Indonesia Bebas Buta Aksara Al-Qur’an, tapi Belum Paham Al-Qur’an

24 Mei 2013
Indonesia Bebas Buta Aksara Al-Qur’an, tapi Belum Paham Al-Qur’an

Serang (Pinmas) —- Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMA) Balitbang Diklat Kementerian Agama menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ulama Al-Qur’an di Hotel Le Dian, Serang, Banteng, Selasa malam (22/05). Acara ini diagendakan akan berlangsung sampai dengan tanggal 24 Mei 2013.

Memberikan sambutan pembukaan, Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan bahwa berbagai upaya yang memudahkan orang mengenal baca tulis Al-Qur`an memang telah berhasil membebaskan Indonesia dari buta aksara Al-Qur`an. Namun demikian, hal itu belum melenyapkan buta aksara pemahaman Al-Qur`an.

Mengutip ungkapan kolomnis Mesir, Ragab al-Banna, Menag mengatakan bahwa fenomena itu bisa disebut dengan istilah al-ummiyyah al-dîniyyah.

“Istilah ini hemat saya tidak berlebihan, sebab terinspirasi dari sebuah ayat Al-Qur`an yang menyatakan : Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak
memahami Kitab (Taurat), kecuali hanya berangan-angan dan mereka hanya menduga-duga,” ujar Menag.

Ayat ini, lanjut Menag, disebut dalam konteks kecaman Allah terhadap Bani Israil yang menyebut sebagian mereka sebagai ummiyyûn (buta huruf). “Bukan karena tidak
bisa membaca dan menulis, tetapi lantaran mereka tidak memahami kitab suci,” terang Menag.

Kalaupun memahami, tambah Menag, itu hanya sebatas dugaan dan perkiraan yang tidak didasari ilmu pengetahuan yang mendalam.

Menag menambahkan bahwa Malik Ben Nabi, seorang tokoh reformis dunia Islam asal Al-Jazair, menulis bahwa sebelum lima puluh tahun ini kita baru mengenal satu penyakit saja, yaitu kebodohan dan buta huruf. “Ini dapat disembuhkan,” katanya.

“Tetapi kini kita melihat penyakit baru yang sangat buruk, yaitu “sok pintar” dan mengaku “serbatahu”. Ini sangat sulit diobati, bahkan tidak bisa diobati,” tambah Menag.

Menag mengajak semua pihak untuk membangun ketahanan pemikiran dan pemahaman keagamaan bagi masyarakat dalam menghadapi gempuran berbagai paham dan budaya, melalui pendidikan agama dan keagamaan yang berkualitas.

Upaya membangun “al-amnul fikriyy” ini tidak kalah pentingnya dengan upaya pemerintah lainnya dalam membangun ketahanan pangan (al-amnu al-ghidzâ`iyy) dan ketahanan energi (amnu al-thâqah).

“Kementerian Agama sangat berkepentingan dengan terbangunnya ketahanan pemikiran dan pemahaman keagamaan masyarakat. Sebab, pembangunan nasional akan berhasil antara lain dengan membangun kehidupan keagamaan yang berkualitas” tegas Menag. (ess)

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI