Kaban: Menuju Indonesia Emas 2045, Pendidikan Menjadi Instrumen Terpenting
Bandung (22 Oktober 2018). Dilatarbelakangi oleh potensi lembaga pendidikan keagamaan dalam mendukung Indonesia Emas 2045, Badan Litbang dan Diklat melalui Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan selenggarakan kegiatan Simposium Nasional Pimpinan Lembaga Pendidikan Keagamaan di Savoy Homan, Bandung. Simposium dilaksanakan bertepatan pula dengan Hari Santri Nasional, Senin (22/10).
“Indonesia Emas 2045 merupakan visi pemerintah dalam memandang kesejahteraan bangsa Indonesia tepat di usianya yang ke 100 (1945-2045). Dalam usia emas tersebut, Indonesia dicanangkan menjadi negara maju yang mandiri dengan kehidupan yang makmur dan adil,” ungkap Abd. Rahman Mas’ud, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama saat memberikan laporan kegiatan.
Untuk menuju Indonesia Emas 2045, pendidikan menjadi instrumen terpenting. Mengutip dari Nelson Mandela, Kaban menegaskan bahwa pendidikan merupakan senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Prinsipnya, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
“Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya,” jelas Kaban.
Fungsi pendidikan keagamaan mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Salah satu karakteristik penyelenggaraan pendidikan keagamaan adalah keragaman--karena memang jenis pendidikan ini berbasis masyarakat—dan berorientasi pendidikan non formal, meski tidak seluruhnya.
”Hasil riset Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada 2012 tentang penyelenggaraan pendidikan keagamaan di masing-masing agama menunjukkan besarnya motivasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan keagamaan. Namun dari sisi sarana pendidikan, pendidik, kurikulum, peserta didik, sistem evaluasi dan manajemen pendidikan menghadapi berbagai permasalahan dan kendala sebagaimana ditunjukkan dari hasil penelitian tersebut. Hampir semua penyelenggaraan pendidikan keagamaan belum terstandarisasi,” terang Guru Besar UIN Walisongo Semarang ini.
Dibalik permasalahan dan kendala terdapat potensi dan kelebihan pendidikan keagamaan dalam penyelenggaraannya. Ada beberapa lembaga pendidikan keagamaan yang (Islam, Kristen, Katolik, Budham Hindu, dan Khonghucu) yang dalam penyelenggaraannya dapat dikatakan sukses. Cerita sukses ini bisa ditularkan dan direfleksi serta dibagi kepada lembaga pendidikan keagamaan yang lain.
”Refleksi dan saling berbagi antar lembaga pendidikan keagamaan menjadi penting dalam menuju Indonesia Emas 2045. Dalam konteks itulah kegiatan simposium pimpinan lembaga pendidikan keagamaan diselenggarakan pada hari ini,” lanjut lulusan Universitas California ini.
Kegiatan simposium nasional pimpinan lembaga pendidikan keagamaan diharapkan adanya model penguatan lembaga pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu menuju Indonesia emas 2045.
Kegiatan ini diikuti oleh peserta sebanyak 135 orang yang terdiri dari pimpinan lembaga pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu dengan keynote speech Menag Lukman Hakim Saifuddin. Selain itu diikuti pula oleh para majelis agama, peneliti, dan ormas keagamaan. []
diad/diad