Peta Penyiaran Keagamaan Islam Berbasis Masjid di Indonesia

4 Sep 2018
Peta Penyiaran Keagamaan Islam Berbasis Masjid di Indonesia

Jakarta (4 September 2018). Hasil penelitian Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tentang Peta Penyiaran Keagamaan Islam Berbasis Masjid di Indonesia (2017) menunjukkan: Pertama, takmir masjid (DKM), imam masjid, dan penceramah atau khatib Jum’at yang mengisi kegiatan penyiaran keagamaan di masjid-masjid yang diteliti dominan berhaluan “moderat”. Hanya sebagian kecil saja di antaranya yang berhaluan “puritan” --untuk mengategorikan kalangan yang tekstualis, intoleran, dan tidak siap dengan perbedaan, lawan dari “moderat”-- seperti di Masjid Kampus Unsyiyah Banda Aceh, Masjid Nurullah Jakarta, Masjid Al-Fajr Bandung, Masjid Ukhuwwah Denpasar, dan Masjid Laskar Ambon.

Kedua, penyiaran keagamaan secara umum tergantung pada takmir masjidnya, terutama Khutbah Jum’at yang bersifat wajib dan mingguan. Tema ditentukan oleh takmir masjid, begitu juga penentuan penceramah atau khatib Jum’at. Para penceramah atau khatib biasanya direkrut dari orang-orang yang kompeten di sekitar masjid itu berada, yang secara keilmuan diakui dan dianggap memiliki cukup pengalaman dalam berdakwah, pengetahuan agamanya luas dan berlatarbelakang pendidikan agama.

Ketiga, sebagian aktivitas penyiaran keagamaan di beberapa masjid diinisiasi oleh jamaah dan disetujui takmir masjid. Beberapa pengajian berasal dari luar dengan menggunakan masjid sebagai pusat aktifitas, misalnya Masjid Raya Baiturahman di Aceh dengan Majelir Zikir Bulanan, Masjid Raya Al Fattah di Ambon, begitu juga Masjid Raya Bandung dengan Majelis Zikir Al-Farros Mingguan dan Masjid Raya Nurus Sa’adah Kota Kupang.

Keempat, materi penyiaran keagamaan di beberapa masjid secara umum menekankan amar ma’ruf nahi munkar, mementingkan kemaslahatan, menghindari ketegangan/konflik, baik karena perbedaan mazhab maupun berkaitan hubungan dengan pemerintah atau masyarakat secara umum. Hanya saja, sebagian kecil di antaranya masih ada yang menawarkan materi penyiaran keagamaan yang cenderung puritan. Masjid Nurullah Jakarta, Masjid Laskar Ambon, dan Masjid Ukhuwwah Denpasar yang bermanhaj Salafi seringkali menyinggung masalah bid’ah di masyarakat. Beberapa masjid tersebut  tidak menerima penceramah dari luar yang berbeda pemahaman dengan kelompoknya, sangat menentang mazhab Syiah, dan aliran lain yang dianggap sesat masuk dalam materi khutbah Jum’at; juga penyiaran keagamaan lainnya.

Kelima, sebagian masjid memiliki sistem seleksi dan pengawasan terhadap khatib atau penceramah yang mengisi kegiatan penyiaran keagamaannya. Di Masjid Al-Fajr Bandung, Masjid Jogokaryan Yogyakarta, dan Masjid Baitul Makmur, kalau ada penceramah yang menyampaikan isi ceramahnya menyimpang dari peraturan yang sudah ditentukan, maka penceramah tersebut tidak akan dipakai lagi.

Keenam, respon jamaah terhadap materi penyiaran keagamaan di beberapa masjid secara umum positif. Penilaian positif jamaah tersebut didasarkan pada pertimbangan selama materi penyiaran keagamaan masih relevan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Selain itu, respon positif juga muncul karena format penyiaran keagamaan yang dibuat menarik dialogis dalam bentuk tanya-jawab, seperti di Masjid Nurullah Jakarta dan Masjid Baitul Makmur Denpasar. Sikap kritis jamaah belum cukup kuat di sebagian besar masjid yang diteliti. Ini setidaknya disebabkan faktor keterbatasan pengetahuan jamaah tentang regulasi penyiaran keagamaan, seperti Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 serta Surat Edaran Kapolri No. 6/X/2015 tentang Ujaran Kebencian, sehingga jamaah masih banyak yang menerima saja apa yang disampaikan oleh para penceramah. Namun demikian, di beberapa masjid sikap kritis muncul dari jamaah dalam merespon penyiaran keagamaan yang disampaikan oleh para penceramah, seperti di Masjid Jogokaryan Yogyakarta dan Masjid Salahuddin UGM Yogyakarta.

Hasil penelitian merekomendasikan: Pertama, perlu peningkatan kompetensi khatib dan penceramah yang terukur dan berjenjang, mulai dari tingkat dasar, menengah, dan ahli, terutama di masjid-masjid pemerintah, BUMN, dan masjid yang terletak di kota besar. 

Kedua, perlu menghadirkan role model khutbah melalui pemberianreward yang menginspirasi dakwah Islam washatiyah.

Ketiga, perlu memaksimalkan sosialisasi yang lebih efektif terkait regulasi tentang penyiaran keagamaan dan ujaran kebencian kepada masyarakat, agar mereka lebih cerdas dalam merespon materi penyiaran keagamaan.

Keempat, perlu disusun Pedoman Dakwah Islam Washatiyah yang berkarakter Indonesia, agar tercipta penyiaran keagamaan dan masyarakat Islam yang cenderung moderat.          

Penelitian dilakukan di delapan provinsi, yaitu: Provinsi Aceh (Banda Aceh), DKI Jakarta, Jawa Barat (Bandung), DI Yogyakarta (Yogyakarta), Bali (Denpasar), Nusa Tenggara Barat (Lombok), Nusa Tenggara Timur (Kupang), dan Maluku (Ambon). (bas/ar)

 

Sumber foto: https://www.google.com

 

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI