Pernikahan Dini di Kalangan Gen Z: Solusi dan Tantangan Menurut Para Ahli

21 Jan 2025
Pernikahan Dini di Kalangan Gen Z: Solusi dan Tantangan Menurut Para Ahli
Webcast Spesial bertajuk "Pernikahan Dini di Kalangan Gen Z: Problematika dan Solusinya" yang diselenggarakan Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan di Ciputat, Selasa (21/1/2025).

Ciputat (Balitbang Diklat)---Dalam rangka Hari Amal Bhakti (HAB) ke-79 Kementerian Agama Republik Indonesia, Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Kembali menggelar Webcast Spesial bertajuk "Pernikahan Dini di Kalangan Gen Z: Problematika dan Solusinya.”

 

Acara yang diselenggarakan secara hybrid ini diikuti 5.969 peserta melalui platform YouTube dan Instagram Pusdiklat Teknis, dengan lokasi siaran di studio Smartclass Pusdiklat Teknis. Webcast menghadirkan narasumber kompeten, yakni Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Yunita Faela Nisa, widyaiswara Kementerian Agama Siti Mukzizatin, dan Abdul Jalil, serta dipandu oleh Solahudin Siregar.  

 

Kepala Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Mastuki membuka diskusi dengan menyoroti permasalahan sosial pernikahan dini yang marak terjadi di kalangan generasi Z yang melek teknologi. Ia menjelaskan bahwa UU No. 16 Tahun 2019 memungkinkan dispensasi pernikahan dengan alasan tertentu, seperti situasi mendesak akibat kehamilan, tekanan norma sosial dan agama, dan minimnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi.  

 

Dalam konteks agama Islam, Mastuki menegaskan bahwa pernikahan dini tidak secara eksplisit dilarang, tetapi kesiapan mempelai menjadi faktor utama yang harus dipertimbangkan. “Pernikahan bertujuan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (SAMARA),” ujarnya di Ciputat, Selasa (21/1/2025).

 

Mastuki mencatat bahwa Indonesia menempati peringkat keempat global dalam kasus pernikahan anak, meski angka tersebut sudah menurun ke 8,60% pada 2022, mendekati target pemerintah sebesar 8,74%. Faktor utama pernikahan dini meliputi norma agama, sosial, budaya, minimnya edukasi, tekanan ekonomi keluarga, serta keinginan menghindari kehamilan di luar nikah.

 

Narasumber berikutnya, Siti Mukzizatin menjelaskan pentingnya perpindahan generasi yang smooth untuk meminimalkan pernikahan dini, yang nantinya akan memengaruhi pola asuh. Ia membandingkan generasi X yang tumbuh mandiri di era analog dengan generasi Y yang lebih adaptif terhadap teknologi digital. 

 

Dalam perspektif budaya, pernikahan dini berdampak kompleks, seperti putus sekolah, risiko kesehatan, kemiskinan, kekerasan rumah tangga, hingga gangguan kesehatan mental. “Pernikahan dini juga membawa penyesalan akibat hilangnya kebebasan dan kesempatan, yang menggambarkan seriusnya masalah ini,” tuturnya.

 

Sementara itu, Abdul Jalil menyoroti bahwa pernikahan di Indonesia telah diatur melalui regulasi, termasuk terkait pernikahan dini. Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2019 Pasal 7 Ayat 1, usia minimal menikah untuk laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Namun, angka pernikahan dini masih tinggi, dengan data tahun 2023 menunjukkan 25,53 juta perempuan menikah di bawah usia tersebut. 

 

“SUSENAS mencatat persentase pernikahan anak di Indonesia cukup signifikan, mengindikasikan tantangan besar dalam mengatasi isu ini,” ucapnya.

 

Dalam perspektif agama, Abdul Jalil menegaskan bahwa agama tidak secara tegas membatasi pernikahan dini, namun ulama sepakat bahwa pernikahan sebaiknya dilakukan pada usia dewasa dengan tujuan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ia menekankan pentingnya pemahaman akan tujuan pernikahan serta implikasi yang perlu diperhatikan jika pernikahan dini tetap terjadi.

 

Selanjutnya, narasumber Yunita Faela Nisa menjelaskan bahwa tujuan pernikahan adalah mencapai kebahagiaan yang kekal, namun kesiapan mental menjadi salah satu syarat penting yang harus dipenuhi, selain usia. 

 

Mengutip penelitian Arnold, Yunita menyebutkan kematangan otak seseorang terjadi pada usia 25 tahun. Dalam konteks psikologis, perempuan perlu memiliki kekuatan mental lebih karena kepuasan pernikahan mereka cenderung menurun, sedangkan pada laki-laki, kepuasan sering dikaitkan dengan pekerjaan atau karier. 

 

“Kematangan emosional, kemampuan komunikasi, serta penyelesaian konflik menjadi aspek yang sangat krusial dalam membangun rumah tangga,” terang Yunita.

 

Yunita juga menambahkan bahwa faktor ekonomi dan persetujuan keluarga juga turut memengaruhi terjadinya pernikahan dini. Ia menekankan bahwa kesiapan psikologis merupakan kunci utama dalam menghadapi berbagai tantangan dalam hubungan rumah tangga, karena tanpa itu, pasangan akan kesulitan menangani permasalahan yang muncul dalam kehidupan pernikahan.

 

Mengatasi pernikahan dini memerlukan kolaborasi antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Pemerintah, termasuk meningkatkan usia minimal menikah. Selain itu, juga pendidikan seks yang komprehensif serta dukungan dari semua pihak. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat bersama-sama mencegah pernikahan dini dan membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi muda.

 

 

Halimah Dwi Putri

   

 

 

Penulis: Halimah Dwi Putri
Sumber: Pusdiklat Teknis
Editor: Barjah dan Abas
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI