Perlu Sosialisasi Undang-undang PNPS Lebih Massif untuk Meminimalisir Konflik Keagamaan

23 Sep 2014
Perlu Sosialisasi Undang-undang PNPS Lebih Massif untuk Meminimalisir Konflik Keagamaan

Selasa (23 September 2014). “Kami merekomendasikan agar sosialisasi Undang-undang PNPS No. 1 Tahun 1965 dilakukan secara massif untuk menghindari konflik keagamaan”, demikian disampaikan oleh Nuhrison M. Nuh.

Hal ini disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian Eksistensi Agama Bahai’i, Tao, dan Sikh di Indonesia.Kegiatan seminar diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada hari Senin (22 September 2014) di Hotel Millenium, Jakarta.

 

Acara ini dihadiri oleh perwakilan lembaga/kementerian yang berhubungan langsung dengan pelayanan keagamaan dan kewarganegaraan. Hadir perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Agama.

Kegiatan dibuka oleh Pgs. Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan, Abdurrahman Mas’oed. Dalam kesempatan ini, Kapuslitbang berharap hasil penelitian tentang eksistensi tiga agama minoritas di Indonesia dapat dijadikan landasan dalam pengambilan kebijakan di bidang kehiduan keagamaan.

Selain dihadiri oleh perwakilan kementerian terkait, kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan masing-masing pemeluk agama. Beberapa perwakilan dari Ormas Keagamaan dan Lembaga Sosial Kemasyarakatan (LSM) juga hadir sebagai peserta.

Kegiatan diawali dengan pemaparan makalah hasil penelitian Eksistensi Komunitas Agama Baha’i, Tao, dan Sikh di Indonesia. Pemaparan eksistensi Agama Baha’i disampaikan oleh Nuhrison M. Nuh, Peneliti Utama Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Dalam paparannya, Nuhrison menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian, Baha’i merupakan komunitas agama yang berbeda dengan agama-agama lainnya. Beliau menyebutkan bahwa Agama Baha’i bukanlah sempalan dari Agama Islam. Agama Baha’i memiliki seperangkat pemahaman dan keyakinan yang berbeda dan tidak ada hubungannya dengan Islam. Oleh karena itu menurutnya, penganut Baha’i tidak tepat jika dianggap sebagai aliran sesat yang menyimpang dari Agama Islam.

Temuan penelitian lainnya adalah secara sosiologis, hubungan antara penganut Agama Baha’i dengan masyarakat pada umumnya berjalan secara harmonis. Namun demikian, sempat terjadi beberapa kasus di masyarakat yang mempermasalahkan eksistensi Agama Baha’i. Tetapi setelah ditelusuri, ternyata pihak yang mempermasalahkan eksistensi mereka bukan berasal dari masyarakat sekitar. Penolakan justru diinisiasi oleh salah satu ormas keagamaan yang berasal dari luar lingkungan masyarakat setempat.

Permasalahan yang dialami oleh penganut Agama Baha’i justru berasal dari perlakuan aparatur negara yang dinilai diskriminatif. Dalam beberapa aturan administrasi, penganut Baha’i dipaksa untuk tidak mendapatkan perlakuan semestinya karena status agama yang dianutnya sebagai “agama diluar dari enam agama yang diakui oleh Pemerintah”. Dalam pelayanan kependudukan (seperti pembuatan KTP, Akta Kelahiran, dan dokumen administrasi lainnya), penganut Agama Baha’i tidak dapat mencantumkan agama yang dianutnya. Sementara dalam pelayanan pendidikan, penganut Agama Baha’i juga tidak mendapatkan layanan pengajaran agama sesuai yang dianutnya sebagaimana amanah UU Sisdiknas.

Selanjutnya Nuhrison menyampaikan dua rekomendasi, yaitu pertama perlu adanya sosialisasi Undang-undang PNPS No. 1 tahun 1965. Hal ini karena disinyalir timbulnya berbagai permasalahan yang disebabkan eksistensi pemeluk Agama Baha’i dikarenakan adanya kekeliruan dalam memahami isi dari UU PNPS.

Rekomendasi yang kedua adalah perlu adanya penyesuaian regulasi di bidang kependudukan dan pelayanan keagamaan. Penyesuaian regulasi ini dimaksudkan agar para penganut Agama Baha’i dan agama yang “belum diakui” dapat terlayani hak-hak sipilnya.

Paparan kedua disampaikan oleh Saiful Ali. Ia memaparkan hasil penelitian Eksistensi Agama Tao di Indonesia. Saiful menyampaikan bahwa berdasarkan hasil penelitian, Agama Tao sesungguhnya merupakan agama yang independen dan tidak ada kaitannya dengan agama lainnya.

Ajaran-ajaran agama yang dianut oleh Agama Tao berbeda dengan ajaran agama yang terkandung dalam agama Buddha. Namun demikian, ternyata pada faktanya, pemeluk Agama Tao harus menginduk pada organisasi Tri Dharma yang ada pada Agama Buddha. Permasalahan inilah yang menurut Saiful sebagai masalah utama eksistensi pemeluk Agama Tao.

Saiful melanjutkan bahwa berdasarkan wawancara dengan pemeluk Agama Tao, mereka berharap dapat diakui sebagai agama tersendiri yang terbebas dari agama lainnya. Mereka berharap Agama Tao, secara struktur dapat lepas dari Tri Dharma sebagai organisasi induk, dan menjadi agama dengan struktur organisasi yang independen. Bahkan mereka berharap Kementerian Agama dapat membentuk unit organisasi setingkat eselon I sebagaimana yang terjadi pada pembentukan Ditjen Agama Konghuchu.

Paparan ketiga disampaikan oleh Wakhid Sugiarto. Pada kesempatan ini, ia menyampaikan temuan hasil penelitian terhadap eksistensi Agama Sikh di Indonesia. Tidak berbeda dengan temuan penelitian yang dipaparkan sebelumnya, eksistensi pemeluk Agama Sikh dilihat dari aspek sosial kemasyarakatan secara umum tidak menghadirkan permasalahan di masyarakat.

Permasalahan justru hadir ketika para penganut Agama Sikh menganggap absennya Pemerintah dalam melayani hak-hak sipil dan keagamaan mereka. Tidak berbeda dengan perlakuan terhadap pemeluk agama Baha’i dan Tao, pemeluk Agama Sikh juga mengalami kesulitan ketika harus melakukan pengurusan administratif kependudukan. Hal ini karena Agama Sikh tidak termasuk dalam “enam agama yang diakui oleh Pemerintah”. Jika penganut Agama Tao harus “menginduk pada Agama Buddha, maka pemeluk Agama Sikh menginduk pada Agama Hindu. Dan faktanya, status “menginduk” ternyata menimbulkan beberapa permasalahan keagamaan, sosial keagamaan, maupun permasalahan administratif kependudukan..

Selanjutnya berdasarkan temuan penelitian, Wakhid merekomendasikan perlunya eksistensi pemeluk Agama Sikh diakui oleh pemerintah. pengakuan tersebut harus dibuktikan dengan adanya pelayanan administratif bagi pemeluk Agama Sikh sebagaimana pemeluk “enam agama yang diakui oleh Pemerintah”. meskipun demikian ia menyadari bahwa pelayanan terhadap umat agama tertentu yang jumlah pemeluknya relatif kecil akan menimbulkan permasalahan-permasalahan administratif, sosiologis, maupun permasalahan hukum yang problematis.

Selain pemaparan hasil penelitian, kegiatan ini juga diisi dengan tanggapan dari narasumber. Bertindak sebagai narasumber pada kegiatan ini adalah Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (dalam hal ini diwakili oleh Direktur Pendaftaran Penduduk, Dwi Setyantono; Direktur Catatan Sipil, Amin Pulungan; dan Direktur Penyerasian Kebijakan dan Perencanaan Kependudukan, Joko Mursito). Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Kementerian Agama (dalam hal ini diwakili oleh Kabid Pembinaan Agama, Wawan Djunaedi) juga hadir sebagai narasumber.

Selanjutnya bagaimana tanggapan para narasumber, dapat dibaca disini (Negara Tetap Berikan Layanan Administrasi bagi Seluruh Pemeluk Agama)[] AGS

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI