Riset Polemik Biaya Perkawinan yang Berkontribusi terhadap Kebijakan

28 Apr 2015
Riset Polemik Biaya Perkawinan yang Berkontribusi terhadap Kebijakan

Jakarta (28 April 2015). Selama ini, ada sebagian masyarakat yang menjadikan Kementerian Agama sebagai lembaga terkorup di negeri ini. Penilaian tersebut sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Namun demikian, dalam sedikit hal seolah menemukan relevansi di lapangan.

Sebut saja Kantor Urusan Agama (KUA), satuan kerja terkecil di lingkungan Kementerian Agama tersebut seringkali dijadikan acuan dalam menilai Kementerian Agama secara keseluruhan. Tidak sedikit masyarakat memberikan justifikasi kepada kementerian yang sekarang dipimpin oleh Lukman Hakim Saifuddin tersebut hanya karena “perilaku” KUA.

Di akhir tahun 2012 misalnya, Kementerian Agama mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Justifikasi perilaku koruptif pada kementerian ini menjadi pembicaraan masyarakat maupun media massa. Penilaian negatif ini menguat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melansir Indeks Integritas Nasional (IIN) pada Kementerian Agama yang mendapat penilaian 6,07. Nilai ini berada dibawah standar IIN pada angka 6,37.

Penilaian KPK banyak dipengaruhi pada dua pelayanan yang dilakukan oleh Kementerian Agama. Pelayanan tersebut adalah pelayanan haji dan pelayanan nikah di KUA.

Dalam konteks pelayanan KUA, permasalahan perilaku koruptif tidak sesederhana yang dibayangkan. Memang tidak sedikit “oknum” aparat KUA yang menetapkan biaya pernikahan melebihi biaya yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004, biaya pernikahan ditetapkan sebesar Rp. 30.000,-. Namun demikian, praktek di lapangan ternyata biaya pernikahan bisa jauh berkali lipat dari biaya yang seharusnya. Bahkan di beberapa kota besar, tidak sedikit “oknum“ KUA yang menetapkan biaya dengan nominal jutaan rupiah.

Memang benar, jika dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2009, perilaku “oknum” KUA dapat dikategorikan sebagai perilaku korupsi dan pelanggaran hukum. Tetapi, fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa perilaku “oknum” KUA tidak tanpa alasan. Banyak “oknum” pegawai KUA menetapkan biaya nikah melebihi biaya yang seharusnya dibayarkan. Hal ini karena kebanyakan masyarakat menghendaki pencatatan peristiwa nikah diluar kantor KUA dan diluar jam kerja. Alasan inilah yang menyebabkan “oknum” pegawai KUA berani meminta “tambahan” biaya nikah dikarenakan mereka harus bekerja diluar jam kerja dan diluar kantor.

Fakta ini menjadikan kasus “korupsi” di lingkungan KUA menjadi polemik. Disatu sisi, masyarakat enggan mengadakan upacara pernikahan pada jam kantor dan dilaksnakan di KUA, namun disisi lain, pemerintah belum mengakomodir tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh pegawai KUA jika mereka harus menyaksikan dan mencatatkan peristiwa nikah diluar kantor KUA dan diluar jam kerja.

Oleh karenanya, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2013 melakukan penelitian tentang polemik biaya nikah di KUA. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan indeksi biaya pernikahan yang dinilai wajar jika dilakukan diluar jam kerja dan diluar kantor.

Penelitian yang dipublikasikan dengan judul “Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA)” memberikan kontribusi yang besar bagi lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama.

Lalu, bagaimanakah fakta-fakta polemik pernikahan di KUA yang menjadi temuan penelitian? Bagaimana pula rekomendasi penelitian yang akhirnya menjadi dasar disusunnya PP Nomor 48 Tahun 2014? Silahkan anda baca uraian selengkapnya di sini. Selamat membaca[]

 

ags/viks/ags

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI