Koordinasi Lintas Sektoral, Permudah Kontrol Peredaran Buku Agama
Tangerang Selatan (Balitbang Diklat)---Kepala Badan (Kaban) Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Prof. Suyitno, mengatakan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Buku Pendidikan Agama menjadi referensi regulasi dalam pelaksanaan Penilaian Buku Pendidikan Agama (PBPA).
“Menjadi konsen kita dan agar ini dilakukan catatan revisi dalam banyak hal dalam mengiringi kebutuhan terkini. Perkembangan terkini buku itu rata-rata sudah berbasis e-book atau digital,” ujar Kaban.
Kaban menyampaikan hal tersebut pada penutupan Sidang Konfirmasi Penilaian Buku Pendidikan Agama, yang diselenggarakan Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) di BSD City, Serpong, Tangerang Selatan, Rabu (5/7/2023).
Menurut Kaban, PMA ini juga harus memberikan peluang justifikasi. Tidak saja yang kita nilai itu adalah buku-buku yang masih bersifat manual, tapi juga bagaimana regulasi itu memberikan justifikasi agar kita juga punya kewenangan memberikan penilaian.
“Yang tidak kalah pentingnya, yang beredar di dunia pendidikan, bahwa buku referensi itu tidak tunggal. Biasanya kita sebut ada buku pokok atau buku pegangan, menjadi referensi pokok untuk diajarkan di sekolah-sekolah agama,” ungkap Kaban.
Pertanyaan berikutnya, kata Kaban, bagaimana dengan buku yang sifatnya bukan buku pokok? Yang itu tidak dianjurkan di penilaian kita. Di buku pelajaran tambahan, itu bisa lebih menarik dibandingkan dengan buku pokok. Sementara buku pokok biasanya lebih rigid dan kaku, lalu anak-anak kita lebih suka dengan pilihan yang secondary itu.
“Kalau itu tidak dilakukan penilaian, bagaimana dengan peredaran buku seperti itu. Bisa jadi buku-buku seperti itu di luar kontrol. Jangan-jangan itu juga yang menjadi salah satu pemicu adanya buku-buku yang nyeleneh atau intoleran,” tutur Kaban.
Lebih lanjut, Kaban mengatakan buku pendidikan itu buku yang memang digunakan di dunia pendidikan dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Lalu, ada lagi buku non-pendidikan. Artinya, belum tentu beredar untuk kepentingan pendidikan tetapi itu menjadi bacaan publik.
Ini PR kita ke depan, Kata Kaban, supaya PMA ini bisa jadi justifikasi kita untuk kontrol. Seperti kita ketahui layanan Kementerian Agama ini bukan hanya tingkat pendidikan tetapi juga masyarakat.
“Kalau misalkan ini masih berada di Bimas, menurut saya, ini harus disatuatapkan, sehingga akan lebih mudah mengontrolnya. Ketika nanti terjadi sesuatu tidak kemudian saling salah-salahkan dan saling lepas tangan,” sambung Kaban.
Kalau atapnya banyak seperti itu, kata Kaban, cenderung ego sektoral. Karena melakukan koordinasi itu tidak semudah diucapkan. “Tapi, kalau nanti sudah ada payung hukum yang sama satu kesatuan, semua kita akan mudah berkoordinasi,” pungkasnya. (Barjah/sri)