggi keadilan;

4. Tasamuh: toleransi, mengakui, dan menghormati perbedaan;

5. Musawah: Egaliter atau persamaan derajat, dimana Islam tidak membedakan manusia berdasarkan latar belakang pribadi;

6. Syuro': musyawarah atau dialog untuk menyelesaikan masalah dengan prinsip kebaikan bersama;

7. Ishlah: menjaga kebaikan dan kedamaian;

8. Awlawiyah: memprioritaskan kepentingan umum yang membawa kemaslahatan;

9. Tathawwur wal Ibtikar: dinamis dan inovatif dalam menghadapi perubahan zaman;

10. Tahaddhur: menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai umat terbaik dalam kehidupan berperadaban.

 

Kontekstualisasi Moderasi Beragama

 

Dalam konteks akidah, kata Ali Tantowi, moderasi beragama berarti meyakini kebenaran agama sendiri secara tegas, sambil tetap menghargai dan menghormati penganut agama lain yang meyakini keyakinan mereka tanpa harus membenarkannya. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap keragaman dan keyakinan, bukan pendangkalan akidah. Moderasi beragama bukanlah upaya untuk merelativisasi kebenaran agama, melainkan cara untuk hidup berdampingan dengan damai dalam masyarakat yang beragam.

 

Sementara itu, lanjut Ali Tantowi, dalam konteks hubungan antar umat beragama, moderasi berarti tidak menambah atau mengurangi ajaran agama. Ini berarti saling menghormati dan menghargai jika terjadi perbedaan, terutama di ruang publik, dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah ilmiah. Moderasi beragama tidak berarti semua orang boleh berbicara atau berpendapat secara bebas tanpa batas. Setiap pendapat harus didasarkan pada latar belakang pengetahuan yang memadai dan kaidah ilmiah yang berlaku.

 

Namun, menurut Ali Tantowi, dalam konteks sosial budaya, berbuat baik dan adil kepada yang berbeda agama adalah bagian dari ajaran agama Islam, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an (al-Mumtahanah: 8) Implementasinya dalam konteks berbangsa dan bernegara, berarti tidak ada perbedaan hak dan kewajiban berdasarkan agama. Semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum dan negara. Ini adalah salah satu bentuk nyata dari moderasi beragama dalam kehidupan bernegara.

 

Moderasi beragama dalam konteks politik, tegas Ali Tantowi, bermitra dengan yang berbeda agama tidaklah menjadi masalah. Bahkan, ada keharusan untuk berkomitmen terhadap kesepakatan politik yang sudah dibangun, meskipun dengan pihak yang berbeda agama. Hal ini dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam pengalaman empirisnya di Madinah dan sejumlah narasi verbal dari beliau. Komitmen untuk mewujudkan kemaslahatan umum adalah prinsip utama yang harus dijunjungtinggi.

 

"Jadi, moderasi beragama adalah kunci untuk menciptakan harmoni dan keseimbangan dalam masyarakat yang majemuk. Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip moderasi ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih toleran, adil, dan damai. Moderasi beragama tidak hanya penting untuk menjaga kerukunan antar umat beragama, tetapi juga untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks,” pungkasnya. (Firman/bas/sri))

   

 

 

Penulis: Firman Nugraha
Sumber: BDK Bandung
Editor: Abas dan Sri Hendriani
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI