Abdul Kadir: Keselarasan Islam dan Budaya di Sulawesi Selatan

15 Nov 2018
Abdul Kadir: Keselarasan Islam dan Budaya di Sulawesi Selatan

Makassar (15 November 2018). “Islam kurtural merupakan hasil perjalanan panjang proses perjumpaan Islam dengan budaya local. Proses itu kemudian terpola menjadi satu genre di mana Islam tidak hanya mengakomodasi aspek-aspek budaya local, namun saling mengokohkan antara satu dengan lainnya.”

Hal tersebut disampaikan oleh Abdul Kadir Ahmad dalam orasi pengukuhan profesor riset bidang agama dan masyarakat, Kamis (15/11). Pengukuhan profesor riset dari Balai Litbang Agama Makassar ini merupakan kerja sama antara Kementerian Agama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Abdul Kadir Ahmad mendapat giliran kedua untuk memaparkan orasi profesor risetnya. Ia menyampaikan orasi ilmiah berjudul Islam Kultural di Sulawesi Selatan: Keselarasan Islam dan Budaya.

Dalam risetnya tersebut, Abdul Kadir menerangkan realitas islam dan budaya di Sulsel, yaitu panngaderreng sebagai konsep budaya yang mewadahi pertemuan dan dialog antara Islam di satu pihak dan budaya di pihak lain.

“Konsep ini bukan saja menggambarkan realitas Islam kultural di Sulsel tetapi juga mendasari semangat dialog yang penting dalam membangun harmonisasi hubungan antar agama dan budaya di masa datang,” ujar Abdul Kadir dalam orasinya.

Kadir mengatakan bahwa terbentuknya Islam kultural di Sulsel merupakan bagian dari proses pertemuan antara Islam sebagai unsur baru dengan budaya yang sudah ada.

“Keharmonisan hubungan antara agama dan budaya di Sulsel dirumuskan dalam prinsip mappakarajai sarak e riadek e, mappakalebbik I adek e risarak e, temmanakullei masserang sarak e sibawa adek e (sariat menghormati adat, adat menghormati syariat, adat dan syariat tidak boleh dipisahkan,” terang Abdul Kadir.

Selanjutnya peneliti dari BLA Makassar ini pun menjelaskan mengenai perwajahan Islam kultural yang tampak dalam tatanan struktur maupun kultur. Contoh pertemuan Islam dan budaya lokal terlihat dari penyerapan simbol Islam ke dalam simbol Negara.

“Raja mengadopsi gelar Sultan sebagai simbol keisalaman sambil tetap mempertahankan gelar Sombaya (yang dipertuan), khususnya di Gowa. Demikian pula halnya adopsi Alquran sebagai lambang Islam tetap disandingkan dengan Sudanga (pedang kerajaan) terutama dalam protokoler resmi kerajaan,” ungkap Abdul Kadir.

Pada akhir orasinya Abdul Kadir menyimpulkan bahwa nilai-nilai dalam panngaderreng sebagai dasar Islam kultural di Sulsel harus tetap menjadi acuan dalam merajut hubungan agama dan budaya. Nilai dasar panngaderreng yang mengacu kepada nilai kejujuran, kecendekiaan, kepatutan, keteguhan, dan nilai keusahaan harus mewarnai gerak Islam kultural yang lebih maju dan modern. []

diad/diad

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI