Pemetaan Persoalan Sertifikasi Tanah Wakaf
Jakarta (21 Agustus 2018). Hasil penelitian Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat tentang Pemetaan Persoalan Sertifikasi Tanah Wakaf (2017) menemukan faktor-faktor yang menghambat implementasi kebijakan sertifikasi tanah wakaf dan pemberdayaan wakaf. Pertama, terdapat perbedaan data tanah wakaf yang diterbitkan tiga lembaga yaitu Data Siwak Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, Penyelenggara Syariah Kankemenag Kabupaten, dan KUA. Ini akibat lemahnya koordinasi antar-lembaga sehingga data tidak sinkron.
Kedua, kurangnya peran KUA dalam melakukan pemutakhiran data tanah wakaf. KUA lebih fokus menjalankan tugas pencatatan nikah dan rujuk (N/R). Ketiga, minimnya SDM di Kankemenag Kabupaten dan KUA yang mampu mengoperasikan perangkat softwarekomputer dengan baik, karena belum adanya rekrutmen staf dan peningkatan kapasitas.
Keempat, masyarakat yang berwakaf umumnya diperuntukkan bagi tempat ibadah, pendidikan, dan makam (kuburan), sementara wakaf tanah produktif masih sangat minim. Kelima, lemahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan perwakafan, karena mereka menganggap birokrasinya sulit. Keenam, sebagian besar nazhir perorangan tidak memahami persyaratan-persyaratan administrasi dalam mengajukan sertifikasi tanah wakaf, sehingga pemberkasan terhambat pada Kantor ATR/BPN, dan sertifikat tidak terbit.
Ketujuh, minimnya anggaran yang dialokasikan untuk perwakafan di sebagian Kementerian Agama Kabupaten. Hal ini berdampak pada lambatnya proses sertifikasi tanah wakaf. Kedelapan, banyak bundel dokumen Akta Ikrar Wakaf, salinan Sertifikat Wakaf, dan dokumen penting lainnya tersimpan di tempat yang kurang aman, karena sarana penyimpanan dokumen kurang memadai dan tidak terstandarisasi.
Selain, menemukan faktor penghambat, penelitian ini juga menemukan faktor pendorong keberhasilan kebijakan sertifikasi tanah wakaf. Pertama, tingginya antusiasme masyarakat dalam berwakaf. Mereka meyakini bahwa berwakaf adalah sebuah ibadah yang diperintahkan agama dan wakifnya akan mendapatkan pahala yang besar di akhirat. Kedua, kesadaran berwakaf masyarakat muncul dan terpelihara, karena kuatnya peranan tokoh agama dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai pentingnya berwakaf, meskipun penerangan tersebut belum disertai penguatan pada aspek pentingnya administrasi perwakafan.
Ketiga, adanya peran kepala desa/lurah, camat, pihak KUA, dan Kankemenag dalam hal bimbingan dan membantu secara teknis, sehingga memperlancar proses pengajuan sertifikat tanah.Keempat, adanya program yang mendorong sertifikasi tanah wakaf dari Kemenag pada 1993-1994 dan 2009-2013 dengan menyediakan bantuan bagi sertifikasi wakaf, sehingga pada saat itu masyarakat secara masif melakukan sertifikasi tanah wakaf. Kelima,adanya Program Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) oleh ATR/BPN yang menggratiskan biaya sertifikasi tanah masyarakat, termasuk tanah wakaf secara massal di tahun 2017.
Hasil penelitian merekomendasikan. Pertama, untuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai berikut: a) untuk efektifitas dan efisiensi proses pendaftaran sertifikasi, BPN perlu membuat sistem pendaftaran sertifikasi secara online sehingga memudahkan bagi nadzir dalam mengurus sertifikasi, baik dari sisi waktu maupun biaya; b) untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang syarat dan proses sertifikasi wakaf, BPN perlu terus melakukan sosialisasi tentang syarat dan proses sertifikasi wakaf; c) proses sampai terbitnya sertifikat wakaf berbeda-beda di setiap kantor BPN daerah, untuk itu setiap BPN perlu menetapkan dan menjamin kepastian lamanya waktu proses pengurusan sertifikasi tanah wakaf; d) Program Nasional (Prona) atau PTSL yang selama ini dijalankan BPN masih terbatas, program itu perlu ditingkatkan khususnya ke daerah-daerah yang banyak memiliki tanah wakaf yang masih belum bersertifikat; e) untuk memudahkan sinkronisasi data tanah wakaf, BPN perlu memberikan laporan berkala tentang jumlah sertifikat wakaf yang sudah dikeluarkan ke Kankemenag dan KUA, disertai dengan copy sertifikat tanah wakafnya.
Kedua, untuk Kementerian Agama Pusat sebagai berikut: a) hingga saat ini masih terdapat daerah yang belum memiliki BWI (contoh Kabupaten Serang), untuk itu pemerintah melalui Kemenag perlu mendorong terbentuknya BWI bagi daerah-daerah yang BWI-nya belum terbentuk; b) Kemenag perlu meningkatkan sosialisasi tentang pentingnya sertifikasi tanah wakaf, sehingga masyarakat lebih memahami pentingnya sertifikasi wakaf; c) Kemenag Pusat perlu mengalokasikan anggaran pada DIPA Kankemenag bagi biaya sertifikasi tanah wakaf dan pendataan tanah wakaf; d) Kemenag Pusat agar mengalokasikan anggaran bagi sarana penyimpanan dokumen. Saat ini di tujuh lokasi penelitian, hampir seluruh KUA tidak memiliki sarana penyimpanan dokumen yang memadai; e) Kemenag Pusat perlu menetapkan buku registrasi sertifikasi wakaf yang standar. Selama ini model registrasi berbeda-beda di setiap daerah.
Ketiga, untuk Pemerintah Daerah sebagai berikut: a) Pemda perlu memberikan bantuan hibah untuk biaya sertifikasi tanah wakaf. Bantuan tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang akan mengajukan sertifikasi; b) Pemerintah Daerah bersama Kankemenag melakukan pembinaan kepada nadzir untuk memaksimalkan pemanfaatan tanah wakaf, sehingga bisa lebih kontributif bagi pembangunan daerah.
Keempat, untuk Kantor Kementerian Agama Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai berikut: a) perlunya sosialisasi/diklat dan pembinaan secara berkala kepada para nadzir tentang pentingnya pemeliharaan dan pemanfaatan wakaf secara produkif. Saat ini, umumnya pengelolaan tanah wakaf belum sesuai harapan; b) Kankemenag perlu memfasilitasi terbentuknya asosiasi nadzir yang dapat berperan sebagai media komunikasi, penyebaran informasi, dan jaringan kerja guna mendorong efektifitas wakaf; c) sosialisasi juga perlu dilakukan kepada masyarakat tentang pentingnya wakaf produktif, karena pemahaman masyarakat tentang wakaf produktif masih sangat minim, bahkan masyarakat menolak wakaf produktif; d) KUA agar proaktif dalam pendataan tanah wakaf yang belum ber-AIW atau belum bersertifikat. Dalam pelaksanaannya dapat melibatkan penyuluh agama; e) bagi tanah wakaf yang belum ber-AIW sementara wakif dan saksinya telah meninggal, KUA perlu proaktif melakukan sosialisasi ke Pemerintahan Desa agar tanah wakaf tersebut didaftarkan sesuai pasal 35 PP 42/2005; f) Kankemenag perlu melakukan pelatihan ataupun diklat bagi PPAIW ataupun fungsional pengelola wakaf. Sebab, masih ditemukan kepala KUA yang belum memahami kebijakan tentang wakaf.
Kelima, sinergi Kemenag, BPN, dan Pemda sebagai berikut: a) perlunya sinkronisasi data sertifikasi wakaf agar valid dan aktual antara Direktorat Wakaf Kemenag, Penyelenggara Syariah Kankemang Kab/ Kota, BPN daerah, dan KUA; b) BPN perlu membantu Kemenag untuk melakukan pemutakhiran kembali data SIWAK, karena data tanah wakaf yang ada dalam SIWAK saat ini tidak sesuai dengan data riil di lapangan; c) perlu kerjasama yang lebih intensif antara Kankemenag Provinsi, Kankemenag Kab/Kota dengan Pemerintah Daerah dan BPN di masing-masing tingkatan, dalam pendataan kembali tanah wakaf dan mendorong masyarakat melakukan sertifikasi tanah wakaf, serta pemanfaatan secara maksimal tanah wakaf; d) perlu kesepahaman dan sinergitas antara Kemenag, BPN, dan Pemda dalam mendorong masyarakat melakukan sertifikasi tanah wakaf dan pemanfaatan tanah wakaf secara lebih maksimal.
Penelitian dilakukan di tujuh kabupaten dari tujuh provinsi yaitu: (1) Kabupaten Serang Provinsi Banten, (2) Kota Tangerang Provinsi Banten, (3) Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat, (4) Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah, (5) Kabupaten Ponorogo Provinsi Jawa Timur, (6) Kabupaten Kampar Provinsi Riau, dan (7) Kabupaten Bireun Provinsi Aceh. (bas/ar)
Sumber foto: https://abufawaz.files.wordpress.com