Ari J. Adipurwawijana: "Teknik Sebagus Apapun Tidak Akan Menyelamatkan Skenario yang Lemah"
Sumedang (Balitbang Diklat)---Akademisi Universitas Padjadjaran (Unpad) Ari J. Adipurwawijana yang dikenal mendalami kajian naratif, berbicara lugas tentang pentingnya kekuatan cerita dalam film, khususnya dalam Festival Film Pendek Moderasi Beragama 2024. Dalam sesi talkshow yang digelar di malam puncak festival, Ari menegaskan bahwa kualitas skenario merupakan fondasi utama dalam pembuatan film.
“Kalau ceritanya jelek, berarti skenarionya pun jelek. Teknik sebagus apapun hanyalah gimmick jika tidak didukung oleh skenario yang kuat,” ujar Ari di Sumedang, Rabu (28/8/2024).
Ari menekankan bahwa teknik sinematografi atau editing yang canggih tidak akan bisa menutupi kelemahan pada cerita atau skenario film. Ia tidak memberikan panduan eksplisit tentang tema yang dianggapnya bagus, tetapi ia menegaskan bahwa tema yang baik adalah yang bisa memukau penonton tanpa perlu disodorkan secara eksplisit.
Ari berharap para sineas muda dapat menangkap tema-tema dari kehidupan nyata di sekitar mereka, terutama dalam konteks moderasi beragama. “Moderasi beragama itu menyadari bahwa kita hidup di tengah-tengah, dengan toleransi kita mengakui bahwa selain diri saya, ada orang lain. Kita menghindari kekerasan karena jika orang lain bisa merasakan sakit, kita pun bisa,” jelasnya.
Di hadapan ratusan pelajar dan mahasiswa, Ari juga secara singkat mengulas konsep vokalisasi dalam film, yaitu perspektif atau “mata” yang digunakan untuk melihat cerita. “Film yang baik tidak membuat dikotomi antara subjek dan objek; ia meleburkan keduanya, memungkinkan berbagai perspektif untuk bergiliran menjadi subjek dan objek,” tuturnya.
Hal ini, menurut Ari, penting dalam kajian naratif karena dapat mencerminkan kompleksitas realitas kehidupan, termasuk dalam konteks moderasi beragama.
Sementara itu, tenaga ahli Menteri Agama Hasanuddin Ali menyoroti perbedaan signifikan antara generasi yang lebih tua dengan generasi Z dan milenial dalam hal preferensi media dan konten. “Generasi Z dan milenial lebih tertarik pada komunikasi berbasis visual seperti film, musik, dan olahraga, sementara generasi yang lebih tua lebih sering membahas topik-topik berat seperti agama, politik, dan ekonomi,” kata Hasanuddin.
Ia menekankan pentingnya menyesuaikan strategi komunikasi moderasi beragama untuk generasi muda. “Tantangannya adalah bagaimana ‘merecehkan’ tema berat seperti moderasi beragama untuk anak-anak Gen Z, dan film adalah media yang tepat untuk melakukan penetrasi strategi ini,” tambahnya.
Festival Film Pendek Moderasi Beragama 2024 ini menjadi ajang penting yang tidak hanya menampilkan karya-karya film pendek dari sineas muda, tetapi juga menjadi platform diskusi yang mendalam tentang peran film dalam menyampaikan pesan-pesan moderasi beragama kepada generasi muda. (Barjah)