Tidak Selalu Kearifan Lokal mampu Mengatasi Masalah!
Jakarta (14 Januari 2015). Puslitbang Kehidupan Keagamaan kembali menggelar Majelis Rabuan Thamrin (MRT). Kegiatan diselenggarakan hari Rabu (14/1), bertempat di Lantai 19 Gedung Kementerian Agama, Jl. M.H. Thamrin No. 6, Jakarta.
Pada acara MRT edisi ke-2, panitia menghadirkan R. Alpha Amirrachman sebagai narasumber. Antropolog pendidikan yang menyelesaikan studi doktoralnya di Universiteit van Amsterdam, Belanda, membawakan makalah berjudul “Education in the Conflict-Affected Mollucas: Local Tradition, Identity Politics and School Principal Leadership” sebagai bahan diskusi.
Makalah tersebut merupakan ringkasan desertasi yang berjudul"Peace Education In The Moluccas, Indonesia; Between Global Models And Local Interests". Dalam makalahnya, Alpha menyoroti peranan tradisi lokal Pella Gandong dalam penanganan pasca konflik yang terjadi di Maluku.
Berangkat dari keingintahuannya, Alpha melakukan studi etnografi dengan mengamati empat sekolah yang memiliki karakteristik berbeda. Sekolah pertama adalah sekolah yang terletak di Desa Ama Ory, Passo. Sekolah ini merupakan sekolah Kristen yang pada masa konflik letaknya di bersebelahan dengan sekolah Islam yang terletak di Desa Benteng Karang, Leihitu. Pasca konflik, sekolah akhirnya dipindahkan ke Desa Ama Ory.
Sekolah kedua, adalah sekolah Islam yang terletak di Desa Telaga Kodok. Sekolah ini terletak di wilayah yang mayoritas dihuni oleh Suku Buton. Sebagian besar siswa dari sekolah ini adalah beragama Islam dan beretnis Buton.
Sekolah ketiga adalah sekolah yang terletak di Kota Ambon. Sekolah ini pada mulanya adalah sekolah umum yang terdiri dari siswa beragama Islam dan Kristen. Pada masa konflik, terjadi segregasi antara siswa muslim dan kristen. Siswa muslim pindah ke sekolah yang mayoritas muslim, sementara itu siswa kristen pindah ke sekolah yang mayoritas seagama.
Sekolah keempat adalah sekolah umum yang juga terletak di Kota Ambon. Berbeda dengan sekolah yang ketiga, para siswa di sekolah yang keempat tetap bersekolah dan melakukan aktivitas belajar mengajar seperti biasa. Tidak ada segregasi antara siswa muslim dan kristen.
Hal yang menarik adalah ketiga sekolah pertama merupakan sekolah yang mendapatkan bantuan dari lembaga-lembaga donor, sementara sekolah yang keempat adalah sekolah yang tidak mendapatkan bantuan. Bantuan tersebut berupa pelatihan dan pendampingan kurikulum perdamaian yang diambil dari tradisi Pella Gandong.
Menurut Alpha, riset yang dilakukannya ternyata menunjukkan bahwa sekolah keempat yang tidak mendapatkan bantuan dari lembaga asing justru lebih sukses dalam mengintegrasikan siswa muslim dan non muslim. Hal ini berbeda dengan ketiga sekolah yang justru mendapatkan bantuan. Menurutnya, siswa di ketiga sekolah tersebut, meskipun memiliki semangat untuk berdamai dan menerima perbedaan, namun trauma terhadap kekerasan yang mereka terima pada masa konflik.
Kondisi ini menurut Alpha merupakan buah dari “kekeliruan” dalam menyusun strategi perdamaian yang hanya mengandalkan tradisi Pella Gandong. Alpha menjelaskan bahwatradisi Pella Gandong sesungguhnya merupakan tradisi yang lahir dari masyarakat di Maluku Tengah saja. Tradisi Pella Gandong tidak merepresentasikan tradisi masyarakat Maluku secara umum.
Kekeliruan ini tercermin dari respon para siswa yang menjadi responden penelitian. Menurut siswa di sekolah yang pertama, dimana mereka adalah masyarakat Maluku Tenggara yang bermigrasi ke Maluku Tengah, menyatakan bahwa kurikulum perdamaian yang mengambil tradisi Pella Gandong saja tidak mencerminkan budaya mereka. Mereka menginginkan tradisi lokal masyarakat Maluku Tenggara juga masuk menjadi kurikulum perdamaian.
Senada dengan itu, para siswa di sekolah kedua yang mayoritas bersuku Buton juga menganggap bahwa kurikulum perdamaian tidak memiliki akar sejarah yang sama dengan budaya masyarakat Buton. Sementara itu, siswa pada sekolah ketiga dan keempat yang terletak di Kota Ambon, menurut Alpha juga menunjukkan ketidaktahuan mereka terhadap tradisi Pella Gandong. Alpha menjelaskan bahwa karakteristik siswa di kedua sekolah tersebut lebih mengarah pada siswa “kosmopolitan” yang sudah tiadk perduli dengan adat istiadatnya.
Selanjutnya Alpha menjelaskan bahwa faktor utama keberhasilan sekolah keempat dalam mengintegrasikan siswa yang berbeda agama terletak pada leadership kepala sekolah. Ketegasan dan kenetralan dalam menyelesaikan permasalahan menjadi faktor penentu keberhasilan. Sebagaimana disampaikan oleh Alpha, kepala sekolah di sekolah ini tidak mengalami pergantian sejak masa konflik.
Dalam akhir paparannya, Alpha mengajak kepada para peserta MRT untuk tidak “mengkultuskan” kearifan lokal sebagai satu-satunya solusi dalam menyelesaikan konflik. Bahkan ia khawatir jika kearifan lokal diposisikan secara tidak proporsional, justru akan menjadi faktor pemecahbelah masyarakat. Bayangkan, bagaimana mungkin Pella Gandongyang merupakan tradisi masyarakat Maluku Tengah saja dijadikan sebagai senjata untuk mempersatukan masyarakat yang secara fakta berasal dari etnis,suku dan wilayah yang plural,” ujarnya.
ags/viks/ags