Implementasi Rekomendasi Kunci terkait Penodaan Agama di Indonesia; antara Tantangan dan Peluang

16 Jan 2015
Implementasi Rekomendasi Kunci terkait Penodaan Agama di Indonesia; antara Tantangan dan Peluang

Oleh

Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud p.hD

 

PNPS dari masa ke masa

 

Tarik menarik antara tafsir tentang kebebasan beragama dan penodaan agama bukanlah hal yang sama sekali baru dan mengalami pasang surut sesuai dengan konteks, kepentingan dan masanya. Kebebasan beragama dibatasi oleh kategori dan definisi penodaan agama begitupun juga sebaliknya. Meskipun tentu saja diskusi tentang hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di negara-negara lain tempat dimana agama mendapatkan “perhatian yang lebih” seperti halnya di Malaysia, Singapura .

 

Indonesia memiliki konstitusi yang memberikan jaminan bahwa warga negara Indonesia memilik hak untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Jaminan tersebut tegas termuat dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Muatan kebebasan beragama dan berkeyakinan ini menjadi salah satu pasalHAM yang tegas dan diatur di dalam UUD RI 1945, yang berbeda dengan keberadaan hak asasi yang lainnya. Pernyataan jaminan di dalam pasal tersebut, mengindikasikan bahwa negara memiliki kepentingan yang signifikan untuk memberikan . Pemaknaan terhadap pengaturan kebebasan beragama dan perlindungan di Indonesia sudah pasti memberikan dampak yuridis bagi munculnya peraturan perundang-undangan.

 

Ada dua pertanyaan yang muncul mengenai implementasi dari ketentuan konstitusi tersebut,yaitu bagaimana negara sebagai pelindung wajib memberikan jaminan kepada warga negaranya untuk beragama (atau berkeyakinan) dan bebas mengembangkan ibadahnya. Artinya negara sebagai subyek yang memiliki kuasa dan kewenangan mengatur harus dapat memberikan ruang yang luas dan sekaligus juga menyediakan kenyamanan perlindungan atas hak bebas beragama serta kegiatan beribadahnya. , bagaimana kemudian negara dalam rangka memberikan jaminan untuk bebas beragama pada saat yang bersamaan juga harusmampu menjadi pihak yang memberikan pedoman atau koridor pelaksanaan kegiatan beragama dan berkeyakinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD RI 1945, dengan tanpa menciderai makna kebebasan beragama itu sendiri.Konsep pemeliharaan keten­traman dan ketertiban masyarakat (law and order) yang kemudian menjadi entry point bagi negara atau pemerintah untuk mengaturnya.

 

 

 

Tabel 1

Peraturan Hukum di Indonesia:
Kebebasan vs Pembatasan

 

 

 

  •  

  •  

  1.  

UUD 1945: Pasal 29 Ayat (2), Pasal 28 E Ayat (1) dan (2), Pasal 28 I.

Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keagamaan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis

UUD 1945: Pasal 28 J

Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keagamaan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis

 

  1.  

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: Pasal 22.

Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa

UU No.39 Tahun 1999: Pasal 70 dan 73.

Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa

 

  1.  

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasi menjadi UU No. 12/2005: Pasal 18 Ayat (1) dan (2).

Setiap orang berpikir, berkeya-kinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.

Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

 

ICCPR Pasal 18 Ayat (3)

Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.

 

 

 

 

 

Peraturan lain dari negara yang mengindikasikan adanya ‘batasan ‘ dan menjadi koridor bagi bagi wacana kebebasan beragama adalah; Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 yang kemudian disahkan dan ditetapkan dan kita kenal dengan nama Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 yang berisi tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Kehidupan Beragama di Indonesiayaitu berbunyi:

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”

Semula peraturan tersebut adalah Penetapan Presiden (PNPS) yang dikeluarkan pada tahun 1965 dan kemudian pada tahun 1969 diangkat menjadi UU dengan UU No. 5 Tahun 1969. Secara factual juga pernah di- di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dimenangkan, maka UU ini masih memiliki kekuatan hukum dan masih berlaku sampai saat ini.

 

Tabel 2

Pendapat Pemohon vs Pendapat Hakim MK tentang berbagai aspek terkait

UU No.1/PNPS/1965

 

 

Pendapat Pemohon

Pendapat Hakim Mahkamah

Menyangkut Formalitasnya

Formalitas UU Pencegahan Penodaan Agama bermasalah karena secara historisdibentuk dalam keadaan darurat revolusi

Secara materiil UU ini adalah masih tetap dibutuhkansebagai pengendali keter­tiban umum dalam rangka KUB;

Pembentukan UU Pencegahan Penodaan Agamasangat terkait dengan konteks sosial politik di alam Demokrasi Terpimpin

Manakala norma tersebut masih relevan pada suatu konteks yang lain, maka ketika itu norma tersebut layak dipertahankan

UU Pencegahan Penodaan Agama tidak sah atau harus dinyatakan batal karena tidak memenuhi syaratpembentukan (uji formal)

UU ini dibuat oleh Pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin, sudah diseleksi melalui Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966, yang hasilnya menye­butkantetap diberlakukan sebagai UU.

UU ini cacat formalkarena tidak sesuai dengan ketentuan UU No.10 Tahun 2004 terutama mengenai sistematika dan hubungan antara pasal-pasal dan penjela­sannya serta lampiran Undang-Undang

UU No. 10/2004 tidak dapat dijadikan pedoman dalam menilai pembentukan UU yang lahir sebelum lahirnya UU No.10/ 2004. Kedudukan Lampiran hanyalah pedoman/arahan yg tidak mutlak diikuti;

Menyangkut Materi Pokok Permohonan

Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965

Rumusan pasal 1 UU ini telah menim­bulkan ketidakpastian hukum karena sejumlah frasa seperti “penafsiran yang menyimpang” maupun “pokok-pokok ajaran agama” merupakan klausul yangmultitafsir yang dapat digunakan untuk membatasi kebebasan beragama orang lain. Penafsiran dan keyakinan beragama adalah hal yang sangat privat dan individual, sehingga bukan merupa­kan kewenangan negara untuk meng­­hakimi keyakinan atau agama seseorang

 

UU ini tidak menentukan pembatasankebebasan beragama, akan tetapi pembatasan untuk mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalah­gunaan atau penodaan terhadap suatu agama serta pembatasan untuk melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia;

Apabila seseorang meyakini sesuatu secara privat dan selanjutnya mengko­muni­kasikan eksistensi spiritual individu­nya kepada publik merupa­kan hak asasi. Hal itu merupakan bentuk ekspresi kebebasan berkeyakinan, berpikir, dan berpendapat yang dijamin UUD 1945;

UU ini tidak melarang untuk melakukan penafsiranterhadap suatu ajaran agama ataupun melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai suatu agama yang dianut di Indonesia secara sendiri-sendiri. Yang dilarang adalah dengan sengaja di muka umummenceritakan, menganjurkan dukungan umum,…

Konsep agama yang diakui atau tidak diakui oleh negara dari sudut etika politik sebenarnya tidak dibenarkan karena bersifat pragmatis dan negara tidak ber­kompeten untuk menyatakan hal tersebut.

Meskipun terdapat keanekaragaman

atas aliran agama namun pada pokok-pokok agama tetap dapat dirumuskan dan disepakati, dan kesepakatan itulah yang menjadi koridor atau ukuran;

Penafsiran ada dalam forum internum, bersifat subjektif sehingga tidak boleh diintervensi oleh negara, karena ada dalam kategori hak berpikir yang tidak boleh dilarang;

Walaupun merupakan forum internum,penafsiranharus tetap berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berda­sarkan sumber ajaran agamanya. Jika tidak,akan menimbulkan reaksi yang mengancam keamanan/ketertiban umum (dan itu membuka peran negara).

Penafsiran “menyimpang” sangat tergantung dari otonomi masyarakat kultural. Yang berhak untuk mengatakan menyimpang dan menghukum ajaran menyimpang bukanlah sesama manusia melainkanhak Allah sebagai Tuhan.

Setiap agama memiliki pokok-pokok ajaran yang diterima umum pada internal agama tersebut, oleh karena itu yang menentukan pokok-pokok ajaran agama adalah pihak internal agama masing-masing.

Negara tidak dapat menentukan tafsiran yang benar mengenai ajaran suatu agama;

Negara tidak secara otonom menentukan pokok-pokok ajaran agama dari suatu agama, akan tetapi hanya berdasarkan kesepakatan dari pihak internalagama yang bersangkutan;

UU Pencegahan Penodaan Agama diskriminatifkarena hanya membatasi pengakuan terhadap enam agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu;

· UU ini tidak membatasi pengakuan atau perlindungan hanya terhadap 6 agama, tetapi mengakui semua agama yang dianut oleh rakyat Indonesia, sbgmn Penjelasan Umum UU ini;

· Makna kata “dibiarkan” yang terdapat di dalam Penjelasan Pasal 1 paragraf 3 UU ini harus diartikan sebagai tidak dihalangi dan bahkan diberi hak untuk tumbuh dan berkembang, dan bukan dibiarkan dalam arti diabaikan;

 

· Penyebutan agama-agama dalam Penjelasan tersebut hanyalah pengakuan secara faktual-sosiologis keberadaan agama-agama di Indonesia saat UU ini dirumuskan;

Negara tidak berhak melakukan inter­vensi atas tafsiran terhadap keyakinan atau kepecayaan seseorang untuk tidak mencampuri penafsiran atas agama tertentu;

· Beragama sebagai meyakini suatu agama merupakan ranah forum internum/kebebasan/HAM. Sedangkan melaksanakan suatu keyakinan adalahforum externumyang terkait dengan HAM orang lain, kepentingan publik, dan dengan kepentingan negara

· Negara berkepentingan untuk membentuk peraturan per-UU-an sebagai tanggung jawabnya untuk menegakkan dan melindungi HAM.

Jika terdapat isi dari UUD 1945 yang

tidak sejalan dengan konvensi internasional maka UUD 1945 tersebut harus diperbaiki;

Memperbaiki/mengubah isi UUD 1945 adalah sepenuhnya wewenang MPR. Mahkamah hanyaberwenang menguji isi UU terhadap UUD 1945;

Pasal 1 UU ini yang memberikan larangan kepada setiap orang untuk mempublika­sikan penafsiran berbeda dari agama yang dianut di Indonesia adalah bentuk pencegahan dari kemung­kinan konflik horizontal masyarakat.

Beragama dalam konteks hak asasi individu tidak dapat dipisahkan dari hak beragama dlm konteks hak asasi komunal

Pembatasan mengenai nilai-nilai agama sebagai nilai-nilai komunal masyarakat adalah pembatasan yang sah menurut konstitusi.

Pasal 1 UU ini sebagai sebuah pembatasan atas kebebasan beragama.

Pasal 1 UU ini adalah bagian tidak terpisahkan dari maksud perlindungan terhadap hak beragama warga masyarakat Indonesia

Pasal 2 Ayat (1) UU No.1/PNPS/1965

Kewenangan memberikan “perintah dan peringatan keras” adalah bentuk dari pemaksaan (coercion) atas kebebasan beragama yang sejatinya merupakan hak yang melekat dalam diri setiap manusia;

Negara memang memiliki fungsi sebagai pengendali sosial dan diberikan otoritas

berdasarkan mandat dari rakyat dan konstitusi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat sesuai dengan UUD 1945

Pemaksaan berupa “perintah dan peringatan keras” menyebabkan negara terjebak dalam intervensi atas kebebasan beragama yang merupakan hak asasi yang dijamin oleh UUD 1945

Keberadaan SKB merupakan bukti dari kehati-hatian dalam pelaksanaan kewenangan negara untuk melakukan tindakan hukum terhadap orang/ kelompok yang dianggap menyimpang

SKB tidak memiliki landasan hukum yang tepat untuk menjadi alasan pemaksa untuk melarang keyakinan seseorang atau kelompok yang berbeda dengan keyakinan atau penafsiran mayoritas

SKB bukanlah peraturan per-UU-an (regeling) melainkan penetapan konkret (beschikking). Tapi terlepas SKB berupa regeling atau beschikking, substansi perintah UU Pencegahan Penodaan Agama tentang hal tersebut tidak melanggar konstitusi;

UU ini hanya bisa tegak apabila dilaksa­na­kan bersama tindakan-tindakan fung­sio­nal yang keras dan kadang-kadang diskriminatif terhadap mereka yang berbeda dan dituduh menyimpang.

UU ini sudah tepat karena dibuat untuk melindungi tiga kepentingan kepentingan individu, sosial/masyarakat,dan negara), termasuk kepentingan para Pemohon.

Pasal 2 Ayat (2) UU No.1/PNPS/1965

Pelarangan yang ditujukan untuk membu­barkan sebuah organisasi/aliran terlarang adalah bentuk dari penging­karan terhadap kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana yang telah dijamin oleh UUD 1945.

· Sebagai tindak lanjut Pasal 2 Ayat (1), maka hal tersebut merupakan ranah kebijakan yang merupakan penerapan hukum dan bukan sebagai permasa­lahan konstitusional;

· para Pemohon telah salah mengartikan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai sebuah hak yang tidak dapat dibatasi. Padahal demi ketertiban umum maka hak itu juga dapat dibatasi oleh hukum dan diberikan sanksi administratif

Pasal 3 UU No.1/PNPS/1965

Klausul ‘pemidanaan’ telah memasuki forum internumdari hak kebebasan beragama dan merupakan ketentuan diskriminatif yang bersifat ancaman (threat) dan memaksa (coercion).

Perbedaan penjatuhan pidana yang ditetapkan dalam putusan pengadilan bukan merupakan bentuk diskriminasi tapi merupakan kewenangan hakim yang dapat menilai berat/ringannya kasus;

Rumusan pasal a quo bertentangan

dengan syarat kriminalisasi karena tidak dapat berjalan efektif (unforceable) karena tidak dapat menggambarkan perbuatan yang dilarang dengan teliti

(precision principle) sehingga berten­tangan denganprinsip kepastian hukum

· Pasal 3 tidak dapat atau dapat diterapkan adalah permasalahan penerapan hukum dan bukan permasalahan konstitusional.

· Pasal 3 ini tidak dapat diartikan tersen­diri, tapi satu kesatuan yang utuh, sehingga jelas prinsip presisinya.

· Pasal 3 ini merupakan ultimum remediummanakala sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU ini tidak efektif;

· Proses yudisial yang dilakukan oleh peradilan umum akan memberikan kepastian penegakan hukum.

Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965

Unsur-unsur pemidanaan (“permusuhan” “penyalahgunaan”, atau “penodaan”) yang terdapat dalam Pasal 4 UU ini tidak mengandung kejelasan sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum.

 

Putusan pengadilan tentang penjatuhan pidana berdasarkan Pasal 156a KUHP yang ternyata berbeda-beda, bukanlah merupakan bentuk ketidakpastian hukum dan diskriminasi, melainkan wujud dari pertimbangan hakim dalam memberikan keadilan sesuai dengan karakteristik kasus masing-masing

 

 

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dan fakta hukum dalam persidangan, MK memberikan Amar Putusan bahwa “menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.” Dengan demikian UU No.1/PNPS/1965 tentang Pence­gahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya memiliki kekuatan hukum yang mengikat kepada setiap orang. Meskipun demikian, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat mengenai perlunya revisi terhadap UU Pencegahan Penodaan Agama, baik dalam lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik

 

Keputusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat final, tidak boleh lagi dilakukan upaya banding dan karenanya mengikat. Tetapi dalam waktu yang sama, putusan ini juga menyodorkan sebuah saran agar Indonesia menyempurnakan UU itu dari segi teknis perundangannya, dan dari segi substansinya agar tidak menimbulkanmultitafsir. Meskipun konsekwensinya rekomendasi tersebut akan mengantarkan masyarakat Indonesia kepada perdebatan yang selalu berulang yaitu: apakah memang negara perlu dan berwenang mengatur hal-hal terkait agama atau tidak, perdebatan yang terkait dengan apakah agama itu masuk dalam wilayah private (forum internuum) ataukah wilayah public (forum externuum). Sebagian masyarakat memang kesulitan untuk membedakan antara pengaturan umat beragama yang dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama ataukahini hanyalan pengelolaan atau pengaturan ‘lalu lintas’ masyarakat penganut agama dalam suatu negara. Tak banyak yang melihat sisi perbedaan tersebut.

UU No.1/PNPS/1965 sesungguhnya mengatur pencegahan penodaan agama bukan dalam rangka pemurnian agama, melainkan dalam rangka pemeliharaan ketentraman beragama dan persatuan nasional, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan UU tersebut. Jadi, penodaan agama disini adalah penyebaran paham menyimpang yang telah mencapai tingkat mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat. Adapun pemahaman keagamaan menyimpang yang dimiliki oleh orang-perorang dan tidak menyebabkan gangguan ketertiban masyarakat sebenarnya banyak juga terjadi sehari-hari, dan tidak perlu diperhatikan oleh negara, meskipun mungkin itu menjadi perhatian para pemuka agama. Dengan kata lain, muara dari masalah penodaan agama yang menjadi entry point bagi intervensi negara bukanlah pada penyimpangan ajaran itu sendiri melainkan pada terganggunya ketentraman umat beragama dan ketentraman masyarakat.

Dari uraian di atas terlihat bahwa meskipun terjadi silang pendapat mengenai kebebasan beragama dan penodaan agama, sesungguhnya terjadi kesamaan muara yaitu perlunya ketentraman dan ketertibanmasyarakat dan upaya agar hal tersebut sama sekali tidak terganggu. Dengan demikian, mungkin persoalannya lebih baik digeser kepada masalah implementasi-nya. Daripada berdebat mengenai apakah negara mempunyai wewenang untuk mengatur penodaan agama ataukah membatasi kebebasan beragama; lebih baik kita berdebat bagaimana ketentraman dan ketertiban masyarakat dapat kita jaga dari berbagai kemungkinan persoalan-persoalan ekonomi, politik, maupun ketegangan dan konflik dalam kehidupan beragama. Hal tersebut akan jauh lebih produktif.

Undang-undang Perlindungan Umat beragama; a middle way

Secara faktual sejarah pengaturan oleh suatu negara untuk mencegah terjadinya penistaan, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, merupakan produk sejarah peradaban manusia yang panjang. Bukan hanya di negara-negara Muslim seperti Indonesia, tetapi juga di negara-negara Kristen seperti di Eropa. Gagasan untuk menghapuskan UU Penodaan Agama pada umumnya tidak tuntas karena masih harus menyediakan satu ruang yang memang secara objektif harus diatur, yaitu mengenai pernyataan kebencian, dalam hal ini pernyataan kebencian karena agama. Di beberapa negara, pelarangan pernyataan kebencian inilah yang diatur UU dengan menggunakan berbagai istilah seperti “hate speech” atau “hate propaganda,” termasuk negara-negara maju di Eropa yang juga mengambil jalan keluar dengan cara ini.

Pelarangan ujaran kebencian di Indonesia bukanlah hal yang sederhana. Banyak pihak menghawatirkan penegakan hukum terhadap ujaran kebencian akan mengulang represi masa lalu di mana isu SARA digunakan sebagai alat penguasa untuk menekan lawan politik. Selain itu poblem pendefinisian dan sistem perundang-undangan juga bisa menghadirkan kontroversi.

Undang-undang perlindungan Agama yang tengah di godok oleh kementerian agama diasumsikan akan menjawab beberapa tantangan persoalan keagamaan yang semakin kompleks dan rumit dari waktu ke waktu. Karena regulasi setingkat UU yang terkait kerukunan dan perlindungan umat beragama masih sangat minim. Hingga saat ini hanya ada UU no 1/1974 tentang penodaan agama. Bahkan definisi tentang “agama” sendiri tidak ditemukan rujukannya secara legal formal dalam UU manapun.Adapun semangat yang dibangun dalam pembuatan UU tersebut diwarnai dengan semangat perlindungan, Pelayanan dan penghormatan bukan mengontrol dan belenggu.

Sebenarnya sejak tahun 2003 pemerintah melalui kementerian agama telah berupaya menyusun Rancangan UU tentang Kerukunan Umat Beragama. UU ini memuat substansi yang terdapat dalam beberapa peraturan menteri antara lain tentang; pengaturan rumah ibadat, penyiaran agama, bantuan luar negeri, pemakaman jenazah, dan lain sebagainya. Draft RUU yang telah dihasilkan oleh kementerian agama ini walaupun didukung oleh kalangan mayoritas seperti majelis ulama indonesia, dan lain-lain, proses pengesahannya menjadi UU mendapat hambatan dan tantangan dari beberapa kalangan.

Pada tahun 2009, upaya penyusunan RUU KUB kemudian ini diambil alih oleh DPR menjadi RUU inisiatif DPR. Draft RUU ini kemudian disusun oleh DPR, namun substansinya juga tidak mengalami banyak perubangan dan masih sama dengan draft yang dibuat oleh pemerintah. Akan tetapi senasib dengan sebelumnya, RUU versi DPR ini juga mendapat tentangan dari banyak kalangan. Hingga berakhirnya masa bakti DPR RI 2009-2014 RUU KUB ini juga tidak kunjung disahkan

Pada tanggal 21 s.d. 23 Desember 2011 di Hotel Kawanua, Jakarta, Pusat Kerukunan Umat Beragama menyelenggarakan Worskhop Untuk Menyikapi Kehendak Masyarakat Tentang Rancangan Undang-Undang Kerukunan. Workshop ini bertujuan untuk mendengar pandangan-pandangan dari tokoh agama dan masyarakat terkait RUU KUB yang sedang digodok oleh DPR. Dalam kegiatan ini hadir wakil-wakil dari 6 majelis agama, serta beberapa akademisi/pakar. Dalam workshop ini para wakil dari majelis agama menyampaikan pandangan-padangannya, baik yang pro maupun yang kontra terhadap RUU KUB.

Bergantinya menteri agama dan suksesi pemerintahan dari SBY kepada Presiden Jokowi kemudianmemberi harapan cukup besar bagi proses penyusunan RUU ini. Pada tanggal 18 September 2014 di Hotel Mercure, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menggelar Focus Group Discussion Peta permasalahan pelayanan negara terhadap umat beragama. Hasil dari FGD ini kemudian dilanjutkan dengan ekspose terbuka pada tanggal 20 September 2014 di Gedung Auditorium Kementerian Agama Jl. HM. Thamrin. Hasil dari FGD ini antara lain merekomendasikan untuk menyusun Rancangan UU Perlindungan Umat Beragama.

Disamping itu beberapa hal yang juga dibahas dalam FGD tersebut yaitu penanganan negara dalam Penyelesaian Kasus-kasus keagamaan.

 

 

 

 

Table 3

Beberapa kasus keagamaan

 

NO

PERMASALAHAN

ALTERNATIF SOLUSI

1

Terkait Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no 9 dan 8 tahun 2006:

  1. Status hukum PBM dianggap kurang memiliki kekuatan

  2. Kurangnya sosialisasi di masyarakat dan aparatur negara

  3. Posisi rumah ibadah dalam desain tata kota

  4. Isi PBM masih banyak multi tafsir dan rentan penyalahgunaan (pasal 14 ayat 3 kata memfasilitasi; pasal 14 ayat 2 huruf b; tentang rekomendasi siapa yang lebih dulu antara kemenag dan FKUB)

  5. Belum optimalnya koordinasi antar instansi terkait (Kepolisian, pengadilan, dinas tata kota, dan lain-lain)

  1. Meningkatkan status hukum PBM no 9 dan 8 tahun 2006 menjadi Perpres atau Undang-Undang

  2. Mengoptimalkan dan mengefektifkan sosialisasi kepada aparatur sampai kelurahan/desa, sekolah, dan komunitas-komunitas masyarakat/agama/adat dengan dukungan dana dari pemerintah pusat dan daerah.

  3. Perlu ada Perda tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR)

  4. Perlu dilakukan evaluasi terhadap pasal-pasal yang dianggap multitafsir dan rentan penyalahgunaan.

  5. Optimalisasi koordinasi aparatur negara (Kepolisian, pengadilan, dinas tata kota, dan lain-lain)

 

2

Terkait Forum Kerukunan Umat Beragama:

  1. Pengurus FKUB terkadang kurang memahami substansi PBM

  2. Pola rekrutmen pengurus FKUB kurang aspiratif dan representatif.

  3. Posisi FKUB yang tidak jelas dalam struktur pemerintahan

  4. Belum ada FKUB di tingkat nasional

  5. Peran dewan penasehat FKUB masih kurang maksimal

  6. Tokoh adat belum didayagunakan secara maksimal oleh FKUB

  7. Belum adanya kerjasama FKUB dengan LSM dalam bidang terkait

  1. Persyaratan pengurus harus yang memiliki wawasan kebangsaan dan wawasan multikultur non sektarian

  2. Menyerahkan kepada majelis agama agar mengirim utusan yang memenuhi persyaratan.

  3. Mempertegas bahwa FKUB bukan lembaga pemerintah, tetapi semata-mata lembaga yang mewakili masyarakat, yang merupakan mitra pemerintah, untuk terpeliharanya kerukunan dalam hubungan antarumat beragama.

  4. Membentuk FKUB di tingkat nasional

  5. Agar wakil ketua dewan penasehat ditetapkan menjadi ketua harian dewan penasehat FKUB.

  6. Membangun koordinasi dan kerjasama FKUB dengan tokoh adat.

  7. Mengoptimalkan kerjasama FKUB dengan LSM dalam bidang terkait

3

Terkait peranan negara:

  1. Merosotnya solidaritas kebangsaan dilihat dari segi toleransi beragama

  2. Belum adanya mapping wilayah potensi konflik agama.

  3. Belum ada crisis center atau lembaga mediasi pusat untuk menangani kasus-kasus konflik agama

  4. Belum ada sinergitas program antar lembaga-lembaga negara terkait tentang kerukunan beragama

  5. Belum maksimalnya kerjasama pemerintah dengan Masyarakat Sipil

  1. Menghidupkan kembali nasionalisme dan solidaritas kebangsaan

  2. Koordinasi antara instansi terkait (Kepolisian, Kemenkokesra, Kemendagri, Kementerian Agama) tentang wilayah potensi konflik agama

  3. Membentuk lembaga crisis center pusat (FKUB Pusat)

  4. Menyusun blue print nasional tentang kerukunan beragama.

  5. Optimalisasi kerjasama pemerintah dengan masyarakat sipil

 

4

Adanya isu-isu pada tingkat lokal,nasional, regional dan internasional tentang kehidupan keagamaan di Indonesia

  1. Mengembangkan sosialisasi kerukunan oleh FKUB pusat untuk membuat klarifikasi terhadap berbagai berita yang kurang tepat

  2. Kementerian agama perlu mengekspose hal-hal yang baik tentang kerukunan umat beragama di dalam negeri.

  3. Menguatkan kembali kearifan lokal

  4. Penguatan peran media dan jurnalisme damai melalui kerjasama humas Kementerian Agama dengan media

  5. Membuat kampanye-kampanye populer tentang toleransi.

5

Belum adanya pendidikan toleransi di semua level

Perlu adanya pendidikan mulitkultural dan pendidikan budaya damai

 

 

Jika sebelumnya RUU Kerukunan Umat Beragama mendapat banyak tentangan dari kalangan minoritas, maka gagasan RUU Perlindungan umat beragama ini justru mendapat sambutan yang lebih baik. Beberapa pihak dari kalangan minoritas menganggap RUU perlindungan umat beragama justru lebih sejalan dengan nafas konstitusi. Menteri Agama sendiri telah berjanji untuk merampungkan penyusunan RUU PUB ini dalam waktu beberapa bulan kedepan. Seiring berjalannya proses pembuatan RUU KUB kemudian berganti nama menjadi RUU Perlindungan Umat Beragama. Pergantian nama tersebut sejalan dengan spirit untuk melindungi hak dan kewajiban umat beragama terutama terhadap minoritas.

Hal tersebut diatas juga diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2014 yang bertema “Pandangan Pemuka Agama Tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Berbagai Daerah”. Penelitian tersebut mengungkap beberapa permasalahan berikut: pertama, bagaimana pendapat para pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama; kedua, bagaimana bentuk pengaturannya; danketiga, aspek-aspek apa saja yang perlu diatur.

Penelitian dengan metode kualitatif ini dilakukan di tujuh kota dalam provinsi yang berbeda, yakni: Medan, DKI Jakarya, Palangkaraya, Surabaya, Denpasar, Ambon dan Jayapura. Penelitian di berbagai kota di atas menyimpulkan berikut: (1) Para pemuka agama pada umumnya memandang pengaturan hubungan antarumat beragama urgen dilakukan untuk pemeliharaan kerukunan umat beragama. Dari hasil angket terbukti (91,12 %) pemuka agama setuju pengaturan hubungan antarumat beragama urgen dilakukan; (2) Perihal kewenangan pengaturanya, pemerintah mempunyai wewenang untuk mengaturnya. Dari hasil angket terlihat (83,17 %) pemuka agama setuju yang berwenang mengatur adalah pemerintah; (3) Bentuk pengaturannya, para pemuka agama pada umumnya menghendaki bentuk undang-undang agar memiliki kekuatan hukum dan ditaati umat beragama, di samping secara psikologis memberikan rasa nyaman bagi kalangan umat beragama karena mereka merasa setara di depan hukum. Hal ini diperkuat oleh hasil angket bahwa (67,33 %) pemuka agama setuju regulasi yang dibuat hendaknya berupa undang-undang; (4) Para pemuka agama pada umumnya memandang kesembilan aspek hubungan antarumat beragama yang mempengaruhi kerukunan, perlu diatur karena rawan terhadap kemungkinan timbulnya konflik di kalangan umat beragama. Kesembilan aspek dimaksud adalah: penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, pengangkatan anak, penodaan agama dan pemakaman jenazah. Beberapa pemuka agama yang lain memandang, pengaturan terhadap aspek-aspek di atas diperlukan jika mengganggu ketertiban umum. Sementara beberapa yang lain berpendapat bahwa pengaturan tentang penyiaran agama dan pendirian rumah ibadat merupakan pelanggaran HAM.

Senada dengan penelitian di atas pada tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2013 juga diadakan penelitian tentang “Penodaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam Pusatdan Daerah”. Penelitian tersebut dilakukan atas dasar kontroversi terhadap keberadaan PNPS, karena bagi para pemuka agama Undang-undang ini dijadikan dasar untuk menetapkan suatu aliran atau paham keagamaan yang dipandang telah menodai suatu agama sehingga perlu dibubarkan dan atau dilarang. Sedangkan bagi kelompok aktivis Hak-hak Asasi Manusia (HAM) undang-undang ini dianggap dapat menghalangi kebebasan beragama yang dijamin oleh Undang-undang, dapat menjadi alat pembenaran bagi perilaku penodaan dan bahkan tindakan kekerasan dan penistaan terhadap kelompok agama tertentu. Lokasi penelitian dilakukan di delapan provinsi, yaitu: Provinsi DKI Jakarta, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada kriteria wilayah yang banyak terjadi kasus penistaan/penodaan agama dan wilayah yang relatif sedikit terjadi kasus penistaan/penodaan agama.

Tujuan penelitian tersebut adalah: pertama, untuk mengetahui dan menganalisis pandangan pemuka agama terhadap isi UU No.1/PNPS/1965. Kedua, untuk mengetahui dan menganalisis konsep-konsep ”penistaan/penodaan agama” yang berupa penafsiran, kegiatan (yang dianggap menyimpang) menurut pemuka agama Islam. Ketiga, untuk mengetahui dan menganalisis pandangan pemuka agama Islam tentang hukuman yang harus diberikan kepada mereka yang berbuat tindakan penodaan agama. Keempat, untuk mengetahui dan menganalisis pokok-pokok ajaran agama Islam dan kaitannya dengan penistaan/penodaan agama dari perspektif pemuka agama Islam. Dan, kelima, untuk mengetahui pelaksanaan UU No.1/PNPS/ Tahun 1965 oleh aparat pemerintah di daerah.

Ahirnya berdasarkan temuan lapangan, diperoleh informasi sebagai berikut: 1) Sebagian besar informan (pemuka agama Islam) belum mengetahui dan belum pernah membaca dan mengkaji secara mendalam isi UU No.1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Namun demikian para informan mengetahui keberadaan UU tersebut, 2) Mengenai konsep Pemahaman pemuka agama Islam tentang definisi penistaan/penodaan agama, sebagian besar pemuka agama Islam menyatakan perlu adanya definisi yang lebih tegas mengenai istilah penistaan/penodaan agama. Termasuk di sini adalah isi pasal 1 Undang-Undang No.1/PNPS/1965 yang menyebutkan bahwa: “setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Dalam konteks ini, terdapat tiga pandangan di kalangan pemuka agama Islam.Pertama, isi pasal 1 tersebut sudah cukup jelas dan lugas. Kedua, perlu ada revisi terhadap isi pasal tersebut.Ketiga, setuju terhadap definisi penistaan yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: ”Penistaan agama adalah perbuatan sengaja yang dilakukan dengan tujuan untuk melukai, menghina suatu agama dan perbuatan tersebut merupakan kejahatan, 3)Mengenai pengertian “penafsiran” dan “kebebasan berpendapat” para pemuka agama Islam menyatakan bahwa penafsiran itu berbeda dengan kebebasan berpendapat. Hal itu dikarenakan penafsiran harus memenuhi kaidah ilmu tafsir. Sedangkan dalam hal berpendapat, setiap orang mempunyai kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam undang-undang, 4) Mengenai pengertian di ”muka umum”, para pemuka agama Islam pada umumnya menyatakan bahwa definisi di muka umum adalah ketika suatu pendapat atau pernyataan disampaikan di hadapan publik, baik langsung maupun tidak langsung (media massa), kecuali dalam forum kajian ilmiah, 5) Mengenai aliran kepercayaan, para pemuka agama Islam pada umumnya menyatakan bahwa aliran kepercayaan bukan agama, ia adalah produk kebudayaan yang bersumber dari tradisi local, 6) Mengenai agama di luar enam agama yang disebutkan dalam UU No. 1/PNPS/1965, para pemuka agama Islam pada umumnya menyatakan bahwa mereka harus diberi hak hidup dan dilindungi sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29, 7) Mengenai kriteria yang dapat dianggap menodai agama, para pemuka agama Islam menyatakan bahwa kriteria penodaan agama harus memenuhi unsur sebagai berikut: disengaja; unsur kebencian terhadap agama lain; menghina dan melecehkan; mencemooh dan memaki; mengolok-olok.

Selanjutnya pandangan pemuka agama Islam terhadap siapa yang paling berhak menentukan bentuk penistaan/penodaan agama, pemuka agama Islam menyatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian Agama RI yang berhak menentukan bentuk penodaan agama dengan tetap memperhatikan pandangan dari pemuka agama Islam di MUI dan ormas Islam. Meskipun demikian terdapat pandangan lain yang menyatakan bahwa MUI yang paling otoritatif dalam menentukan bentuk penistaan/penodaan agama.

Closing remarks

Terciptanya kondisi masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, dan beretika sangat penting bagi terciptanya suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis. Pembangunan agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral dan etika dalam pembangunan, membina akhlak mulia, memupuk etos kerja, menghargai prestasi, dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam pembangunan. Di samping itu, pembangunan agama diarahkan pula untuk meningkatkan kerukunan hidup umat beragama dengan meningkatkan rasa saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis.

Dalam konteks itulah sebuah regulasi perlu di hadirkan, karena tanpa regulasi maka pengelolaan atas keragaman menjadi riskan.

 

 

 

Jakarta, 9 januari 2015

 

 

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI