Prof. Inung: Isra Mikraj Mengajarkan Kedekatan dengan Allah SWT di Tengah Kesedihan

20 Feb 2025
Prof. Inung: Isra Mikraj Mengajarkan Kedekatan dengan Allah SWT di Tengah Kesedihan
Sekretaris Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Prof. Ahmad Zainul Hamdi mengisi ceramah pada peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW 27 Rajab 1446H di Masjid Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (20/2/2025).

Jakarta (BMBPSDM)---Sekretaris Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Prof. Ahmad Zainul Hamdi, yang akrab disapa Prof. Inung, mengisi ceramah pada peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW 27 Rajab 1446H di Masjid Mapolda Metro Jaya, Jakarta. Dalam ceramahnya, ia menyoroti tiga aspek penting dari peristiwa Isra Mikraj, yaitu perjalanan itu sendiri, oleh-oleh dari perjalanan tersebut, dan hikmah bagi umat Islam.

 

“Perjalanan Isra Mikraj terjadi dalam suasana duka yang sangat mendalam bagi Rasulullah SAW, dikenal sebagai 'Aamul Huzn' atau tahun kesedihan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (20/2/2025).

 

Menurut Prof. Inung, pada tahun tersebut Rasulullah SAW kehilangan dua sosok penting dalam hidupnya, yaitu pamannya, Abu Thalib, dan istrinya, Khadijah. Sejak kecil, Rasulullah telah mengalami banyak kehilangan. Ia terlahir sebagai yatim dan diasuh oleh kakek serta pamannya. Saat mulai mensyiarkan Islam, hampir tidak ada pendukung di Makkah, kecuali ancaman yang mengintai, termasuk ancaman nyawa.

 

“Namun, Abu Thalib tetap melindungi Rasulullah SAW dengan sepenuh hati, meski hingga akhir hayatnya tidak mengucapkan syahadat,” tuturnya.

 

Sementara itu, Khadijah digambarkan sebagai seorang pengusaha sukses yang rela mengorbankan segalanya untuk mendampingi Rasulullah. “Beliau yang justru melamar Rasulullah SAW, dan sepanjang hidupnya, ia selalu menjadi pendukung setia dalam dakwah Islam,” tambahnya.

 

Dalam menghadapi kesedihan mendalam ini, Rasulullah SAW tidak mencari pelarian duniawi, melainkan semakin mendekat kepada Allah. “Saat seseorang berduka, sering kali doa dan sholatnya menjadi lebih khusyuk. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW,” ungkapnya.

 

Mengenai perjalanan Isra Mikraj, Prof. Inung menyampaikan bahwa ada perbedaan pendapat mengenai apakah perjalanan ini bersifat fisik atau rohani. “Yang perlu dipahami, pada masa Rasulullah SAW, Masjidil Aqsa belum berbentuk bangunan seperti sekarang. Baru pada masa Khalifah Umar bin Khattab masjid tersebut dibangun,” jelasnya.

 

Ia juga membahas aspek ilmiah tentang langit ke tujuh. “Hingga kini, tidak ada kecepatan yang lebih cepat dari cahaya, yaitu 300.000 km/detik. Untuk mencapai bintang terdekat setelah matahari, Proxima Centauri, dengan kecepatan cahaya pun memerlukan waktu 4,5 tahun. Alam semesta ini begitu luas, dan para ilmuwan belum bisa menentukan apakah ia memiliki batas atau tidak,” ujarnya.

 

Dalam konteks ini, Prof. Inung menekankan bahwa perjalanan Isra Mikraj adalah bentuk kedekatan seorang hamba dengan Allah hingga mencapai Sidratul Muntaha. “Sidrat berarti pohon bidara atau lotus yang melambangkan kebajikan, sementara Al-Muntaha adalah batas tertinggi yang tidak dapat dilampaui oleh siapa pun, termasuk malaikat Jibril,” paparnya.

 

Sebagai hikmah dari Isra Mikraj, ia menegaskan bahwa setiap manusia pasti mengalami kesedihan dalam hidup, tetapi jangan mencari pelarian yang keliru. “Jika berada dalam kesedihan, mendekatlah kepada Allah, karena saat itulah ibadah kita paling khusyuk,” pesannya.

 

Oleh-oleh utama dari Isra Mikraj adalah salat, yang merupakan tiang agama dan perjalanan spiritual. “Dalam salat, seseorang meninggalkan urusan duniawi dan sepenuhnya mendekat kepada Allah,” jelasnya. Ia juga mengingatkan bahwa sholat harus selalu beriringan dengan zakat. “Jika seseorang hanya salat tetapi tidak peduli dengan sesama, maka ada yang salah dalam pemahamannya terhadap agama,” tegasnya.

 

Lebih lanjut, ia mengkritisi kerakusan manusia yang tiada batas. “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak cukup untuk kerakusannya. Oleh karena itu, hikmah Isra Mikraj mengajarkan kita untuk memahami batas kebutuhan dan tidak terjebak dalam kerakusan,” ungkapnya.

 

Prof. Inung menutup ceramahnya dengan harapan bahwa peringatan Isra Mikraj bukan sekadar seremonial, tetapi benar-benar menjadi momentum untuk mengambil hikmah dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. “Semangat profesionalisme dan integritas, termasuk dalam tugas sebagai aparat atau pegawai, akan lebih mudah terwujud jika kita memahami hikmah Isra Mikraj,” pungkasnya.

 

(Barjah)

Penulis: Barjah
Sumber: Kusmanto
Editor: Dewi Indah Ayu D.
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI