Isra Mi`raj: Kekuatan Spiritual dan Kesadaran Intelektual
Isra mi`raj adalah dua peristiwa besar yang luar biasa, karena tidak ada seorang pun manusia yang dapat mengalaminya, kecuali hamba pilihan Allah SWT, yaitu Rasulullah Muhammad saw. Kata isra`, merupakan bentuk mashdar dari “asra` yusri isra-an” yang secara harfiah berarti “perjalanan di waktu malam”. Sedangkan kata mi`raj, bentuk isim alat dari `araja ya`ruju `urujan” yang mengandung arti “tangga”. Ulama mendefinisikan isra` sebagai peristiwa perjalanan Rasulullah saw di waktu malam dari Masjid al-Haram (Mekkah) sampai ke Masjid al-Aqsha (Yerusalem Palestina). Mi`raj ialah naiknya Rasulullah saw dari Masjid al-Aqsha ke Sidrat al-Muntaha melewati tujuh lapis langit.
Peristiwa isra` dijelaskan dalam QS al-Isra`/17:1, dan mi`raj di QS al-Najm/53:13-18. Awal perdebatan dimulai ketika Rasulullah saw menceritakan kepada masyarakat Mekkah tentang kejadian isra` yang dialaminya. Sebagai catatan, jarak antara Mekkah-Palestina yaitu 1.224,45 km, sehingga jika bolak-balik menjadi 2.448,90 km, dan orang-orang Arab saat itu menempuhnya dengan mengendarai kuda, serta memerlukan waktu selama dua bulan. Di kala Rasulullah saw menginformasikan bahwa perjalanan dari Mekkah ke Palestina hanya ditempuh kurang dari satu malam (lailan), masyarakat Mekkah gempar. Reaksi ini wajar, karena peristiwa yang dialami Rasulullah saw dianggap irasional dan tidak lazim dengan kebiasaan perjalanan yang dilakukan orang-orang Arab. Mereka menganggap Rasulullah saw sudah mengalami gangguan jiwa dan berhalusinasi. Ucapan provokatif ini juga berimplikasi terhadap keimanan sebagian kaum muslimin, yang mengakibatkan kembali kepada kekufuran (murtad). Dari sinilah tampil Abu Bakar yang menyatakan, jika Rasulullah saw menyampaikan peristiwa yang lebih dari isra` sekalipun, aku beriman dan meyakini kebenarannya. Sejak itulah Abu Bakar diberi gelar “al-Shiddiq”, yakni orang yang membenarkan perkataan Rasulullah saw.
Perspektif Imaniah
Rasio manusia terlalu kecil untuk menelaah peristiwa isra` dan mi`raj, sebab mengkomparasikan akal yang terbatas dan kekuasaan Allah SWT yang absolut tidaklah kompatibel. Dengan demikian, tinjauan keimanan (imaniyah) adalah alat ukur yang paling tepat dalam memahami peristiwa besar isra` dan mi`raj. QS al-Isra` ayat 1 menjelaskan:
سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى الذي بركنا حوله لنريه من ايتنا إنه هو السميع البصير
“Maha Suci Dzat yang telah menjalankan hambanya (Muhammad) di waktu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha, yang Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami memperlihatkan kepadanya (Muhammad) sebagian dari bukti-bukti kebesaran Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Surat al-Isra` ayat 1 diawali dengan kata سبحان (subhana), yaitu bentuk mashdar sama-`i dari sabbaha yusabbihu tasbihan wa subhana, yang berarti Maha Suci. Muhammad `Ali al-Shabuni menafsirkan makna subhana dengan ungkapan: تنزيه الله تعالى من كل سوء ونقص (menyucikan Allah SWT dari segala keburukan dan kekurangan). Atas dasar ini, fungsi kata subhana di awal surat al-Isra` untuk menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah SWT (kamal al-qudrah) dan puncak kesuciannya dari sifat-sifat yang disematkan kepada makhluk (al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir: Jilid 2, 139-140). Penegasan kata subhana di awal surat al-Isra` sesungguhnya telah memosikan Allah SWT sebagai pemilik kekuasaan yang absolut dan penentu segala kejadian dalam hidup ini sesuai dengan kehendak-Nya.
Indikator bahwa Isra` adalah kekuasaan Allah, ditunjukkan dengan redaksi أسرى بعبده (asra` bi `abdih). Menurut ilmu bahasa Arab, kata asra` merupakan bentuk fi`il muta`addi, yakni kata kerja yang memiliki objek. Jika ditinjau dari sudut struktur tata bahasa Arab, maka redaksi kalimatnya cukup: أسرى عبده (Allah yang menjalankan hambanya). Huruf ba yang menempel di kata `abdihi disebut “ba zaidah” (tambahan) yang berfungsi “li al-ilshaq” (merapatkan kekuasaan Allah kepada tubuh Rasulullah saw). Jadi peristiwa isra` yang dialami Rasulullah saw hakikatnya bukan kekuatan makhluk dalam melakukan perjalanan kurang dari satu malam, melainkan kekuasaan Allah menjalankan hamba-Nya yang dikehendaki. Dalam konteks teologis, tidak ada yang sulit bagi Allah mewujudkan sesuatu yang dikehendaki-Nya, Dia cukup mengatakan “kun” (jadilah), maka akan terjadi (QS Yasin/:82).
Telaah Ilmiah
Rasulullah saw mengalami peristiwa isra` tidak sendirian, tetapi menaiki kendaraan “buraq” dan ditemani malaikat Jibril as. Imam Nawawi berkata:
البراق إسم الدابة التي ركبها رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة الإسراء
“Buraq ialah nama seekor binatang yang pernah dinaiki Rasulullah saw pada malam isra`” (Syarah Shahih Muslim, Juz 2, h. 210).
Berdasarkan hadis-hadis sahih dan penegasan para ulama, buraq yang dikendarai Rasulullah saw ketika isra` itu benar-benar seekor binatang (hakiki), bukan sekadar kiasan (majazi) seperti anggapan sebagian orang. Dalam kitab shahih al-Bukhari disebutkan:
عن أنس بن مالك عن مالك بن صعصعة أن نبي الله صلى الله عليه وسلم حدثهم عن ليلة أسري به ... ثم أتيت بدابة دون البغل وفوق الحمار أبيض فقال له الجارود هو البراق يا أبا حمزة قال أنس نعم يضع خطوه عند أقصى طرفه فحملت عليه ... (رواه البخاري)
“Dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sha`sha`ah, bahwa Nabi saw telah menceritakan kepada para sahabat tentang malam ketika beliau diisra`kan … . Kemudian didatangkan kepadaku seekor binatang yang tubuhnya lebih kecil dari pada bighal dan lebih besar dari pada himar (keledai), putih rupanya. Lalu Jarud bertanya kepada Anas, “apakah itu buraq, wahai Abu Hamzah? Anas menjawab, ya binatang itu sekali melangkah, sejauh mata memandang.” Lantas aku (Nabi) ditunggangkan di atasnya… “ (Riwayat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 2, h.327).
Hadis tersebut diperkuat dengan riwayat Muslim dalam Shahih Muslim, Juz 1, h. 81. Penjelasan-penjelasan mengenai buraq juga dapat dibaca dalam beberapa kitab, antara lain: Syihab al-Din al-Qasthalani, Irsyad al-Sari Syarah Shahih Bukhari, Juz 6, h. 204; Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz 2, h. 210; Syeikh Nawawi, Nur al-Zhalam, h. 38; Imam Najum al-Din al-Ghaithi, al-Mi`raj al-Kabir, h. 61-62.
Dari keterangan hadis riwayat al-Bukhari, ada dua hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, keberadaan buraq sebagai kendaraan yang dinaiki oleh Rasulullah saw. Kedua, perihal kecepatan langkah kendaraan itu ketika berjalan. Kata buraq berasal dari ``barq” yang artinya kilat. Kecepatan buraq menurut penjelasan hadis, sekali melangkah sejauh mata memandang. Ini berarti, kecepatan perjalanan buraq sama dengan kecepatan cahaya, 300.000 kilometer per detik. Oleh karena itu, tidak heran jika Rasulullah saw dapat menempuh perjalanan dari Mekkah ke Palestina dalam tempo singkat. Saat ini, teknologi cahaya seperti hand phone, internet, google map telah membuktikan kecepatan mengakses data. Pertanyaannya, jika buraq itu makhluk berbadan cayaha, dan malaikat Jibril yang menemani Rasulullah saw juga makhluk bertubuh cahaya, maka apakah mungkin fisik Rasul dapat bertahan? Efek yang akan diterima oleh tubuh manusia apabila dikenakan kecepatan cahaya, maka badan manusia akan hancur menjadi partikel-partikel sub atom sebelum kecepatan cahaya itu dicapai.
Agus Mustofa (pakar nuclear engineering) memberikan skenario rekonstruksi dengan menggunakan teori “annihilasi” untuk menjawab masalah ketahanan tubuh Rasulullah saw dalam mengimbangi kecepatan cahaya di kala isra` mi`raj. Teori ini dikenal dalam fisika inti atau quantum, yaitu jika suatu materi bertumbukan dengan antimateri, maka akan terjadi fenomena annihilasi (saling menghilangkan), dan timbul dua berkas sinar gamma. Menurut Mustofa, agar Rasulullah saw dapat mengikuti kecepatan malaikat Jibril dan buraq, tubuh materi Rasul diubah menjadi badan cahaya. Hal ini dimaksudkan untuk mengimbangkan kualitas badan Rasulullah saw dengan Jibril dan buraq menjadi teman seperjalanan (Agus Mustofa, Terpesona di Sidratul Muntaha, 2005).
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dijelaskan, sebelum Rasulullah saw mengalami peristiwa isra` mi`raj, malaikat Jibril melakukan pembedahan dada Rasul, dan menyucikan kalbunya dengan air zamzam. Berdasarkan analisis teori annihilasi, pada saat inilah seluruh tubuh materi Rasulullah saw dimanipulasi oleh Jibril, yaitu diannihilasi menjadi badan cahaya. Dengan cara seperti ini, badan Rasulullah saw berubah menjadi substansi cahaya, sehingga kecepatan yang bagaimana pun dihadapi Rasul tidak menjadi masalah. Di dalam fisika quantum dikenal suatu teori, apabila seseorang melakukan perjalanan dengan kecepatan melebihi atau menyamai cahaya, maka secara teoretis ia akan masuk ke dalam dimensi-dimensi ruang waktu yang lain. Itulah mengapa Rasulullah saw dapat melihat penampakan-penampakan ketika isra` yang menyamai kecepatan cahaya dalam kondisi sadar. Rasul juga mendiskusikan hal tersebut dengan Jibril, dan beliau mampu untuk mengingat serta menceritakannya kembali (Agus Mustofa: 2005).
Hikmah Ubudiah
Ada pertanyaan, mengapa isra` dimulai dari Masjid al-Haram (Mekkah) dan berakhir di Masjid al-Aqsha (Yerusalem, Palestina)? Bukankah perjalanan itu lebih praktis jika dari Masjid al-Haram langsung ke Sidrat al-Muntaha? Muhammad Said al-Mubayyadh dalam kitab al-Isra` wa al-Mi`raj memaparkan, perjalanan isra` yang dialami Rasulullah SAW mengandung makna simbolik, yakni “intiqal al-qiyadah al-ruhaniyah min bani Israil ila bani Isma`il “ (peralihan kepemimpinan ruhani dari bani Israil ke bani Isma`il). Selama berabad-abad, Nabi dan Rasul selalu dari keturunan Israil (Nabi Ya`qub), dan setelah 3000 tahun (30 abad) dari wafatnya Nabi Isma`il, lahirlah seorang Rasul dari keturunan Isma`il, yaitu Muhammad saw.
Salah satu pengalaman Rasulullah saw ketika berada di Masjid al-Aqsha ialah di kala menjadi imam salat untuk seluruh Nabi dan Rasul sejak dari Nabi Adam as. Ini jelas melambangkan persamaan dasar dan kontinuitas agama Allah yang dibawa oleh para Rasul, serta menegaskan bahwa Muhammad saw sebagai penutup para Nabi dan Rasul (khatam al-nabiyyin wa al-mursalin). Imamah seperti ini merupakan pengakuan nyata seluruh utusan Allah bahwa Islam adalah risalah Ilahiyah terakhir yang menjadi sempurna di tangan Rasulullah saw (QS Ali `Imran/3:81; QS Ali al-Maidah/5:3).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Perumpamaan antara aku dengan para Nabi sebelumku, adalah seperti seseorang yang membangun sebuah rumah. Rumah itu dibangunnya dengan baik dan indah, kecuali tempat untuk sebuah batu bata pada salah satu sudutnya saja. Lalu orang-orang berkerumun di sekelilingnya, dan dengan terheran-heran mereka mengatakan, tidakkah engkau pasang batu bata ini? Akulah batu bata itu, dan akulah penutup para Nabi” (Riwayat Bukhari Muslim).
Puncak dari perjalanan spiritual Rasulullah saw dalam isra` dan mi`raj adalah “perintah salat lima waktu”. Sebuah hadis riwayat Ahmad, al-Nasa-i, dan al-Tirmidzi menegaskan:
فرضت الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ليلة أسري به خمسين، ثم نقصت حتى جعلت خمسا، ثم نودي يا محمد: إنه لا يبدل القول لدي، وإن لك بهذه الخمس خمسين
“Salat telah difardhukan kepada Nabi saw pada malam isra` lima puluh waktu, kemudian dikurangi menjadi lima waktu. Lalu diserulah, wahai Muhammad, sungguh putusan-Ku tidak dapat diubah lagi, dan dengan salat lima waktu ini, engkau tetap mendapat pahala lima puluh waktu.”
Perintah salat lima waktu diterima Rasulullah saw di langit, bukan di bumi seperti kewajiban-kewajiban lain (puasa Ramadhan, zakat, ibadah haji dan sebagainya). Langit menunjukkan posisi tempat yang berada di atas, apalagi Sidrah al-Muntaha berarti merujuk pada lokus tertinggi. Filosofinya, salat lima waktu merupakan sentral dari ibadah yang menjadi tolok ukur amal kaum muslimin. Karena itu, salat lima waktu wajib dijaga, tidak boleh ditinggalkan dan dilalaikan waktunya (QS al-Nisa`/4:103 dan hadis riwayat Tirmidzi).
Perintah salat lima waktu diterima Rasulullah saw secara langsung tanpa perantaraan malaikat Jibril as. Ini mengilustrasikan bahwa salat merupakan komunikasi langsung (vertikal) antara hamba dengan Tuhannya, yang ditunaikan tanpa perantaraan seorang pun di antara makhluk-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan:
أقرب ما يكون العبد من ربه عز وجل وهو ساجد فأكثروا الدعاء (رواه مسلم)
“Posisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya (Allah SWT), yaitu ketika sedang sujud (salat). Maka perbanyaklah doa ketika itu” (Riwayat Muslim).
Salat sebagai martabat paling sempurna dalam menghambakan diri kepada Allah SWT. Dengan salat, seorang hamba menyebut nama Tuhannya dengan menggunakan hati, lidah, dan seluruh anggota tubuh. Dalam salat, masing-masing anggota tubuh memperoleh bagian untuk menghambakan diri kepada sang Pencipta (Khaliq). Inilah gambaran dari firman Allah SWT:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
“Tidaklah semata-mata Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (QS al-Dzariyat/51:56).
Dari uraian mengenai isra` mi`raj, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Allah SWT begitu besar dan absolut. Ini menyadarkan akan keterbatasan akal dan ilmu manusia. Kasus orang-orang Yahudi yang bertanya kepada Rasulullah saw tentang ruh, Allah menurunkan surat al-Isra` ayat 85 sebagai jawabannya: “Katakan Muhammad, ruh itu urusan Tuhanku. Tidaklah Aku berikan pengetahuan kepada kalian, kecuali hanya sedikit.” Pernyataan QS al-Isra`/17:85 memberi peringatan agar manusia menyadari kekurangan dan keterbatasannya, sehingga tidak memosisikan diri sebagai “superior”.