Manusia Otentik, atau Sekadar Pandai Berpura-pura?

Jakarta (BMBPSDM)---Otentisitas adalah salah satu ajaran penting dalam filsafat eksistensialisme. Pusat dari otentisitas dalam filsafat eksistensialisme berada dalam konsep kebebasan dan tanggung jawab. Manusia otentik adalah dia yang menemukan dirinya begitu saja berada dalam situasi hidup yang tidak pernah direncanakan dan diinginkan, tapi tetap berani mengambil keputusan dan bertindak dengan bebas dan bertanggung jawab. Manusia otentik memilih dan menciptakan dirinya sendiri. Dia tidak tunduk dengan ekspektasi eksternal atas dirinya.
Nietzsche membedakan manusia otentik (Übermensch) dengan manusia kerumunan (Herdenschafsmensch). Manusia otentik adalah individu yang menciptakan nilai-nilai sendiri, berani menghadapi ketidakpastian, dan bertanggung jawab atas hidupnya. Sebaliknya, manusia kerumunan adalah mereka yang mengikuti arus, menyerah pada nilai-nilai yang sudah ada, dan kehilangan kehendak bebasnya.
Menurut Heidegger, manusia otentik adalah individu yang menyadari dan bertanggung jawab atas eksistensinya sendiri dalam seluruh kedalaman dan keunikan keberadaannya. Manusia otentik tidak hanya menjalani hidup berdasarkan kebiasaan atau norma sosial, tetapi secara sadar memilih dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya.
Tapi, adakah manusia yang seperti itu? Tidak ada satu pun manusia yang hidup di luar sejarah. Setiap manusia sejak awal hidup dalam sejarah. Itu berarti ia hidup dalam budaya tertentu, di mana cara pandang, sikap, dan perilakunya berada dalam jaring-jaring norma dan nilai tertentu yang diajarkan dari generasi ke generasi. Bahkan, orang paling nyeleneh pun tidak pernah bisa keluar dari jaring-jaring budaya ini. Apakah dengan demikian tidak ada manusia otentik?
Jika kita sedikit menyembunyikan sebagian dari diri kita agar bisa berhubungan dengan orang lain, apakah kita manusia palsu? Jika kita menghadiri pemakaman seorang sahabat dalam “komunitas hobi jeans robek,” dengan memakai celana bahan dan baju warna hitam, apakah kita kehilangan keotentikan diri kita? Apakah otentisitas hanya berarti jika kita melakukan apapun yang kita mau tanpa peduli omongan orang lain? Jika otentisitas adalah jawaban ‘ya’ terhadap pertanyaan terakhir, manusia otentik bisa sinonim dengan manusia nyeleneh yang anti-sosial. Bahkan, manusia otentik bisa jadi adalah manusia yang tidak memiliki tenggang rasa dan bersikap kasar pada orang lain.
Manusia yang menyerahkan dirinya untuk ditentukan oleh lingkungannya secara penuh, jelas bukan manusia otentik. Manusia otentik adalah dia yang hidup di tengah kehidupan sosial tertentu, tapi berani melakukan refleksi untuk “menciptakan” nilai-nilai hidupnya dan berani bertanggung jawab atas keputusannya. Istilah ‘menciptakan’ sengaja saya beri tanda kutip karena bisa jadi manusia otentik juga menyetujui nilai-nilai sosial di sekitarnya dengan kesadaran dan kebebasaannya.
Menusia otentik bukan manusia yang kehilangan basa-basi kesantunan dalam membangun relasi dengan orang lain. Bedanya dengan manusia palsu adalah bahwa yang terakhir itu tidak memiliki kejujuran dan ketulusan. Manusia otentik akan membangun relasi dengan jujur, sedang manusia palsu menampilkan kepribadian yang sama sekali berbeda untuk memenuhi agenda yang disembunyikannya. Manusia palsu tidak memiliki integritas. Mereka mengatakan satu hal dan melakukan hal lain yang bertentangan dengan yang dikatakannya.
Ada perbedaan antara orang yang sekadar menunjukkan kompetensinya secara wajar dalam bidang tertentu dengan orang yang membual tentang dirinya sekadar untuk membuat kita terkesan. Manusia palsu akan memenuhi agendanya dengan cara membuat kita terkesan atau terintimidasi.
Manusia palsu terus-menerus membutuhkan validasi dari orang lain. Jika manusia otentik adalah mereka yang menciptakan hidupnya dengan bertanggung jawab, manusia palsu akan sepenuhnya berkompromi. Kebutuhannya adalah untuk diterima. Dia tidak memiliki nilai-nilai dasar yang dipegangnya karena yang diinginkan justru adalah validasi dan penerimaan. Manusia palsu terus-menerus membutuhkan pujian dan persetujuan.
Manusia palsu akan memperlakukan orang lain seperti komoditas. Orang lain hanya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Apakah manusia palsu bisa bersikap baik? Tergantung apa definisi kita tentang baik. Manusia palsu bisa saja menolongmu. Dia juga bisa memberimu hadiah-hadiah. Tapi, itu semua adalah bagian dari rencana untuk memenangkan agendanya.
Salah satu ajaran penting dalam filsafat eksistensialisme adalah “We are what we do” (kita adalah apa yang kita lakukan). Kata Sartre, There is no reality except in action…he is therefore nothing else than the ensemble of his acts. (Tidak ada realitas kecuali dalam tindakan...karena itu manusia tidak lain hanyalah kumpulan dari tindakan-tindakannya).
Kita tidak bisa menjadi manusia otentik sekadar bersumpah ribuan kali bahwa kita manusia otentik, jika kita tidak bisa jujur pada diri sendiri. Sama halnya kita tidak bisa menjadi manusia jujur sekalipun kita mengatakan kepada setiap orang bahwa kita jujur, jika perilaku kita penuh kebohongan. Karena pada akhirnya, kita adalah apa yang kita lakukan.