30 Tahun Jargon Berotak Jerman, Berhati Makkah (HUT ICMI ke-30: 7 Desember 1990-2020)
Oleh: Nurman Kholis
Tak terasa kini sudah berada di ujung tahun 2020. Memasuki bulan terakhir tahun ini, tepatnya pada 1-4 Desember, saya bersama seluruh pejabat dan rekan-rekan di Puslitbang LKKMO mengikuti acara evaluasi akhir tahun yang berlangsung di Batam Kepulauan Riau.
Saat keberangkatan yang menggunakan pesawat Garuda Jakarta-Batam, pada sandaran kursi di depanku dari sekian film yang disedikan, salah satunya yaitu film “Habibie-Ainun 2”. Saya pun memutarnya namun tidak sampai habis, karena pesawat sudah terlebih dahulu mendarat. Sesudah sampai di Bandara Hang Nadim, sang pemandu perjalanan menuju hotel di Bengkong pun menginformasikan, Batam pada mulanya merupakan proyek dari gagasannya Pak Habibie.
Karena itu, kata “Jerman” pun untuk kesekian kali kembali muncul dalam benakku. Seminggu sebelumnya nama negeri ini juga muncul setelah sang maestro sepak bola, Diego Maradona meninggal pada 25 November 2020 lalu. Dalam tayangan tentang sekilas perjalanan karirnya melalui media sosial, tampak pula saat Argentina juara Piala Dunia tahun 1986 yang mengalahkan Jerman Barat dengan skor 3-2. Empat tahun kemudian pada tahun 1990, Jerman Barat yang pada tahun itu pula bereunifikasi dengan Jerman Timur hingga menjadi “Jerman” saja, membalas kekalahannya dengan mengalahkan Argentina dengan skor 1-0 melalui penaltinya Andreas Brehme.
Beberapa adegan yang memunculkan kata “Jerman” dalam benak saya itu, juga memunculkan ingatan tentang kejadian 30 tahun lalu. Waktu pertama kali aku mendengar jargon “berotak Jerman, berhati Makkah”. Saat itu, aku duduk di kelas 3 Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) Pesantren Daar el-Qolam, Gintung, Jayanti, Tangerang. Ruang kelasnya masih berlantai tanah, berdinding papan dan bambu.
Seingatku, jargon tersebut muncul sejak berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Organisasi ini berdiri pada 7 Desember 1990 dan dipimpin oleh Pak Habibie yang saat itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi. Beliau pernah menempuh pendidikan tinggi hingga menjadi pakar kedirgantaraan di Jerman.
Saya pun jadi teringat pertandingan kesebelasan Jerman yang mengalahkan Belanda dengan skor 2-1 di babak 16 besar. Saya menonton pertandingan ini melalui televisi saat mesantren. Hal ini dialami setelah saya bersama beberapa orang kakak kelas, dini hari menuju dapur B. Setelah berhasil membujuk pengurus dapur, ia mengizinkan kami untuk menyalakan televisi. Beruntung, kami tidak diketahui oleh Bagian Keamanan sehingga tidak terkena sanksi atas pelanggaran disiplin pesantren.
Jerman Barat pun terus melaju hingga di final mengalahkan Argentina sebagaimana sudah diceritakan sebelumnya. Saya menyaksikannya melalui televisi di rumah tetangga saat liburan. Prestasi tersebut juga menginspirasi beberapa santri Daar el-Qolam untuk mengenakan kaos kesebelasan tersebut. Kaosnya berwarna putih bermotif tiga warna bendera Jerman yaitu, hitam, merah, dan kuning.
Setelah tiga tahun mesantren di Daar el-Qolam (1988-1991), saya pun melanjutkan mesantren-nya ke La Tansa Cipanas Lebak Banten, cabang Daar el-Qolam. Kedua pesantren ini sama-sama didirikan oleh Kyai Ahmad Rifa’i Arief.
Saya bersama 40 orang teman adalah lulusan pertama La Tansa. Kami mesantren di sana selama 3 tahun (1991-1994) dalam kondisi fasilitas dan jumlah guru masih pas-pasan. Saat tahun pertama di pesantren ini, saya suka membeli gorengan sambil ngopi di rumah Pak Kanta yang berada puluhan meter di belakang masjid. Kesempatan ini juga suka saya gunakan untuk meminjam radionya.
Saya sesekali mendengarkan siaran Deutsche Welle edisi bahasa Indonesia. “Suara Jerman Deutsche Welle di Bonn”. Demikian intro dari penyiar radio ini yang hingga kini masih saya ingat. Beruntung, sekian kali mendegarkan siaran tersebut, saya tidak dapat diketahui oleh Bagian Pengasuhan. Bagian ini bertugas menindak santri senior yang melanggar disiplin.
Setelah lulus dari La Tansa pada tahun 1994, saya diminta ayah untuk mesantren lagi di pesantren al-Musyahadah Cilember Cimahi Bandung. Setelah mengaji kitab-kitab kuning dengan pengantar bahasa Sunda ini, atas saran ayah, saya melanjutkan kuliah ke jurusan bahasa Jerman D3 Universitas Padjadjaran (Unpad) yang kutempuh selama tiga tahun (1995-1998). Saya pun mengikuti ujian untuk melanjutkan ke S1 hingga lulus pada Fakultas Ilmu Komunikasi di universitas yang sama.
Pada tahun pertama kuliah di fakultas tersebut, Jurusan Bahasa Jerman Unpad bekerja sama dengan Goethe Institut dan Dinas Pertukaran Akademis Jerman (DAAD) menyelenggarakan Hari Ulang Tahun pujangga Jerman Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) ke-250. Salah satu rangkaian acara ini adalah Lomba Penulisan Esai tentang Goethe. Saya pun menerjemahkan tugas akhir saat kuliah bahasa Jerman berjudul “Goethes Meinung ueber Islam” yang diolah kembali. Esai yang saya ikuti pada lomba tersebut berjudul “Goethe: Pujangga Jerman yang Meyakini Kebenaran Ajaran Islam”. Esai ini dinobatkan sebagai esai terbaik sehingga saya mendapatkan hadiah dan piagam. Panitia juga memamerkan esai tersebut pada acara HUT Goethe ke-250 yang berlangsung di Aula Universitas Padjadjaran Bandung.
Namun setelah lulus kuliah S1, keseharian saya tidak banyak berkecimpuung dengan bahasa Jerman. Hal ini sehubungan dengan pekerjaan sebagai guru sosiologi di almamater saya SMA Pesantren La Tansa (2001-2002) dan menjadi PNS sebagai calon auditor di Kementerian Agama selama 4 tahun (2003-2007). Saya pun selanjutnya mengajukan permohonan mutasi hingga dikabul dan bertugas di Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Setelah dua tahun bekerja lembaga ini, saya mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) calon peneliti di Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan (Pusbindiklat) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saya pun menyusun laporan hasil penelitian yang dikemas dalam bentuk makalah berjudul “Pemikiran Goethe tentang Islam dan Uang Kertas serta Pengaruhnya terhadap Penggunaan Dinar Emas dan Dirham Perak di Indonesia”. Penyusunan makalah ini dibimbing oleh Prof. Dr. Mohamad Hisyam dari LIPI dan dipresentasikan dengan penguji Prof. Dr. Dwi Purwoko juga dari LIPI.
Makalah saya ini juga selanjutnya dipresentasikan dalam peringatan HUT Goethe ke-260 yang diselenggarakan oleh The Habibie Center (THC) di Jakarta pada 4 September 2009. Makalah tersebut selanjutnya diolah menjadi artikel hingga dimuat di jurnal Dialog Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2010.
Saya masih ingat saat mempresentasikan makalah di LIPI tahun 2009 itu. Moderatornya adalah Pak Muhammad Rais yang kini juga menempuh karir sebagai peneliti pada Balai Litbang Agama Makassar. Saat itu, ia bilang: “nanti kita ke Jerman”. Harapannya pun terkabul empat tahun kemudian. Hal ini sehubungan dengan keikutsertaan saya bersama Pak Rais dan enam peneliti lainnya pada short-course di Goethe Universitat Frankfurt pada bulan Desember 2014.
Saya berkesempatan mengunjungi tempat lahirnya Goethe yang dijadikan museum di Goethehaus. Saat pulang, saya juga sempat mampir ke toko buku milik turunan orang Turki. Di sana saya membeli buku Tage Buch Eines deutschen Muslim karya muslim mantan diplomat Jerman, Murad Wilfried Hoffman yang wafat beberapa minggu lalu (13/1/2020).
Saya juga membeli buku Islam in Deutschland karya Abu Bakr Rieger yang pernah saya temui waktu kunjungannya ke Bandung (2005) dan waktu saya berada di Cape Town Afrika Selatan pada tahun 2016, 2018, dan tahun 2019 lalu.
Rupanya kunjungan saya ke Jerman bukan yang pertama dan terakhir saat ke Frankfurt itu. Sebab empat tahun kemudian pada 21-27 Mei 2018, saya bersama dua orang teman peneliti lainnya yaitu Asep Saefullah dan Novita Siswayanti mendapatkan tugas untuk melakukan benchmarking tentang pengelolaan khazanah keagamaan di Universitas dan Museum Hamburg.
Ingatan tentang Jerman dan khususnya tentang Goethe setahun berikutnya juga tergali dari pikiran saya. Hal ini sehubungan dengan undangan dari almamater saya Program Studi Sastra Jerman Unpad. Saya diundang sebagai moderator untuk berdiskusi dengan Pak Berthold Damshäuser pada ceramah dan puisi yang dibacakannya bertema “Johann Wolfgang von Goethe—Pujangga Jerman Terbesar dan Pembangun Jembatan antara Barat dan Islam. Acara yang berlangsung pada 24 September 2019 di kampus Unpad Jatinangor ini, juga diberitakan melalui beberapa media sosial, salah satunya oleh Kedutaan Besar Republik Federal Jerman.
Saya pun merasa senang atas pertemuan dengan Pak Damshäuser yang biasa dipanggil “Pak Trum”. Profesinya sebagai guru besar Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Bonn ini juga mengingatkan saya dulu, saat mendengarkan intro “Suara Jerman Deutsche Welle di Bonn”.
“Berotak Jerman, Berhati Makkah” (1990) dan “Suara Jerman Deutsche Welle di Bonn” (1991) seolah-olah baru saja muncul dan terngiang-ngiang dalam benak ini…
Nurman Kholis/diad