Transformasi dan Akulturasi Ajaran Abdussamad al-Palembani di Jambi dan Sumatera Barat: Sebuah Temuan Lapangan Penelitian Diaspora

18 Agt 2020
Transformasi dan Akulturasi Ajaran Abdussamad al-Palembani di Jambi dan Sumatera Barat: Sebuah Temuan Lapangan Penelitian Diaspora
Naskah Ajaibul Qulub

Palembang (Balitbang Diklat). Perjalanan penelitian diaspora panjang dan berliku. Itulah kesan pertama yang diperoleh ketika meniti hari-hari penelitian dari tiga provinsi; Sumatera Selatan, Jambi, dan Sumatera Barat menelusuri diaspora manuskrip keagamaan Syekh Abdussamad al-Palembani.

Namun, ketika menemukan jejak-jejak al-Palembani dan mendapat petuah-petuah dari para tokoh setempat, maka sinar semangat dan titik kecerahan untuk mewujudkan hasil penelitian seketika bangkit. Ketika masing-masing wilayah menunjukkan keunikannya dan transformasi ajaran kemudian tampil.

Jambi adalah sebuah daerah yang masih menyimpan pengaruh ajaran Abdussamad terutama untuk pengamalan ajaran Samaniyah. Semangat mengamalkan ratib saman yang diajarkan Abdussamad masih bisa ditemukan di wilayah ini. Istilah ratib saman kemudian dimodifikasi menjadi manaqib saman.

Masyarakat yang masih kental menjadikan saman sebagai salah satu tradisi mereka adalah, wilayah Kuala Tungkal, Sungai Saren, dan Bentara. Mereka cukup percaya dengan kekuatan spiritual yang dimunculkan oleh keseriusan pengamalan manaqib/zikir saman. Umumnya ketika bernazar, untuk memperoleh hajat tertentu, mereka menggunakan sandaran kepada manaqib saman.

Berbeda dengan Jambi, Sumatera Barat sebagai tempat yang lebih jauh dari Jambi, apabila diukur jarak dengan Palembang sebagai tempat awal muassal ajaran Abdussamad,  wilayah ini mendapatkan pengaruh ajaran Abdussamad yang luar biasa hingga saat ini.

Sumatera Barat khususnya di Payakumbuh adalah tempat yang hingga kini dipenuhi oleh para tokoh tasawuf yang dikenal dengan Datuak, Syeikh, dan Buya. Di sini juga banyak ditemukan naskah kuno yang menyalin dan menerapkan ajaran Syekh Abdussamad al-Palembani. Peneliti menemukan salah satu naskah kuno yang ditulis dan diinterpretasi oleh ulama Batu Hampar salah satu bagian dari Sairussalikin karya Abdussamad, yang diberi judul dengan Ajaibul Qulub.

Kitab ini mengajarkan pembaca untuk dapat menentramkan hati, tidak sembarang dalam bertindak kepada sesama, sehingga toleransi dan moderasi terbangun dengan sendirinya. Di samping itu, teks menarik lainnya ditemukan di Pesantren al-Manar Batu Hampar adalah tentang tata cara para tokoh tarekat memberi ijazah kepada muridnya dengan menambahkan agar patuh kepada aturan negara Indonesia. Ulama dan sekaligus masyarakat di wilayah ini merupakan penegak dan pejuang nasionalisme, yang cinta kepada tanah air.

Di daerah Tabek Gadang juga masih tegak bangunan sejarah PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) pada masa awal kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pendahulu kita di antaranya adalah Syafruddin Prawiranegara.

Sementara di Payakumbuh, peneliti bertemu dengan beberapa para syeikh, datuak, dan buya sebagai pimpinan surau dan tokoh tarekat. Dari penjelasan mereka ditemukan bahwa tarekat saman merupakan tarekat awal yang diajarkan kepada calon pengamal tarekat, sebelum diajarkan tarekat lain. Di wilayah ini terdapat tradisi menggabungkan tarekat saman dengan Naqsyabandi.

Pada kesempatan ini juga peneliti sempat berkunjung langsung surau Belubus sebagai tempat awal berkembangnya tarekat saman, dan berziarah ke makam Syekh Muda Abdul Qadim Belubus (1871-1957M) pembawa tarekat saman  ke wilayah Padang.

Selain itu, kesempatan berbincang dengan Syaikh Yaman Habib Belubus, yang menerima ijazah Samman dan Naqsyabandi dari alm. Buya Nur Efendi, menerima dari alm. Syekh Nurullah Dt. Angso, dan menerima dari Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus. Tepatnya di sore hari Kamis 13 Agustus, Syekh Yaman Habib Belubus berkenan menjelaskan kepada peneliti tentang cakrawala sejarah berkembangnya samaniyah dan aktivitasnya yang diberikan kepada penganutnya di Belubus. Tarekat ini kemudian berkembang hingga wilayah Sumatera Utara, Malaysia, dan Thailand.  

Pada kesempatan ini pula, peneliti sempat berkunjung ke surau Syekh Ilyas, guru tarikat di surau Irsyadul Ibad Gunung Umeh, Kabupaten lima puluh Kota, Payakumbuh, Sumatera Barat. Beliau sudah berumur 96 tahun namun masih tetap tegar, sehat, dan bisa berinteraksi dengan pengunjungnya secara baik. Salah satu petuah yang cukup terkesan diberikan beliau adalah “beristigfarlah sebanyak mungkin untuk menyadarkan hati sehingga bisa melunakannya dengan membayangkan surga dan neraka”.

Ketika menyampaikan pesain ini, beliau terdiam dan meneteskan air mata. Para tamu di sekelilingnya juga ikut terdiam, tertegun, dan merenung kata-kata beliau. Terasa saat itu, tidak ada sesuatu di dunia ini bisa berjalan dan bergerak ada kecuali hanya dengan izin Allah.

Dalam penelitian diaspora ini terlihat transformasi dan akulturasi ajaran dan manuskrip karya Syekh Abdussamad untuk wilayah Jambi dan Sumatara Barat. Analisis terhadap transformasi dan akulturasi ini akan diuraikan lebih detail dan sistematis dalam buku diaspora yang merupakan output dari kegiatan penelitian ini. []

FI/diad

Penulis: Fakhriati
Editor: Dewindah
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI