Relasi Agama dan Negara: Perspektif Tafsir Moderat

24 Okt 2021
Relasi Agama dan Negara: Perspektif Tafsir Moderat

Oleh: Abdul Jalil

Widyaiswara Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan

Jakarta (24 Oktober 2021). Implikasi beragama melahirkan klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim).  Sumber kedua klaim tersebut berasal dari teks Kitab Suci yang dipahami penganut agama sebagai kebenaran absolut. Pemahaman tekstual terhadap ayat-ayat di kitab suci seperti al-Qurán membuka jalan eksklusivisme. Sikap keberagamaan yang eksklusif, yang hanya mengakui kebenaran dan keselamatan secara sepihak, dapat menimbulkan gesekan antar kelompok agama.

Pemahaman sebagian umat muslim tentang relasi agama dan negara seringkali dibenturkan dengan Konstitusi dan seperangkat regulasi. QS al-Maidah ayat 51 dijadikan legitimasi bahwa non muslim tidak dapat dijadikan pemimpin di negeri ini, padahal UUD 1945 sebagai Konstistusi negara menjamin warganya untuk menjadi kepala pemerintahan tanpa dibatasi agama tertentu. Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 menyatakan: “Calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.

Penafsiran  kontekstual atas al-Qur’an perlu dikembangkan, sehingga tidak terjadi distorsi dalam memahami maksud ayat suci.  Dr. Sahiron, salah seorang narasumber ToT Penguatan Moderasi Beragama di Yogyakarta menawarkan metode “Ma’na cum Maghza Approach” penafsiran al-Qurán, dengan mengkombinasikan antara ‘Ulum al-Qurán dan perangkat ilmu kontemporer.

Pendekatan Ma’na cum Maghza

Pendekatan ma’na cum maghza adalah metode penafsiran al-Qur’an di mana seseorang berusaha menangkap makna historis (al-ma’na al-tarikhiy), dan berusaha menggali signifikansi pesan utama historisnya (al-maghza al-tarikhiy), kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut untuk situasi kekinian (waktu dan atau tempat).  Signifikansi dinamis kekinian ini disebut dengan al-maghzā al-mutaḥarrik al-mu‘āṣir.

Secara tekstual, QS al-Maidah ayat 51 berisi tentang larangan orang-orang beriman mengangkat non muslim (Yahudi-Nasrani) menjadi “auliya”. Dalam pemahaman ayat ini diperlukan analisis historis (asbab al-nuzul) dan kontekstualisasi makna “auliya”. Dari beberapa riwayat dapat disimpulkan bahwa ayat ini turun pada saat konflik umat Islam dengan non muslim sedang memanas (perang Uhud). Dalam situasi konflik, berpihak pada kelompok musuh dianggap sebagai sebuah pengkhianatan dan merusak ukhuah Islamiyah. Ketika ada orang Islam yang meminta perlindungan, atau berkoalisi dengan orang Yahudi dan Nasrani, ayat ini diturunkan sebagai larangan.

Kata “auliya” dalam QS al-Maidah ayat 51 diartikan oleh Ibn Katsir sebagai “pertemanan”, yakni bersekutu dan beraliansi dengan meninggalkan orang Islam, bukan dalam makna larangan berteman sehari-hari. Konteks QS al-Maidah ayat 51 itu saat umat muslim kalah dalam perang Uhud. Ada yang tergoda untuk menyeberang dengan bersekutu pada pihak Yahudi dan Nasrani. Itu yang dilarang. Dari sini dapat dipahami, bahwa larangan menjadikan non muslim sebagai sekutu atau pemimpin bukan atas dasar agama, tetapi karena sebab terjadi pengkhianatan.

Kaidah ushul fiqh menyebutkan: “al-‘ibrah bi khushush al-sabab la bi ‘umum al-lafazh” (pemahaman ayat itu didasarkan pada kekhususan sebab, bukan keumuman lafazh). Jadi kasus yang terjadi di zaman Nabi saw dalam konteks turunnya QS al-Maidah ayat 51 tidak dapat digeneralisasi dengan konteks sekarang, termasuk di Indonesia. Berdasarkan itu, Konstitusi dan regulasi tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sebab memiliki spirit yang sama. Misalnya, hukum potong tangan untuk pencuri, jika dilihat dari konteks sejarah, berkaitan dengan kondisi saat itu yang memberlakukan hukum penggal (hamurabi) di kerajaan-kerajaan Arab, dan di Persia diberlakukan hukum bakar. Ini dianggap tidak manusiawi dan terlalu kejam. Karenanya, hukum potong tangan saat itu dianggap paling ringan.

Bagaimana dengan hukum penjara untuk pencuri di Indonesia? apakah bertentangan dengan al-Qur’an yang menetapkan hukum potong tangan? Spirit dari hukum potong tangan dan penjara untuk pencuri adalah menegakkan keadilan dan memberikan efek jera. Dalam pendekatan hermeneutik, hukum penjara di Indonesia untuk para pencuri adalah relevan dengan penegasan ayat al-Qur’an: “al-Sariqu wa al-sariqatu faqtha’u aidiyahuma”.

Penulis: Abdul Jalil
Editor: Abas
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI